Penentang Al-Quran dan Hukumannya (2)
ثُمَّ نَظَرَ ٢١ ثُمَّ عَبَسَ وَبَسَرَ ٢٢ ثُمَّ أَدۡبَرَ وَٱسۡتَكۡبَرَ ٢٣
Kemudian dia merenung. Lalu berwajah masam dan cemberut. Kemudian berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri. (QS al-Muddatstsir [74]: 21-23).
Dalam ayat sebelumnya diceritakan tentang tindakan seseorang, yang menurut semua mufassir adalah al-Walid bin al-Mughirah. Dia berpikir dan menetepakan tentang al-Quran. Dia pun dilaknat atas keputusannya terhadap al-Quran itu. Bahkan ancaman itu disebutkan hingga dua kali. Ini menunjukkan betapa dahsyatnya ancaman tersebut.
Kemudian dalam ayat ini memberitakan rangkaian tindakan al-Walid hingga menetapkan bahwa al-Quran adalah perkataan manusia.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman:
ثُمَّ نَظَرَ
Kemudian dia merenung (memikirkan) (QS al-Muddatstsir [74]: 21).
Kata tsumma merupakan harf ‘athf li al-tartîb ma’a at-tarâkhî (kata sambung yang menunjukkan adanya urutan yang disertai dengan jeda).1 Menurut Ibnu ‘Asyur, at-tarâkhî di sini adalah jarak secara peringkat. Bukan jeda secara waktu. Alasannya, nazhar, ‘ubûsah, basar, idbâr, dan istikbâr semuanya merupakan rangkaian untuk memikirkan dan menetapkannya.2
Ayat ini di-‘athf-kan (disambungkan) dengan firman Allah sebelumnya, yakni: fakkara wa qaddara (dia memikirkan dan menetapkan). Dua ayat sebelumnya yang berisi doa keburukan merupakan i’tirâdh (kalimat sela) di antara keduanya.3
Kata an-nazhar dan an-nazhâr berarti ta’ammul al-syay‘ bi al-‘ayn (mengamati sesuatu dengan mata).4 Menurut Ar-Raghib al-Asfahani, makna an-nazhar adalah membolak-balikkan mata kepala dan mata batin untuk mengtahui dan melihatnya. Kata tersebut kadang juga bermakna at-ta‘ammul wa al-faksh (perenungan dan pengamatan). Juga berarti pengetahuan yang dihasilkan sesudah dilakukan pengamatan. Itulah yang disebut al-râwiyah (mempertimbangkan). Dikatakan: نَظَرْتَ فلم تَنْظُرْ (Kamu telah mengamati, namun kamu belum merenungkan). Artinya, لم تَتَأَمَّلْ ولم تَتَرَوَّ (kamu belum merenungkan dan mempertimbangkan). Allah SWT berfirman:
قُلِ ٱنظُرُواْ مَاذَا فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ
Katakanlah, “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi!” (QS Yunus [10]: 101).
Artinya: تَأَمَّلُوا (Perhatikan, renungkan).5
Makna ini pula yang disampaikan oleh banyak mufassir tentang kandungan ayat ini. Menurut Ibnu Katsir, makna ayat ini adalah: Dia (al-Walid bin al-Mughirah) memikirkan dan merenungkan ulang.6 Abu Hayyan al-Andalusi juga memaknainya dengan: fakkara tsâniyy[an] (Dia memikirkan ulang).7
Tidak disebutkan maf’ûl (objek) yang dipikirkan dan direnungkan. Namun, yang dimaksud sudah jelas, yakni al-Quran sebagaimana ayat sebelumnya. Al-Baidhawi berkata, “Kemudian dia merenungkan kembali tentang perkara al-Quran.”8
Hanya saja tindakan Al-Walid merenungkan dan mempertimbangkan al-Quran bukan didasarkan pada niatan yang baik dan benar, yakni untuk mencari kebenaran dan meyakininya. Namun, tindakan itu dilakukan atas dasar dorongan jahat dan motivasi busuk, yakni mencari-cari celah dan titik kelemahan yang bisa dia gunakan untuk menolak, mengingkari dan membantah kebenaran al-Quran. Menurut Al-Qurthubi, dia memikirkan dan merenungkan segala hal untuk membantah dan menolak kebenaran.9 Hal senada juga dikemukakan al-Khazin dan al-Zuhaili.10
Kemudian Allah SWT berfirman:
ثُمَّ عَبَسَ وَبَسَرَ ٢٢
Lalu berwajah masam dan cemberut (QS al-Muddatstsir [74]: 22).
