Tafsir

Ancaman Bagi Mereka Yang Mendustakan Rasul saw. (lanjutan)

(Tafsir QS al-Muzzammil [73]: 17-19 – Lanjutan)

فَكَيۡفَ تَتَّقُونَ إِن كَفَرۡتُمۡ يَوۡمٗا يَجۡعَلُ ٱلۡوِلۡدَٰنَ شِيبًا  ١٧ ٱلسَّمَآءُ مُنفَطِرُۢ بِهِۦۚ كَانَ وَعۡدُهُۥ مَفۡعُولًا  ١٨ إِنَّ هَٰذِهِۦ تَذۡكِرَةٞۖ فَمَن شَآءَ ٱتَّخَذَ إِلَىٰ رَبِّهِۦ سَبِيلًا  ١٩

Lalu bagaimanakah kalian akan dapat menjaga diri kalian (dari azab) hari yang menjadikan anak-anak beruban jika kalian tetap kufur? Langit terbelah padanya (hari itu). Janji-Nya pasti terlaksana. (QS al-Muzzammil [73] 17-19)

 

Dalam ayat sebelumnya, Allah SWT memberitakan bahwa Dia telah mengutus seorang rasul, yakni Rasululllah Muhammad saw., kepada penduduk Makkah, sebagai saksi atas mereka. Mereka juga diingatkan tentang azab yang ditimpakan kepada Fir’aun yang mendurhakai rasul yang diutus kepada dia. Disampaikan kisah itu sebagai ancaman kepada orang-orang yang mendustakan dan mendurhakai Rasulullah saw.

Berikutnya ayat ini berisi ancaman kepada mereka tentang dahsyatnya Hari Kiamat jika mereka terus dalam kekufuran dan mengingkari Rasulullah saw.

 

Tafsir Ayat

إِنَّ هَٰذِهِۦ تَذۡكِرَةٞۖ ١٩

Sungguh ini adalah peringatan.

 

Ayat ini diawali dengan ism al-isyârah yang dikuatkan dengan huruf inna, yakni: . Ism al-isyârah atau kata penunjuk itu menunjuk pada ayat-ayat yang disampaikan sebelumnya, yakni ayat-ayat yang berisi ancaman, mulai dari ayat 12 hingga ayat ini,1 yang menurut Muhammad Ali ash-Shabuni merupakan ayat-ayat yang  menakutkan dan berisi larangan serta mengetuk hati.2 Bisa juga menunjuk pada surat atau ayat-ayat ini. 3 Bahkan seluruh ayat al-Quran, bukan hanya yang terdapat di dalam surah ini.4 Sebabnya, ayat-ayat al-Quran itu seperti satu surat.5

Ditegaskan bahwa ayat-ayat tersebut merupakan [تَذْكِرَةٌ] (peringatan). Kata [تَذْكِرَةٌ] merupakan ism mashdar dari kata [الذُّكْرِ], dengan men-dhammah-kan huruf al-dzâl. Artinya, [خُطُورُء الشَّيْءِ فِي الْبَالِ] (terlintasnya sesuatu dalam benak). Dengan demikian makna [التَّذْكِرَةُ] adalah [الْمَوْعِظَةُ] (nasihat, pelajaran).6 Artinya, nasihat bagi makhluk.7

Ayat-ayat ini disebut sebagai tadzkirah karena mengingatkan orang yang lalai dari akibat buruk yang akan menimpa mereka. Penyebutan tersebut juga merupakan pujian terhadap ayat-ayat al-Quran, seraya terus memotivasi manusia agar mau men-tadabburi atau merenungkan isinya, serta memikirkan sindiran halus yang terdapat di dalamnya.8

Menurut Fakhruddin ar-Razi, ayat-ayat tersebut adalah peringatan-peringatan yang mencakup berbagai jenis petunjuk dan pelajaran.9

Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Sesungguhnya nasihat yang diberitahukan Allah tentang keadaan-keadaan Hari Kiamat serta huru-haranya ini adalah sebagai peringatan yang mengingatkan orang-orang bertakwa serta sebagai peringatan bagi orang-orang yang beriman.”10

Kalimat dalam ayat ini dikuatkan dengan harf al-ta‘kîd, yakni [اِنَّ] . Pengukuhan berita disebutkan lantaran objek utamanya yang diseru orang-orang yang mengingkari al-Quran sebagai peringatan dan petunjuk. Mereka telah mendustakan kitab yang berasal dari Allah SWT. Mereka menyebut al-Quran sebagai sihir dan dongengan. Karena perkataan mereka itulah Rasulullah saw. diminta untuk bersabar. Allah SWT berfirman:

وَٱصۡبِرۡ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ ١٠

Bersabarlah engkau (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan (QS al-Muzammil [73]: 10).11

 

Kemudian disebutkan:

فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ اِلى رَبِّه سَبِيْلًا

Siapa saja yang berkehendak niscaya mengambil jalan (yang lurus) kepada Tuhannya.

