Nisa

Muslimah, Syariah, dan Ruang Kewargaan

Kejahatan yang menimpa perempuan berupa kekerasan, pelecehan seksual, bahkan pemerkosaan telah menjadi kuda tunggangan  bagi  aktivis HAM dan kalangan feminis untuk mempersoalkan syariah Islam. Mereka memberikan istilah bagi kejahatan yang menimpa perempuan dengan istilah ’kekesaran seksual’. Satu istilah yang di dalamnya telah masuk paradigma feminis, yakni ketimpangan gender dan konsen.

Dengan membaca kasus-kasus kekerasan seksual, mereka menuntut pembuatan UU dan penegakan hukumnya. Muncullah  UU KDRT, UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Mereka juga menggunakan definisi dalam UU tersebut sebagai acuan untuk mengevaluasi dan  menyalahkan Syariah. Bahkan mereka memunculkan tuntutan untuk menghapus aturan yang masih sejalan dengan syariah. Ini terjadi di beberapa kasus berikut.

Portal  berita BBC Indonesia  memberikan ulasan panjang tentang  kasus kekerasan seksual dengan korban dan pelaku anak-anak di Aceh. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul, menyatakan, tingginya kasus kekerasan seksual anak  di Aceh karena  penerapan  Qanun Jinayah  “tidak menimbulkan efek jera”. Pihaknya, merekomendasikan  untuk merivisi Qanun Jinayah agar sejalan dengan UU TPKS.  Saat ini, Komisi I DPR Aceh telah menyerahkan rancangan perubahan Qanun Jinayah kepada Kementerian Dalam Negeri, untuk melakukan fasilitasi terhadap revisi Qanun Jinayah.[1]

Di Propinsi di luar Aceh, upaya mengkriminalisasi syariah Islam juga terjadi. Kasus seorang  murid beragama selain Islam di SMK Negeri 2 Padang, yang diberitakan ‘dipaksa’ pakai jilbab, menjadi berita besar dan direspon oleh pemerintah pusat. LSM liberal dan pihak-pihak yang terbawa narasinya mendesak pemerintah untuk membatalkan seragam sekolah wajib jilbab. Mereka menuduh kewajiban berseragam sekolah dengan jilbab adalah bentuk intoleransi. Akhirnya, keluarlah SKB tiga menteri tentang aturan seragam sekolah. Namun akhirnya, SKB tiga menteri dibatalkan MA karena gugatan elemen masyarakat Padang. MA membatalkan dengan alasan SKB tiga menteri bertentangan dengan sejumlah aturan perundangan yang lebih tinggi.[2].

Namun, langkah mereka tidak berhenti. Baru-baru ini, kasus guru di Lamongan Jawa Timur yang mendisiplinkan dengan memotong rambut sejumlah siswi yang tidak mengenakan dalaman jilbab (ciput) juga  menjadi pembahasan sejumlah LSM liberal di media mainstream. Peneliti dari organisasi pegiat HAM Human Rights Watch, Andreas Harsono, berharap pemerintah segera mengambil keputusan untuk mencabut peraturan wajib jilbab di daerah-daerah, baik di lembaga pendidikan maupun lingkungan kerja yang masih melakukan diskriminasi terkait pemaksaan penggunaan jilbab. Padahal, sambungnya, perempuan berhak menentukan busana mereka, yakni memakai jilbab atau tidak.

“Bupati harus mencabut semua peraturan wajib jilbab di berbagai sekolah, di berbagai instansi yang ada di kabupaten Lamongan. Itu juga berlaku bagi daerah-daerah lain. Ada 24 provinsi yang memperlakukan wajib jilbab, dengan derajat yang berbeda-beda. Semua mayoritas Islam,” kata Andreas.[3]

Saat ini ruang kewargaan tempat para Muslimah hidup sebagai warga negara dalam sistem demokrasi sedang berubah dan akan terus berubah, menuju ke arah spektrum  liberal. Di tengah ruang yang terus berubah dan semakin sempit  dalam mempratikkan syariah, Muslimah dituntut cerdas memanfaatkan ruang kewargaan untuk memenangkan dominasi akan nilai-nilai, sikap, beliefs, dan perilaku dalam bermasyarakat. Sebagai negara dengan umat Islam terbesar di dunia, tidak aneh jika terjadi konflik  atau pertarungan  budaya dalam memenangkan dominasi nilai-nilai Islam, bagaimana  syariah menjadi pengatur hubungan dalam masyarakat.

