Tafsir

Sifat Manusia Penghuni Neraka

بَلۡ يُرِيدُ كُلُّ ٱمۡرِيٕٖ مِّنۡهُمۡ أَن يُؤۡتَىٰ صُحُفٗا مُّنَشَّرَةٗ ٥٢ كَلَّاۖ بَل لَّا يَخَافُونَ ٱلۡأٓخِرَةَ ٥٣  كَلَّآ إِنَّهُۥ تَذۡكِرَةٞ ٥٤

Bahkan setiap orang dari mereka ingin diberi lembaran-lembaran (kitab) yang terbuka. Tidak! Sebenarnya mereka tidak takut terhadap akhirat. Tidak! Sungguh (al-Quran) itu benar-benar suatu peringatan. (QS al-Muddatstsir [74]: 48-56).

 

Dalam ayat-ayat sebelumnya diterangkan tentang sikap orang-orang kafir yang berpaling dari al-Quran yang berisi peringatan. Berpalingnya mereka dari peringatan diserupakan seperti keledai liar yang lari terkejut, yang lari dari singa atau para pemanah.

Dalam ayat berikutnya kemudian diterangkan motif mereka sebenarnya.

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

بَلۡ يُرِيدُ كُلُّ ٱمۡرِيٕٖ مِّنۡهُمۡ أَن يُؤۡتَىٰ صُحُفٗا مُّنَشَّرَةٗ ٥٢

 

Bahkan setiap orang dari mereka ingin diberi lembaran-lembaran (kitab) yang terbuka.

 

Ayat ini melanjutkan kalimat dalam ayat sebelumya dengan kata بَلْ yang merupakan harf ‘athf.  Kata tersebut bermakna idhrâb, mengalihkan pembicaraan dari suatu tema ke  tema yang lain.1

Dalam konteks ayat ini, ini termasuk idhrâb intiqâli (pengalihan ke hal lain tanpa disertai pembatalan terhadap kalimat sebelumnya) dengan menghilangkan kalimat yang menjadi jawaban atas pertanyaan sebelumnya. Seolah dikatakan, “Mereka tidak memiliki jawaban atas pertanyaan tersebut.” Jadi maknanya adalah, “Mereka tidak punya alasan yang menyebabkan mereka berpaling, bahkan mereka menginginkan.”2

Kemudian disebutkan tiap-tiap dari orang-orang kafir itu menginginkan agar kepada mereka turun صُحُفًا مُنَشَّرَة (lembaran-lembaran yang terbuka) dari Allah SWT. Kata صُحُف merupakan bentuk jamak dari kata صَحِيْفَة (lembaran). Maknanya adalah kitâb (buku, catatan) atau kertas yang ada tulisannya.3

Buku tersebut disifati dengan kata اَلْمُنَشَّرَة yang merupakan ism maf’ûl dari kata: نَشَّرَ. Adanya syiddah pada kata tersebut merupakan bentuk mubâlaghah dari kata  نَشَرَ (membentangkan, menyebarkan). Maknanya, shuhuf atau lembaran-lembaran yang terbuka dan dapat dibaca. Bukan sekadar terbentang, namun tidak diketahui apa yang tertulis di dalamnya.4 Menurut Wahbah al-Zuhaili maknanya adalah lembaran-lembaran yang tersebar, terhampar, disebarkan dan dibaca.5

Menurut Mujahid, tiap-tiap orang-orang musyrik itu menginginkan sebuah kitab sebagaimana kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Penjelasan tersebut sejalan dengan firman Allah SWT:

وَإِذَا جَآءَتۡهُمۡ ءَايَةٞ قَالُواْ لَن نُّؤۡمِنَ حَتَّىٰ نُؤۡتَىٰ مِثۡلَ مَآ أُوتِيَ رُسُلُ ٱللَّهِۘ ٱللَّهُ أَعۡلَمُ حَيۡثُ يَجۡعَلُ رِسَالَتَهُۥۗ ١٢٤

Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata, “Kami tidak akan beriman hingga kami diberi yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah. Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya.” (QS al-An‘am [6]: 124).6

 

Ada yang juga yang menerangkan bahwa Abu Jahal, Abdullah bin Abi Umayyah dan orang-orang kafir Quraisy lainnya berkata kepada Nabi saw., “Kami tidak akan beriman kepadamu sampai datang  kepada masing-masing dari kami sebuah kitab yang di dalamnya tertulis ini dari Allah kepada Fulan bin Fulan.”7

Penjelasan lainnya menyebutkan bahwa orang-orang kafir Quraisy berkata kepada Nabi Muhammad saw., “Hendaknya di kepala masing-masing orang dari kami ditampilkan kitab yang terbuka dari Allah yang menyatakan bahwa engkau adalah utusan Allah.” 8

Permintaan mereka itu adalah sesutau yang mustahil. Seandainya pun dituruti tidak lantas membuat mereka mau beriman. Sebaliknya, mereka tetap kafir sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:

وَلَوۡ نَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ كِتَٰبٗا فِي قِرۡطَاسٖ فَلَمَسُوهُ بِأَيۡدِيهِمۡ لَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ إِنۡ هَٰذَآ إِلَّا سِحۡرٞ مُّبِينٞ ٧

Sekiranya Kami menurunkan kepadamu (Muhammad) tulisan di atas kertas sehingga mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, niscaya orang-orang kafir itu akan berkata, “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.”  (QS al-An’am [6]: 7).

