Siyasah Dakwah

Teladan Para Khalifah Dan Ulama Dalam Penegakan Hukum Dan Pemberantasan Korupsi

Secara normatif, baik dalam sistem Islam maupun sistem sekular, sebenarnya korupsi, suap, gratifikasi dan menyalahgunakan jabatan untuk memperkaya diri itu dilarang. Hanya saja, realitas menunjukkan bahwa dalam sistem sekular, khusunya di negeri ini, korupsi makin menjadi-jadi. Penyidik KPK melakukan pemerasan,1 hilangnya satu truk bukti korupsi,2 penghentian pemeriksaan kasus mega korupsi BLBI,3 dll menjustifikasi bahwa indeks persepsi korupsi Indonesia tahun 2020 memang kalah dari Timor Leste.4

Dalam Islam, keimanan dan ketakwaan pejabat itu penting. Namun, sistem yang menjaga mereka agar tidak melenceng itu jauh lebih penting. Tidak ada yang meragukan keimanan sahabat Muazd bin Jabal ra. Namun, Rasulullah tetap menasihati dirinya. Bahkan ketika ia diutus ke Yaman dan sudah melakukan perjalanan, Rasulullah saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil dia kembali. Lalu ketika Muadz sudah kembali, beliau bersabda:

أَتَدْرِيْ لَمْ تَعَثْتُ إِلَيْكَ؟ لاَ تُصِيْبَنَّ شَيْئًا بِغَيْرِ إِذْنِي فَإِنَّهُ غُلُوْلٌ، وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِهَذَا دَعْوَتُكَ، فَامْضِ لِعَمَلِكَ

Tahukah engkau mengapa aku mengirim orang untuk menyusulmu? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulûl (khianat). Siapa saja yang berbuat ghulûl, pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dia khianati itu.5 Karena inilah aku memanggilmu. Sekarang pergilah untuk melakukan tugasmu. 6

 

Penanaman keimanan yang kuat, bimbingan, pengawasan, pemilihan pejabat yang profesional dan amanah serta hukuman yang membuat jera telah membentuk suatu sistem yang handal untuk memberantas korupsi. Sistem tersebut bukan hanya ada dalam dokumen-dokumen semata, namun tercermin dalam kehidupan riil, menjadi pola kehidupan masyarakat Islam setelahnya, hingga muncullah sosok-sosok luar biasa dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

 

Kesederhanaan

Rasulullah saw., walaupun memegang banyak harta negara, memberikan ratusan ekor unta untuk pemuka Quraisy yang baru masuk Islam. Namun, beliau sendiri hidup sederhana. Beliau tidur di atas selembar tikar yang kasar yang meninggalkan bekas pada tubuh beliau. Ketika Ibnu Mas’ud ra. menawarkan untuk membuatkan kasur yang empuk, beliau berkata:

مَا لِي وَلِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدَّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

Tidak ada urusan kecintaanku dengan dunia, Aku di dunia ini tidak lain hanyalah seperti seorang pengendara yang bernaung di bawah pohon, lalu beristirahat, kemudian meninggalkannya.7 

 

Khalifah Abu Bakar ra. hanya mengambil sekadarnya saja harta dari Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya sehari-hari. Menjelang wafat, beliau berwasiat agar mengembalikan jika ada kelebihan harta dari harta beliau sebelum menjabat khalifah. Ketika diperiksa, ternyata tidak ada yang bertambah dari hartanya kecuali unta yang biasa digunakan untuk menyirami kebun, seorang hamba sahaya dan selembar selimut beludru seharga lima dirham. Tambahan harta inilah yang kemudian diserahkan kepada Khalifah Umar ra. Mengetahui ini Umar ra. menangis sambil berkata:

يَرْحَمُ اللهُ أَبَا بَكْرٍ لَقَدْ أَتْعَبَ مَنْ بَعْدَهُ

Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Sungguh beliau telah membuat orang-orang setelahnya sulit (untuk meneladani dirinya).”8 

 