Ayat ini masih disambungkan dengan ayat sebelumnya dengan menggunakan kata tsumma (kemudian) yang merupakan harf ‘athf li al-tartîb ma’a al-tarâkhîy. Menurut Fakhruddin ar-Razi, ayat ini dan sebelumnya menggambarkan keadaan pelakunya. Pertama: Fakkara (dia memikirkan). Kedua: Qaddara (dia menetapkan). Ketiga: Nazhara (dia merenungkan) apa yang telah dia tetapkan. Dengan demikian an-nazhar (renungan) yang pertama untuk memecahkan sesuatu, sedangkan an-nazhar berikutnya untuk menetapkan. Ini merupakan bentuk kehati-hatian dia. Ketiga fase itu masih menggambarkan keadaan di dalam hatinya. Setelah itu Allah SWT menggambarkan keadaan yang terlihat pada wajahnya dengan ayat ini.11
Ada dua keadaan yang tampak pada wajahnya. Pertama: ‘abasa (berwajah masam). Kalimat: عَبَسَ الشَّخْصُ maknanya adalah قَطَّبَ مَا بَيْنَ عَيْنَيْهِ وتَجَهَّمَ (mengerutkan dahi yang berada di antara matanya dan cemberut). Ini untuk menampakkan rasa sakit hati dan tidak senang. Perasaan tersebut terekspresi pada wajahnya. Kalimat: عَبَسَ وَجْهُه juga berarti كَلَحَ (wajahnya murung, cemberut).12
Makna ini juga yang dikatakan oleh para mufassir. Ibnu Katsir memaknai عَبَسَ dengan قَبَضَ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَقَطَّبَ (mengernyitkan dan menge-rutkan dahi).13 Itulah yang terlihat pada wajah Al-Walid. Setelah dia memikirkan dan menetapkan al-Quran, lalu merenungkan kembali apa yang telah dia tetapkan tentang al-Quran, wajahnya menjadi muram.
Menurut al-Qurthubi, sikap ini dilakukan oleh Al-Walid bin al-Mughirah di hadapan kaum Muslim. Setelah dia menyampaikan kepada kaum Quraisy bahwa Nabi saw. adalah seorang penyihir, kemudian ia berlalu di hadapan kaum Muslim. Mereka pun mengajak dia untuk masuk ke dalam Islam, lalu dia bermuka masam.14
Menurut al-Baidhawi, Al-Walid memandang Rasulullah saw. dan mengerutkan wajahnya.15
Kedua: Basara (cemberut). Menurut Ibnu Jarir al-Thabari kata tersebut bermakna كَلَحَ وَجْهُه (wajahnya cemberut).16 Menurut Qatadah dan as-Sudi, tak hanya cemberut, wajahnya pun berubah warnanya.17 Orang-orang Arab berkata: وَجْهٌ بَاسِرٌ بَيِّنُ الْبُسُورِ ketika wajahnya berubah warnanya dan menghitam. Demikian menurut Abu Hayyan al-Andalusi dan al-Qurthubi 18
Kalimat: بسَر الشَّخْصُ bermakna أَظْهَرَ العُبوس (menampakkan kemurungan), yakni memandang dengan kebencian yang sangat. Wajahnya cemberut dan berubah ronanya.19
Al-Laitsu berkata, “Kata عَبَسَ يَعْبَسُ فَهُوَ عَابِسٌ bermakna mengerutkan dahi. Jika ditambah dengan menampakkan gigi pada wajahnya yang masam, maka disebut كَلَحَ. Jika sangat memperhatikan dan memikirkannya, maka disebut بَسَرَ Jika dia marah karenanya, maka disebut بسل 20
Dengan demikian kata tersebut hampir sama dengan makna kata ‘abasa. Hanya saja, menurut Ibnu Juzyi, kata البُسُور dalam mengerutkan wajahnya lebih parah daripada العَبُوس (bermuka masam). Hal itu dilakukan karena hasad (kedengkian)-nya kepada Nabi saw.21
Menurut Muhammad Ali ash-Shabuni, kata ‘abasa menggambarkan bahwa orang tersebut mengerutkan wajahnya karena merasa sempit dengan apa yang akan dia katakan. Adapun wa basara berarti dia semakin jengkel dan cemberut, seperti orang yang memikirkan suatu perkara yang dia atur.22
Menurut Muhammad Nawawi al-Bantani, itu terjadi karena dia tidak menemukan jalan untuk mendiskreditkan al-Quran. Juga tidak mengetahui apa yang harus dia katakan terhadap al-Quran.23
Hal senada juga dikemukakan Abu Hayyan al-Andalusi dan al-Baidhawi. Menurut mereka, Al-Walid mengerutkan dahi dan cemberut karena siasatnya menjadi terasa sempit sehingga tidak mengetahui apa yang harus dikatakan.”24
Menurut Ibnu ‘Asyur, kata basara berarti wajahnya cemberut dan berubah warnanya karena rasa takut dan sedih ketika dia tidak menemukan sesuatu yang dapat mengobati kedengkiannya dalam mencela al-Quran yang tidak dapat dibantah oleh akal.25
Kemudian Allah SWT berfirman:
ثُمَّ أَدۡبَرَ وَٱسۡتَكۡبَرَ ٢٣
Kemudian berpaling (dari kebenaran) dan menyombongkan diri (QS al-Muddatstsir [74]: 23).
Ayat ini dihubungkan dengan ayat sebelumnya dengan menggunakan kata tsumma (kemudian). Kata أَدْبَرَ secara bahasa berpaling dan berlalu. Kalimat: أَدْبَرَ الشَّخصُ berarti مَضَى وذَهَبَ وَوَلَّى (orang itu telah berlalu, meninggalkan dan berpaling). Lawan katanya adalah أقْبَل (menghadap, mendatangi). Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا رَءَاهَا تَهۡتَزُّ كَأَنَّهَا جَآنّٞ وَلَّىٰ مُدۡبِرٗا وَلَمۡ يُعَقِّبۡۚ ٣١
Lalu ketika dia (Musa) melihatnya bergerak-gerak seakan-akan seekor ular yang (gesit), dia lari berbalik ke belakang tanpa menoleh (QS al-Qashash [28]: 31).26
Dalam ayat lainnya Allah SWT berfirman:
وَٱلَّيۡلِ إِذۡ أَدۡبَرَ ٣٣
Demi malam ketika telah berlalu (QS al-Muddatstsir [74]: 33).
Kata أَدْبَرَ bermakna, ولَّى لِيَذْهَبَ (berpaling untuk pergi).27
Kata al-idbâr juga bisa digunakan secara isti’ârah untuk menyebut perubahan pemikiran yang sebelumnya. Ini seperti dalam firman Allah SWT:
تَدۡعُواْ مَنۡ أَدۡبَرَ وَتَوَلَّىٰ ١٧
Yang memanggil orang yang membelakangi dan yang berpaling (dari agama) (QS al-Ma’arij [70]: 17).
Yang dimaksud dengan أَدْبَرَ di sini adalah berpaling dari ketaatan kepada Allah SWT.28
Dengan demikian kata adbara mencakup berpaling, secara fisik maupun secara pemikiran dan perasaan.
Dalam konteks ayat ini, banyak mufassir menafsirkan: berpaling secara pemikiran dan perasaan. Tegasnya, Al-Walid berpaling dari kebenaran, iman dan Islam. Menurut Syihabuddin al-Alusi dan al-Baidhawi, dia berpaling dari kebenaran atau dari Rasulullah saw.29 Al-Baghawi dan al-Khazin mengatakan, dia berpaling dari keimanan.30
Ibnu Jarir al-Thabari berkata, “Kemudian dia berpaling dari keimanan dan kepercayaan terhadap Kitab yang Allah SWT trurunkan.”31
Ibnu Juzyi berkata, “Makna أَدْبَرَ adalah berpaling dari Islam.”32
Sebagian ulama lainnya memaknai kata tersebut dengan: berpaling secara fisik. Fakhruddin al-Razi berkata, “Dia berpaling dari seluruh manusia kepada kaumnya.” Hal serupa juga dikemukakan al-Qurthubi.33
Selain berpaling, dia juga istakbara (menyombongkan diri). Menurut Ar-Raghib al-Asfahani, kata al-kibr, at-takabbur dan al-istikbâr berdekatan maknanya. Al-Kibr adalah keadaan yang manusia secara khusus mengagumi dirinya sendiri. Itu terjadi ketika manusia melihat dirinya lebih besar atau lebih hebat daripada yang lain. At-Takabbur (kesombongan) yang paling besar adalah takabur (sombong) kepada Tuhannya dengan menolak kebenaran dan tidak mau beribadah (tunduk) kepada-Nya.
Adapun al-istikbâr digunakan untuk mengungkapkan dua keadaan. Pertama: Seseorang yang berusaha agar dirinya menjadi besar. Itu dilakukan ketika terdapat keadaan, tempat dan waktu yang mengharuskan berbuat demikian. Sikap ini merupakan perbuatan yang terpuji.
Kedua: Sikap merasa bangga dan puas terhadap dirinya, lalu manampakkan dirinya pada perkara yang tidak semestinya. Ini merupakan perbuatan tercela. Sikap ini pula yang disebutkan dalam banyak ayat al-Quran (Lihat, misalnya: QS al-Baqarah [2]: 34; QS Nuh [71]: 7. Tentu masih banyak ayat lainnya. 34
Jenis yang kedua inilah yang dilakukan oleh Al-Walid. Dia menganggap dirinya besar lalu sehingga menolak kebenaran yang datang kepadanya. Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Dia menyombongkan diri dari mengakui kebenaran.”35
Asy-Syaukani juga berkata, “Artinya, berpaling dari kebenaran dan kembali kepada keluarga, serta merasa sombong dan enggan beriman.”36
Dengan demikian, sebagaimana menurut Muhammad Ali ash-Shabuni, ayat ini menerangkan Al-Walid berpaling dari iman dan sombong untuk mengikuti kebenaran dan petunjuk.37
Ayat-ayat ini menceritakan rangkaian tindakan Al-Walid bin al-Mughirah terhadap al-Quran. Pada awalnya dia mengakui kebenaran al-Quran sebagian firman Allah SWT dan perkataan yang sangat tinggi serta tidak ada yang menandinginya. Namun, kesombongan dan hawa nafsunya telah menguasinya dirinya sehingga membuat dia berpaling dari kebenaran dan berani bersikap lancang terhadap Allah SWT. Keterkaitan antara sikap sombong dengan pendustaan terhadap ayat-ayat Allah SWT juga diberitakan dalam ayat lain (Lihat: QS al-A’raf [7]: 146).
Lebih dari itu, dia berani menuduh firman Allah SWT sebagai sihir yang dipelajari Rasulullah saw., sebagaimana diberitakan dalam ayat berikutnya. Dia pun harus menerima hukuman atas sikapnya itu, yakni mendapatkan laknat dan dimasukkan ke dalam Neraka Saqar.
Ketentuan itu bukan hanya berlaku bagi al-Walid, namun semua orang yang melakukan hal yang sama. Semoga kita dijauhkan dari sikap tersebut.
WalLâh a’lam bi al-shawâb.[ Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan Kaki:
1 Muhyiddin Darwis, I’râb al-Qur‘ân, vol. 10 (Damaskus: Dar al-Yamamah, 1995), 279
2 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 309
3 al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 649; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rawh wa al-Rayhân fi Rawâbî ‘Ulûm al-Qur’ân, vol. 30 (Beirut: Dar Thawq al-Najah, 2001), 397; Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 308
4 al-Razi, Mukhtâr al-Shihhah (Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1992), 313
5 al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 812
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 266
7 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 330
8 al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 261
9 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 75
10 al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 364; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 227
11 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 706
12 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 2, 1451
13 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 266. Lihat juga al-Jazairi, Aysar al-Tafasîr, vol. 4, 466
14 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 75
15 al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 261
16 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 23
17 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 75.
18 al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 76; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 330
19 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 2, 202. Lihat juga al-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 3, 516
20 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 707
21 Ibnu Juzyi, al-Tas-hîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 2, 429
22 al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, vol. 3, 453
23 Nawawi al-Bantani, Marâh Labîd, vol. 2 ( ), 580
24 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 330
25 Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 309
26 Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, 1, 720
27 al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, vol. 4, 270
28 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 609; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 18, 289; Aysar al-Tafasîr, vol. 5, 430
29 al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 138; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 261. Lihat juga al-Jazairi, Aysar al-Tafasîr, vol. 4, 465
30 al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 5, 177; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 364
31 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 25-26.
32 Ibnu Juzyi, al-Tas-hîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 2, 429
33 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 707; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 76
34 al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 697
35 al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 26
36 al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 392
37 al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, vol. 3, 453