 

Memenangkan Islam di Ruang Kewargaan

Tudingan kelompok-kelompok liberal bahwa syariah melanggar hak-hak  perempuan, yakni mendiskriminasi dan memaksa perempuan, perlu dikaji dengan jernih, terutama standar HAM yang dipakai sebagai tolak ukur kelompok liberal. Akar penyebab tingginya kasus kekerasan seksual di Aceh justru bersumber pada subordinasi syariah pada hukum-hukum sekuler, yakni HAM dan demokrasi. Syariah dikerdilkan hanya bersifat lokal dan parsial serta tunduk pada hukum-hukum buatan manusia dan ide-ide kebebasan yang lahir dari aqidah sekuler. Akibatnya, Qanun Jinayah yang harusnya memberikan efek jera tidak bisa dirasakan. Ini karena masyarakat yang terdidik dengan kebebasan (HAM), melalui tata aturan yang berlaku secara nasional, telah tercerabut fitrah kemanusiannya sehingga menjadi pribadi yang lebih dekat pada prilaku liar.

Demikian halnya dengan seragam sekolah wajib jilbab yang tertuang dalam aturan daerah. Tentu menjadi hak umat Islam untuk mempraktikkan ajaran agamanya, menilai baik dan buruk sesuai dengan tuntutan syariah. Ini bukan pemaksaan. Ini adalah wujud kecintaan umat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Pandangan bahwa wajib jilbab adalah memaksa dan mendiskriminasi  perempuan jelas salah. Kesalahan itu ada pada standar untuk menilai  yakni  HAM, yang lahir dari masyarakat Barat yang tidak beriman. HAM  adalah sesuatu yang asing bagi umat Islam  dan bertentangan dengan Islam. Jadi, jangan dipaksakan.

Karena itu para Muslimah tidak boleh lemah dan reaktif. Sikap ini  akan mendorong pada upaya apologetic, yakni memandang syariah tidak bertentangan dengan HAM dan akhirnya terjebak menyesuaikan diri pada nilai-nilai sekuler berbahaya yang dibawa oleh ide HAM. Pada akhirnya Syariah, yang merupakan hukum Allah, akan selalu berada pada posisi subordinat. Sebaliknya. ide HAM dan demokrasi yang merupakan hukum buatan manusia selalu berada pada superordinat alias lebih tinggi dari hukum Allah SWT. Padahal Allah SWT telah berfirman kepada kaum Mukmin di tengah kondisi kekalahan mereka dan di tengah berbagai kecaman yang mereka terima dari kaum musyrik (yang artinya): Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih  hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman (TQS Ali Imran [3]:139).

Di sisi lain, kita tidak boleh lupa, di Nusantara ini pernah diterapkan syariah secara komprehensif selama hampir 10 abad di bawah Kekhilafahan Islam. Bahkan ahli sejarah menyebut era Islam di Nusantara sebagai era keemasan (golden age). Ini menunjukkan bahwa Islam berkontribusi besar membawa keberkahan, kemakmuran dan kemajuan pada bangsa-bangsa Muslim di Nusantara.

Oleh karena itu, umat Islam di Indonesia harus selalu menyadari bahwa Islam adalah identitas sejati mereka. Islam memuliakan, mensejahterakan dan membawa keberkahan pada bumi Nusantara ini. Bukan identitas lain yang dikontruksi oleh ide-ide sekuler; HAM dan demokrasi.

Fakta sejarah tidak bisa dilenyapkan. Islam mensejahterakan dan memberkahi Nusantara lebih dari tiga abad. Sebaliknya, kolonialisme Barat, baik yang klasik maupun yang modern, justru memiskinkan dan menindas hingga hari ini. Mereka terus bekerja siang-malam untuk menuding dan membusukkan syariah. Allah SWT berfirman (yang artinya): Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, sementara Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci (TQS ash-Shaff [61]: 8).

Wahai Muslimah, jumlah dan potensi kalian adalah kekuatan umat ini. Sudah saatnya kekuatan yang besar ini tidak disia-siakan. Setiap Muslimah berharga  dalam pertarungan memenangkan setiap perang pemikiran dan perjuangan politik. Sudah saatnya kita merampas kembali hak kita untuk mengatur kehidupan kita dengan syariah, dan memenangkan  dominasi nilai-nilai Islam di ruang kewargaan.

Sebaliknya, dominasi nilai HAM dan aturan sekuler harus digeser sedikit demi sedikit. Caranya dengan memotivasi umat untuk kembali bersemangat mengambil syariah dalam daily life mereka. Juga dengan menguatkan perlawanan atas upaya pemaksaan nilai-nilai sekuler yang merusak stamina umat Islam dalam perjuangan mewujudkan kehidupan Islam.

Ingatlah, Allah SWT telah memberi kita modal besar untuk menang, yakni  ideologi Islam dan persatuan umat. Ingatlah, kita adalah pihak yang dibela dan akan dimenangkan oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih di antara kalian bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka. Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan, menjadi aman sentosa (TQS an-Nur [24]: 55). [Fatma Sunardi]

 

Catatan kaki:

[1]      https://www.bbc.com/indonesia/articles/cgr80r6yjgro

[2]      https://www.voaindonesia.com/a/pembatalan-skb-3-menteri-soal-seragam-sekolah-disesalkan/5883011.html

[3]      https://www.bbc.com/indonesia/articles/c6p7n62rnepo

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

20 − three =

Back to top button