Ini pula yang dilakukan Khalifah Umar ra. Beliau hidup sederhana. Beliau pernah minta masukan kepada Salman al-Farisi. Apa kira-kira kekurangan beliau dalam pandangan masyarakat. Salman menolak, tetapi Umar mendesak. Akhirnya, Salman berkata bahwa ada masyarakat yang membicarakan Umar yang mengumpulkan dua macam lauk dalam satu hidangan. Sejak saat itu, Umar tidak pernah makan dengan dua macam lauk.9

 

Anti Nepotisme

Tidak hanya diri mereka sendiri yang bersih dari korupsi. Mereka juga menjaga agar kerabatnya tidak menggunakan jabatan ayah atau saudaranya untuk memperkaya diri mereka. Suatu ketika Umar ra. melihat unta gemuk di padang gembalaan yang sudah diproteksi negara. Ketika dia tahu bahwa itu unta anaknya, beliau menyuruh anaknya menjual unta tersebut. Modal pokok untuk membeli unta tersebut diberikan kepada anaknya. Laba penjualannya dimasukkan ke dalam Baitul Mal kaum Muslim.10

Khalifah Ali ra. dengan tegas menolak permintaan saudaranya, Aqil ibn Ali Thalib, supaya diberi prioritas dalam mendapatkan harta Negara. Padahal Aqil memang berhak karena kemiskinannya. Beliau ra. memposisikan saudaranya sebagaimana kaum Muslim lainnya. 11

Adapun Khalifah Utsman bin ‘Affan ra. yang dituduh oleh para pendengkinya bahwa beliau melakukan nepotisme karena mengangkat pejabat dari kalangan kerabatnya, serta sering memberikan harta negara kepada kerabat, itu adalah tuduhan dusta. Kerabat-kerabat Utsman ra. memang sudah banyak menjadi pejabat sejak masa Rasulullah saw. Bahkan sejak sebelum Islam. Terkait harta, yang beliau berikan kepada kerabat itu, adalah harta beliau pribadi. Itu pun sudah beliau lakukan sejak sebelum menjabat sebagai khalifah. Beliau memang dermawan. Apalagi sumbangan harta beliau pada awal-awal dakwah Islam sangatlah masyhur.12

 

Mengamankan Harta Rakyat

Tidak cukup diri dan keluarga pejabat bersih dari korupsi. Pejabat juga dituntut untuk menjaga harta rakyat. Tidak boleh ada yang hilang atau tersia-sia. Khalifah Umar ra. pernah mengejar unta zakat yang lepas, lalu ditegur oleh Imam Ali ra. Lalu Umar menjawab:

لَا تَلُمْنِي يَا أَبَا الْحَسَنِ، فَوَالَّذِي بَعَثَ مُحَمَّدًا صَلَّى الله عليه وسلم بِالنُّبُوَّةِ لَوْ أَنَّ عَنَاقًا ذَهَبَ بِشَاطِئِ الْفُرَاتِ، لَأُوخِذَ بها عُمَرُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِأَنَّه لا حُرْمَةَ لِوَالٍ ضَيَّعَ الْمُسْلِمِينَ

Jangan engkau mencelaku, wahai Abul Hasan. Demi Tuhan Yang telah mengutus Muhammad saw. dengan kenabian, andaikan ada anak domba (zakat) hilang di tepi sungai Eufrat, pasti Umar akan dihukum karena hal tersebut pada Hari Kiamat, sebab tiada kehormatan bagi seorang penguasa yang menghilangkan (hak) kaum Muslim.13

 

Jika Umar ra. mendapati kekayaan seorang wali atau ‘amil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar,  beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitul Mal. Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan juga Amr bin Al Ash.14 Ini untuk kasus yang syubhat. Adapun untuk kasus yang jelas-jelas terbukti seseorang memperkaya diri sendiri dengan jalan curang, hukumannya adalah ta’zir. Bisa disita hartanya, dicambuk, dipenjara, atau bahkan dihukum mati; bergantung pada efek kerusakan yang ditimbulkan korupsi tersebut.

 

Ulama Menasihati Tanpa Pamrih

Di antara rahasia kebaikan sistem dan pejabat adalah adanya kemandirian dan keberanian bersikap para ulama dalam menasehati penguasa. Imam al-Ghazali menyatakan:

فَفَسَادُ الرَّعَايَا بِفَسَادِ الْمُلُوْكِ وَفَسَادُ الْمُلُوْكِ بِفَسَادِ الْعُلَمَاءِ وَفَسَادُ الْعُلَمَاءِ بِاسْتِيْلاَءِ حُبِّ الْمَالِ وَالْجَاهِ وَمَنْ اِسْتَوَلَى عَلَيْهِ حُبُّ الدُّنْيَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْحِسْبَةِ عَلَى اْلأَرَاذِلِ فَكَيْفَ عَلَى الْمُلُوْكِ وَاْلأَكَابِر

Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa. Kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama. Kerusakan ulama adalah akibat  mereka dikuasai oleh cinta harta dan jabatan. Siapa saja yang dikuasai oleh cinta dunia niscaya tidak akan mampu melakukan koreksi terhadap rakyat kecil, lalu bagaimana mungkin dia dapat mengoreksi penguasa dan para pembesar?15

 

Khalifah Harun ar-Rasyid pernah mengunjungi Imam al-Fudhail bin ‘Iyadh (w. 187 H) dalam rangka meminta nasihat. Al-Fudhail menasihati Khalifah Harun ar-Rasyid dengan nasehat yang membekas hingga membuat Khalifah menangis. Ketika Khalifah mau pulang dan memberi hadiah 1000 dinar (= 4,25 kg emas) beliau menolak. Padahal beliau dalam kesulitan finansial. 16

Begitu juga dengan Abu Muslim al-Khawlani (w. 62 H). Beliau adalah ulama Tabi’in yang zuhud dari Syam. Teman dekat Khalifah Muawiyah ra. Namun, beliau menolak pemberian dari Muawiyah walaupun istri beliau menunjukkan ketidaksukaan atas penolakan beliau tersebut. Beliau juga tidak segan-segan mengoreksi secara terang-terangan Muawiyah yang sedang di atas mimbar gara-gara Muawiyah menghentikan bantuan dari Baitul Mal untuk kaum Muslim.17

 

Tegas kepada Pejabat yang Posisinya “Rawan” Korupsi

Abdullah bin Umar ra. pernah menjenguk Ibnu Amir yang sedang sakit. Ibnu Amir lalu berkata, “Tidakkah engkau mendoakanku, wahai Ibnu Umar.” Ibnu Umar menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:

لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَير طُهُورٍ وَلَا صَدَقَة مِنْ غُلُولٍ، وَكُنْت عَلَى الْبَصْرَة

“Tidak diterima shalat tanpa bersuci, dan tidak diterima sedekah dari penghianatan (ghulul), sementara engkau adalah wali (gubernur) Bashrah.”18

 

Imam an-Nawawi menjelaskan maksud ucapan Ibnu Umar tersebut: ‘engkau tidak selamat dari harta ghulûl karena engkau adalah gubernur dari kota Bashrah, dan terikat dipundakmu tanggung jawab atas hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Sementara doa untuk orang yang sifatnya seperti ini tidak akan diterima sebagaimana shalat dan sedekah tidak akan diterima kecuali dari orang yang menjaga diri dari sifat-sifat tersebut. Maksud Ibnu ‘Umar adalah memotivasi agar Ibnu Amir segera bertaubat dan meninggalkan segala sesuatu yang bertentangan dengan syari’at, tidak bermaksud memutlakkan tidak diterimanya doa untuk orang yang sifatnya disebutkan.’19

Jika pejabat mendapati perlakuan dari ‘ulama seperti ini, tentu akan mendorong mereka melakukan perbaikan. Berbeda halnya jika seorang tersangka korupsi masih disambut hangat di pesantren, tangannya diciumi santri karena memberikan sumbangan, ditambah perlakuan hangat dari penegak hukum saat mereka tertangkap, diakui atau tidak, sikap ini ikut andil dalam menyuburkan korupsi. Allâhu A’lam. [M. Taufik NT]

 

Bahan Pustaka

Shadiya Mohamed S. Baqutayan, Aini Suzana Ariffin, Magda Ismail A. Mohsin, Akbariah Mohd Mahdzir (2018): Waqf Between the Past and Present. Mediterranean Journal of Social Sciences, Vol 9 No 4 July 2018: 149-155.

 

Catatan Kaki:

1  “Polisi Penyidik KPK Peras Wali Kota Tanjungbalai, Minta Rp 1,5 Miliar Hingga Penilaian Citra Yang Memburuk Halaman All – Kompas.Com,” diakses 8 May 2021, https://nasional.kompas.com/read/2021/04/22/07103561/polisi-penyidik-kpk-peras-wali-kota-tanjungbalai-minta-rp-15-miliar-hingga?page=all.

2  “Truk Berisi Bukti Korupsi Hilang, KPK Ancam Pidana Pihak Yang Terlibat – News Liputan6.Com,” diakses 14 April 2021, https://m.liputan6.com/news/read/4531242/truk-berisi-bukti-korupsi-hilang-kpk-ancam-pidana-pihak-yang-terlibat.

3  “Kasus BLBI Yang Jerat Sjamsul Nursalim Dihentikan, MAKI Akan Gugat KPK Halaman All – Kompas.Com,” diakses 14 April 2021, https://nasional.kompas.com/read/2021/04/02/10372101/kasus-blbi-yang-jerat-sjamsul-nursalim-dihentikan-maki-akan-gugat-kpk?page=all.

4  “Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Kalah dari Timor Leste,” Republika Online, last modified 28 January 2021, diakses 6 May 2021, https://republika.co.id/share/qnmuoz428.

5  QS Ali Imran : 161

6  Abu Isa Muhammad bin Isa bin Sauroh At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Pentahkik. Ahmad Muhammad Syakir dan Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Cet. III. (Mesir: Musthafa al-Bâbi, 1975), Juz 3, h. 613; Sulaiman bin Ahmad Al-Thabarani, Al-Mu’jam al-Kabir, Cet. II. (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1994), Juz 20, h. 128.

7  At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Juz 4, h. 588; Ibnu Majah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Pentahkik. Muhammad Fuad Abd al-Baqi (Kairo: Dâr Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, tt), Juz 2, h. 1376; Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Al-Syaibani, Musnad Al-Imam Ahmad Bin Hanbal, Pentahkik. Syu’aib al-Arnauth dkk (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2001), Juz 4, h. 474.

8  Muhammad bin Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Hamdun, At-Tadzkirah al-Hamdûniyyah, Cet. I. (Beirut: Dâr Shâdir, 1417), Juz 1, h. 139.

9  Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ ’Ulumiddin (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, t.th), Juz 3, h. 64.

10    Sayyid bin Husain Al-’Affani, Shalâh Al-Ummah Fî Uluww al-Himmah, Cet. 1. (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1997), Juz 6, h. 49.

11    H. M. H. Al Hamid Al Husaini, Imamul Muhtadin: ‘Ali Bin Abi Thalib (Bandung: Pustaka Hidayah, 2008), h. 504.

12    Marzuki Haji Mahmood, Isu-Isu Kontroversi Dalam Sejarah Pemerintahan Khulafa’ Al-Rasyidin (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994), h. 84-86.

13    Abu Laits al-Samarkandi, Tanbîh Al-Ghâfilîn, Cet. III. (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 2000), h. 383-384.

14    Ibn ’Abd Rabbih Al-Andalusi, Al-’Aqd al-Farîd, Cet. I. (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1404), Juz 1, h. 46–47.

15  Al-Ghazali, Ihya’ ’Ulumiddin, Juz 2, h. 357.

16    Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah Al-Ashbahani, Hilyatu Al-Awliya’ (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 1409), Juz 8, h. 105.

17    Al-Ghazali, Ihya’ ’Ulumiddin, Juz 2, h. 344.

18    Muslim bin Hajjâj, Shahih Muslim, Pentahkik. Muhammad Fuad Abd al-Baqi (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, t.th), Juz 1, h. 204.

19    Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Cet. II. (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, 1392), Juz 1, h. 103–104.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen − 3 =

Back to top button