 

Kata [مَنْ] (siapa saja) merupakan ism syarth. Kata [شَاءَ] (menginginkan) merupakan fi’l asy-syarth. Kata yang menjadi maf’ûl (objek)-nya tidak disebutkan. Maknanya telah dipahami, yakni sama dengan jawaban. Artinya, “Siapa saja yang ingin menjadikan jalan kepada Tuhannya, maka dia akan mengambilnya sebagai jalan.”12

Bisa juga diperkirakan kalimat lengkapnya adalah, “Siapa saja yang menginginkan keselamatan atau keimanan.”13

Yang menjadi jawâb asy-syarth [اتَّخَذَ] (mengambil).14 Artinya, mengambilnya dengan penuh kesungguhan. Disebutkan [اِلى رَبِّه] (kepada Tuhannya), yakni khusus kepada Allah SWT, tidak kepada yang lainnya.15

Kata [السَّبِيل] (jalan) secara bahasa bermakna: [طَرِيْق] (cara, jalan).16 Menurut ar-Raghib al-Asfahani, as-sabîl adalah [الطّريق الذي فيه سهولة] (jalan yang di dalamnya ada kemudahan).17

Dalam konteks ayat ini, kata as-sabîl sebagai ungkapan untuk menggambarkan ketekunan dalam ketaatan dan menjaga diri dari kemaksiatan.18 Jalaluddin al-Mahalli mengatakan, “Jalan keimanan dan ketaatan.”19

Menurut Abdurrahman as-Sa’di, yang dimaksud dengan jalan kepada Tuhannya adalah jalan yang mengantarkan  kepada Allah SWT, dengan cara mengikuti syariah-Nya. Sebabnya, Allah SWT telah menerangkan syariah-Nya dengan sangat jelas dan sangat terang. 20

Menurut asy-Syaukani, ketaatan yang paling penting adalah bertauhid kepada Allah SWT. Maknanya, “Siapa saja yang mengambil ketataan, yang tauhid kepada Tuhannya merupakan ketataan paling penting, sebagai jalan yang dapat mengantarkannya ke surga.”21

Tentang makna ayat ini, Ibnu ‘Asyur berkata, “Siapa saja yang ingin mengambil jalan kepada Tuhannya, maka dia akan menyiapkan diri untuk mengambil jalan kepada Allah SWT dengan peringatan ini.”

Tidak ada alasan yang dapat diterima dari orang-orang yang lalai.22

Muhammad Ali ash-Shabuni berkata, “Siapa saja di antara orang yang lupa ingin memperoleh pelajaran dari peringatan ini sebelum waktunya habis, maka hendaknya dia menempuh jalan menuju Allah, yaitu keimanan dan ketaatan.”23

Muhammad al-Amin al-Harari berkata, “Siapa saja yang menjadikan bagi dirinya jalan yang mengantarkan pada keridaan Allah SWT dengan keimanan dan ketaatan, maka sesungguhnya itu adalah metode yang mengantarkan pada keridhaan-Nya dan kedudukan yang mendekatkan-Nya, dan menetapkan pada surga-Nya.”24

Dalam ayat ini disebutkan: [فَمَنْ شاء], sebagai dorongan dan motivasi. Sebabnya, hal ini meniscayakan bahwa jalan ini mengantarkan pada kebaikan, sehingga tidak ada penghalang yang menghalangi antara pencari kebaikan dengan jalan tersebut kecuali keingingannya sendiri. Sebabnya, firman Allah SWT: [اِنَّ هذِه تَذْكِرَة] menjadi qarînah (indikasi) hal itu.25

Para ulama tafsir berkata, “Tujuan ayat mendorong untuk beriman dan taat kepada Allah serta berbuat amal salih agar menjadi simpanan di akhirat.” 26

 

Beberapa Pelajaran Penting

Terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil dari ayat-ayat ini. Pertama: Kedudukan seorang rasul sebagai saksi atas umatnya. Hal ini diterangkan dalam ayat ini tentang pengutusan Rasulullah saw. kepada penduduk dan seluruh umatnya. Beliau diutus untuk menjadi saksi atas mereka sebagaimana Musa as. yang diutus kepada Fir’aun. Hal yang sama juga terjadi pada Isa as. (Lihat: QS an-Nisa‘ [4]: 159).

Bahkan juga semua rasul lainnya, mereka menjadi saksi atas umat masing-masing (Lihat: QS al-Nahl [16]: 84).

Ayat ini memberitakan bahwa Allah SWT mengutus dari setiap umat seorang saksi, yakni nabi mereka, yang menjadi saksi atas umat tersebut dalam hal penerimaan mereka terhadap apa yang telah dia sampaikan kepada mereka dari Allah SWT. Demikian penjelasan Ibnu Katsir tentang ayat ini.27

Demikian juga dalam firman Allah SWT yang lainnya (Lihat, QS al-Qashash [28]: 75).