 

Oleh karena itu, sikap mereka itu sesungguhnya merupakan bentuk permusuhan, kecongkaan dan kesombongan.9

Ayat ini bertujuan untuk menjelaskan parahnya kesesatan mereka. Seolah Allah SWT berfirman, “Janganlah kamu ingat berpaling dan larinya mereka sebagaimana larinya keledai dari sesuatu yang di dalamnya ada kebaikan dan kebahagian bagi mereka. Dengarkan apa yang lebih aneh dan mengherankan, yakni masing-masing orang dari mereka itu berharap menjadi rasul yang diberi wahyu. Sungguh sangat jauh orang-orang yang celaka itu mencapai tingkatan para nabi.”10

Allah SWT berfirman:

بَل لَّا يَخَافُونَ ٱلۡأٓخِرَةَ ٥٣

Tidak! Sebenarnya mereka tidak takut terhadap akhirat.

 

Ayat ini masih membicangkan tentang orang-orang kafir itu. Diawali dengan kata كَلا  yang merupakan huruf yang mengandung makna الرَّدْعَ وَالزَّجْرَ (pelarangan dan pencega-han).11 Artinya, melarang dan mencegah keinginan mereka yang disebutkan dalam ayat sebelumnya.12  Muhammad Ali ash-Shabuni juga berkata, “Hendaknya mereka menghentikan ambisi tersebut,”13 yakni keinginan diturunkan kitab dari Allah SWT kepada tiap-tiap mereka.

Kemudian disebutkan kata بَلْ. Sebagaimana sebelumnya, ini merupakan idhrâb intiqâliy, untuk menjelaskan sebab penyifatan tersebut.14 Maknanya, mereka berpaling dari peringatan bukan disebabkan karena mereka tidak diberi lembaran-lembaran tersebut.15 Akan tetapi, sebab sebenarnya mereka menolak al-Quran adalah karena mereka tidak takut terhadap akhirat, yakni azab akhirat. Sebab, seandainya mereka takut terhadap neraka, tentu mereka tidak akan mengusulkan ayat-ayat tersebut setelah dalil-dalilnya terbukti. Faktanya, ketika sudah ada banyak mukjizat yang cukup menjadi dalil atas kebenaran kenabian, mereka masih meminta tambahan. Jelas, itu termasuk sikap penentangan.16

Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Akan tetapi, mereka tidak takut kepada siksa Allah SWT dan mereka tidak mempercayai Hari Kebangkitan, pahala dan siksa.”

Itulah yang mendorong mereka untuk berpaling dari mengingat Allah dan tidak mau mendengarkan wahyu dan yang Dia turunkan.”17

Ibnu Katsir berkata, “Sesungguhnya yang merusak mereka tidak lain adalah tiadanya iman mereka pada Hari Akhirat dan pendustaan mereka terhadap terjadinya hari Kiamat.”18

Dengan demikian ayat ini memberikan peringatan keras dan sanggahan kepada mereka yang meminta agar diturunkan kepada mereka lembaran-lembaran yang terbuka dan tersebar. Pada hakikatnya, mereka adalah orang-orang yang mengingkari kebangkitan dan hisab. Seandainya mereka takut terhadap neraka, mereka tidak akan mengusulkan ayat-ayat. Cukuplah bagi mereka al-Quran, sebagaimana disebutkan dalam ayat selanjutnya.19

Kemudian Allah SWT berfirman:

كَلَّآ إِنَّهُۥ تَذۡكِرَةٞ ٥٤

Tidak! Sungguh (al-Quran) itu benar-benar suatu peringatan.

 

Ayat ini kembali diawali dengan kata كَلا. Menurut sebagian mufassir, maknanya adalah الرَّدْعَ وَالزَّجْرَ (pelarangan dan penghalangan).20 Pengulangan kata dengan makna yang sama itu mengandung makna tawkîd (untuk menguatkan) apa yang disebutkan dalam ayat sebelumnya,21 yakni larangan untuk berpaling dari peingatan.22

Kemudian Alalh SWT berfirman: إِنَّه (sesungguhnya dia). Dhamîr al-hâ‘ pada frasa tersebut menunjuk pada al-Quran.23

Ditegaskan bahwa al-Quran tersebut adalah تَذْكِرَةٌ. Artinya, تَذْكِرَةٌ عَظِيمَةٌ (peringatan yang agung).24 Disebutkan dalam bentuk nakirah, yakni diakhiri dengan at-tanwîn: تَذْكِرَةٌ, mengandung makna li at-ta’zhîm (untuk mengagungkan). 25

Ibnu Jarir al-Thabari berkata, “Masalahnya bukanlah seperti yang dikatakan oleh orang-orang musyrik itu bahwa al-Quran adalah sihir yang dipelajari  dan hanyalah perkataan manusia. Akan tetapi, al-Qur’an adalah  peringatan dari Allah SWT untuk makhluk-Nya, yang dengannya Allah SWT memberi peringatan kepada mereka.”26

Ada pula yang mengatakan bahwa kata كَلاَّ di awal ayat ini bermakna حَقًّا (benar),27 yakni li tahqîq, menyatakan bahwa benar-benar.  Sesungguhnya al-Quran benar-benar merupakan tadzkirah (peringatan). Al-Khazin berkata, “Sesungguhnya al-Quran adalah nasihat yang agung.”28

Karena itu cukuplah bagi mereka al-Quran karena dia adalah sebaik-baik peringatan dan nasihat.29

Demikianlah. Orang-orang kafir itu sebenarnya tak punya alasan sama sekali untuk berpaling dan menolak al-Quran. Penolakan mereka terhadap al-Quran disebabkan karena mereka tidak takut terhadap akhirat.

Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 400; al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 3, 402. Lihat juga Jâmi’ al-Durus al-‘Arabiyyah, vol. 2, 77

2        Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhi, vol. 10, 292; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 425

3        Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 2, 1272

4        Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 331

5        al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 241

6        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 274

7        Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 329

8        Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 331

9        al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 400; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 244-245

10      Lihat al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 244-245

11      al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 456

12      al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 3, 402; