Apakah Islam Mengakui Adat dan Tradisi?
Soal:
Di manakah posisi dan kedudukan adat dan konvensi dalam pandangan Islam? Bukankah Islam menggunakan adat dan konvensi sebagai patokan, sebagaimana dalam peristilahan, batasan fakta tertentu, maupun yang lain? Kalau semuanya itu tidak diakui Islam, bagaimana Islam mendudukan semuanya?
Jawab:
Untuk menjawab ini, al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani membedakan tiga persoalan kunci. Pertama, konvensi [‘Urf] dan tradisi. Kedua, istilah. Ketiga, penilaian dan penentuan [Taqdirat]. Ketidakmampuan dalam memilah tiga persoalan kunci inilah yang menyebabkan masalah ini menjadi rumit, sulit diurai dan didudukkan satu-persatu dengan presisi.1
Secara harfiah, ‘Urf bisa diartikan pengetahuan [ma’rifah], sesuatu yang dikenal [syai’ ma’ruf], atau sesuatu yang dianggap baik [mustahsan]. Dalam al-Quran, Allah SWT berfirman:
خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf (QS al-A’raf [7]: 199).
Maksudnya, mengerjakan amal yang baik. Kadang, kata ‘Urf digunakan, tetapi dengan konotasi adat yang berkembang di tengah komunitas tertentu.
Dengan kata lain, ‘Urf merupakan aktivitas yang berulang, yang dilakukan oleh komunitas tertentu. Artinya, tradisi itu merupakan perbuatan yang diulang-ulang oleh individu, dan dia merasa nyaman. Jika tradisi ini tersebar dan berkembang di tengah komunitas, kemudian dilakukan oleh mayoritas atau semua orang, maka perbutaan tersebut telah berubah menjadi konvensi, atau ‘Urf.
Karena itu pada dasarnya ‘Urf itu merupakan tradisi sebuah kelompok. Ketika keputusan itu berdasarkan konvensi [‘Urf], itu artinya keputusan itu bersandar pada apa yang menjadi tradisi masyarakat. Dengan demikian, bisa disimpulkan, bahwa ‘Urf [konvensi] itu identik dengan perbuatan [af’al], bukan dengan kata [alfadz] maupun penilaian [Taqdirat].
Adapun istilah merupakan kesepakatan suatu komunitas untuk menggunakan sebutan tertentu untuk obyek tertentu. Dengan kata lain, menjadikan sesuatu yang bersifat definitif, disebut dengan sebutan tertentu. Dari sana, muncullah bahasa dan istilah tertentu. Seperti istilah ahli nahwu, ahli ilmu alam, istilah kampung atau wilayah tertentu, dan sebagainya. Semuanya ini disebut istilah. Begitu juga apa yang mereka sebut dengan Makna Hakiki menurut ‘Urf [Haqiqah ‘Urfiyah] merupakan istilah, bukan konvensi [‘Urf], dalam arti perbuatan [af’al]. Sebabnya, itu merupakan kesepakatan suatu kaum untuk menggunakan istilah tertentu dengan konotasi tertentu. Nah, di sini, posisinya sama persis seperti istilah bahasa, sebagai sebuah istilah.
Istilah juga bukan bagian dari tradisi dan ‘Urf. Meski terkait dengan penggunaan sebagian lafal dengan konotasi tertentu, yang penggunaanya diakui oleh banyak orang, ini murni merupakan istilah. Bukan tradisi atau ‘Urf. Karena istilah bukan perbuatan, tetapi bagian dari bahasa, atau pelafalan. Karena itulah maka Haqiqah ‘Urfiyah merupakan istilah, dan tidak bisa dikategorikan sebagai konvensi [‘Urf].
Di sisi lain, penilaian atau perkiraan [Taqdirat], yang penggunaannya diakui oleh masyarakat, seperti harga, upah, kadar nafkah keluarga, mahar, dan sebagainya, semuanya itu juga bukan bagian dari ‘Urf. Itu juga bukan merupakan tradisi masyarakat. Itu merupakan penilaian tertentu terhadap sejumlah benda, yang diakui oleh pasar dan kondisi di tengah masyarakat. Penilaian atau perkiraan tersebut bukan merupakan hasil pengulangan masyarakat, karena digunakan, bahkan juga tidak bisa disebut sebagai istilah yang digunakan masyarakat, tetapi ia ditetapkan oleh situasi eksternal di luar komunitas, kemudian komunitas tersebut ada, lalu memperkirakan atau menilainnya berdasarkan situasi ini.
Karena itulah penilaian atau perkiraan tersebut diserahkan kepada ahli, bukan kepada saksi, maupun masyarakat. Dengan kata lain, dalam konteks penilaian atau perkiraan tersebut, konvensi [‘Urf] sama sekali tidak dijadikan pertimbangan.
Jadi, dari sini, kita bisa membedakan perbedaan antara konvensi [‘Urf], istilah dan penilaian [Taqdirat]. Konvensi [‘Urf] itu untuk menyelesaikan salah satu perbuatan. Dengan kata lain, konvensi [‘Urf] merupakan kesimpulan hukum atas perbuatan atau benda. Karena itu konvensi [‘Urf] ini diakui oleh sebagian UU buatan manusia sebagai dalil bagi sebagian UU, dan diakui pula oleh mereka yang menjadikan konvensi [‘Urf] sebagai dalil atas sebagian hukum syariah. Karena konvensi [‘Urf] ini merupakan solusi dari sebuah masalah, maka konvensi [‘Urf] ini diambil untuk menjadi sumber penyelesaian masalah. Karena itu UU dibuat berdasarkan pendapat. Hukum syariah juga begitu, ditetapkan berdasarkan pendapat. Keduanya dengan bersandar pada konvensi [‘Urf] ini.
Ini berbeda dengan istilah, karena istilah adalah sebutan untuk obyek tertentu, tanpa melihat solusi apapun untuk obyek tersebut, apakah solusinya berupa UU, hukum syariah maupun yang lain, karena istilah terkait dengan obyek tersebut, yang diberi nama. Jadi, istilah ini terkait dengan nama untuk perbuatan atau benda, bukan terkait dengan solusinya.
Penilaian atau perkiraan itu berbeda dengan konvensi [‘Urf] dan berbeda pula dengan istilah. Ia hanya berlaku untuk benda-benda tertentu yang dibentuk oleh kondisi pasar, atau situasi masyarakat, seperti penentuan tentang harga, upah dan mahar. Keputusan yang mengharuskan nafkah, mahar, nafkah wanita yang ditalak, sewa rumah, semuanya itu ditentukan oleh ahli. Jadi, ini tidak hubungannya dengan hukum syariah karena ahli tersebut tidak memutuskan hukum, tetapi dia hanya menentukan kadar yang menjadi patokan hukum.
Karena itu, merupakan kesalahan fatal ketika ada yang mencampuradukkan antara konvensi [‘Urf], istilah dan penilaian. Pasalnya, faktanya masing-masing berbeda. Menganggap semuanya itu bagian dari konvensi [‘Urf] jelas menyalahi fakta selain memang menyalahi syariah. Syariah sendiri mengakui istilah bahasa dan istilah ‘Urfiyah. Kemudian, hukum ditetapkan berdasarkan istilah tersebut. Syariah juga mengakui penilaian-penilaian tersebut. Hukum syariah juga dilaksanakan mengikuti penilaian tersebut. Nah, ini berbeda dengan konvensi [‘Urf] karena syariah justru datang untuk menyelesaikan perbuatan dan benda, sama sekali tidak mengakui konvensi [‘Urf], bahkan ia tidak digunakan sebagai rujukan dalam memutuskan perbuatan manusia maupun benda. Namun, solusinya hanya berdasarkan seruan Asy-Syari’ saja.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka bisa disimpulkan, bahwa Islam mengakui konvensi [‘Urf] sebagai fakta, dan perbuatan yang diulang-ulang di tengah masyarakat, tetapi bukan sebagai dalil. Jika ada ahli fikih yang mengakui konvensi [‘Urf], konteksnya bisa dipilah menjadi dua: Pertama, ada yang terkait dengan istilah. Kedua, ada yang terkait dengan penilaian atau perkiraan tentang sesuatu. Dengan demikian, tidak ada ahli fikih satu pun yang menggunakan konvensi [‘Urf] sebagai dalil.