Semua ayat tersebut memberitakan bahwa pada Hari Kiamat, para rasul menjadi saksi atas umat mereka masing-masing. Merekalah yang mengetahui sikap umatnya ketika mereka berdakwah, apakah umatnya menerima dengan baik ajakan dan seruan yang disampaikan, ataukah mereka kufur dan menolaknya

Kesaksian para rasul atas penerimaan dan penolakan umatnya disertai dengan penjelasan yang cukup dan bukti yang benar. Berdasarkan kesaksian itu, hukuman dijatuhkan kepada mereka. Mereka tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan alasan untuk membela diri ataupun minta maaf akan segala perbuatan dan tindakan mereka pada masa hidup di dunia.

Kedua: Hukuman bagi orang yang mendurhakai Rasul. Dalam ayat ini diberitakan tentang hukuman sangat berat yang ditimpakan kepada Fir’aun. Hukuman tersebut sebagai hukuman dan balasan atas kemaksiatan mereka terhadap rasul yang diutus mereka, Musa as.

Hal yang sama juga akan diberlakukan kepada siapa pun yang memiliki sikap yang sama seperti Fir’aun. Mereka akan mendapatkan hukuman sekalipun jenis azabnya bisa bermacam-macam. Sebagaimana diterangkan, ayat ini merupakan  ancaman dan peringatan keras kepada penduduk Makkah yang memiliki sikap yang sama. Ancaman kepada orang yang mendurhakai Rasulullah saw. sangat banyak (Lihat, misalnya: QS an-Nisa’ [4]: 14).

Ketiga: Dahsyatnya Hari Kiamat. Selain azab di dunia yan dahsyat, orang-orang yng durhaka terhadap rasul yang diutus kepada mereka juga diancam dengan siksa akhirat yang sangat dahsyat.

Dalam ayat ini digambarkan sebagian peristiwa yang terjadi pada Hari Kiamat. Dahsyatnya Hari Kiamat tergambar dengan perubahan secara cepat anak-anak menjadi orangtua. Anak-anaknya yang rambutnya masih hitam seletika berubah memutih mejadi beruban. Langit yang sangat besar, kuat dan tampak tanpa celah, pada hari itu menjadi terbelah. Ditegaskan juga bahwa janji Allah SWT pasti terlaksana.

Keempat: Al-Quran sebagai peringatan, pelajaran dan nasihat. Dalam ayat ini disebut tadzkirah. Sebagaimana telah diterangkan, kata tersebut berarti maw’izhah (nasihat) dan ‘ibrah (pelajaran). Keberadaan al-Quran sebagai tadzkirah itu juga disebutkan dalam beberapa ayat lainnya, seperti dalam firman-Nya (Lihat, misalnya: QS Thaha [20]: 3).

Kelima: Menjadi Mukmin atau kafir berada dalam dalam ranah pilihan atau ikhtiar manusia. Yang dimaksud pilihan di sini bukan berarti boleh memilih seperti perbuatan mubah yang tidak ada konsekuensi pahala dan dosa. Namun, pilihan tersebut berkonsekuensi dengan pahala dan dosa, surga dan neraka. Dengan demikian perkara iman dan kafir bukan perkara mujbar di luar ranah ikhtiar manusia sehingga manusia tidak bisa menolak dan menghindar darinya, seperti halnya dia diciptakan sebagai manusia lengkap beserta tubuhnya.

Menurut Abdurrahman as-Sa’di,  dalam ayat ini terdapat dalil bahwa Allah SWT telah membuat manusia mampu melakukan perbuatan-perbuatan mereka. Tidak seperti yang dikatakan oleh Jabariyah yang menyatakan bahwa perbuatan manusia berlaku di luar kehendak mereka. Hal ini bertentangan dengan dalil naqli dan dalil ‘aqli.28

WalLâh a’lam bi ash-shawwâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        Lihat al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 122;  al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 31, 361

2        al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 444. Lihat juga Jalaluddin al-Mahalli, Tafsîr al-Jalâlayni (Kairo; Dar al-Hadts, tt), 774; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 458

3        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 51

4        al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 385. Lihat juga al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 31, 361

5        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 51

6        al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 693. Lihat juga al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 122

7        Jalaluddin al-Mahalli, Tafsîr al-Jalâlayni, 774

8        Ibnu Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 277. Lihat juga al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 385

9        al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 693

10      al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannnân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 894

11      Ibnu Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 277

12      al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 122

13      Mahmud Shafi, al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân al-Karîm, vol. 29, 141

14      Mahmud Shafi, al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân al-Karîm, vol. 29, 141; al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 3, 396

15      al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fî  Tanâsub al-Suwar, vol. 21, 28

16      Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’ashirah, vol. 2, 1031

17      al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Beirut: Dar al-Qalam, 1992), 395

18      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 693

19      Jalaluddin al-Mahalli, Tafsîr al-Jalâlayni, 774

20      al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannnân, 894

21      al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 385

22      Ibnu Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 278

23      al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 444

24      al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 31, 361

25      Ibnu Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 278

26      al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 444

27      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 4, 592

28      al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannnân, 894

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four × 1 =

Back to top button