Pertama, konvensi [‘Urf] itu merupakan perbuatan yang berulang. Ia harus dilaksanakan mengikuti syariah sehingga semua perbuatan manusia berjalan sesuai dengan hukum syariah, baik perbuatan tersebut diulang-ulang oleh individu, sebagaimana adat, atau diulang-ulang oleh komunitas, sebagaimana konvensi [‘Urf], atau tidak diulang-ulang, dan dilakukan hanya sekali. Karena semua perbuatan wajib terikat dengan hukum syara’. Bukan dengan konvensi [‘Urf].
Kedua, konvensi [‘Urf] itu ada yang menyalahi syariah atau tidak. Jika menyalahi syariah maka syariah justru datang untuk menghilangkannya karena merupakan tugas syariah adalah mengubah konvensi [‘Urf] dan tradisi yang rusak. Jika konvensi [‘Urf] atau tradisi tersebut tidak menyalahi syariah, maka hukum ditetapkan berdasarkan dalil dan ‘illat syariahnya, bukan berdasarkan konvensi [‘Urf]. Pasalnya, bukan konvensi [‘Urf] yang dijadikan pemutus syariah, tetapi sebaliknya, syariahlah yang harus dijadikan sebagai pemutus konvensi [‘Urf] dan tradisi.2
Ketiga, dalil syariah adalah al-Quran, as-Sunah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Apa saja yang tidak dinyatakan sebagai dalil oleh al-Quran dan as-Sunah tidak boleh dijadikan sebagai dalil. Alasannya, konvensi [‘Urf] dan tradisi itu tidak mempunyai tempat di dalam al-Quran dan as-Sunnah, maka tidak boleh digunakan sebagai dalil. Mengenai dalil tentang atas pengakuan konvensi [‘Urf] dan tradisi tertentu, seperti bulan Haram, maka itu hanya berlaku untuk itu saja, tidak berlaku secara umum, sehingga semua konvensi [‘Urf] dan tradisi bisa dijadikan sebagai dalil.
Keempat, konvensi [‘Urf] dan tradisi itu ada yang baik dan ada yang buruk. Tidak diragukan lagi, konvensi [‘Urf] dan tradisi yang buruk secara aklamasi tidak diakui. Masalahnya, apa yang bisa digunakan untuk membedakan, mana yang baik dan mana yang buruk? Jawabannya adalah syariah atau wahyu, bukan akal atau konvensi [‘Urf] dan tradisi.
Dengan demikian jelaslah kedudukan konvensi [‘Urf] dan tradisi dalam pandangan Islam. Sebagai fakta, konvensi [‘Urf] dan tradisi itu diakui ada. Namun, semua itu untuk dihukumi dan disikapi, bukan diambil dan dijadikan patokan. Adapun menggunakan konvensi [‘Urf] dan tradisi dalam menentukan nafkah, harga, upah, mahar, termasuk tabarruj, misalnya, sebenarnya bukan menggunakan konvensi [‘Urf] dan tradisi sebagai rujukan, karena rujukannya tetap berdasarkan ketentuan yang ditetapkan syariah. WalLahu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan Kaki:
1 Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, al-Juz at-Tsalits, Dar al-Ummah, Beirut, cetakan III, 1426 H/2005 M, hal. 462-473.
2 Lihat, Al-‘Allamah al-Imam az-Zarkasyi, al-Bahru al-Muith fi Ushul al-Fiqh, Dar Ibn al-Jauzi, Qahirah, cetakan I, 1437 H/2016 M, Juz VI/hal. 90.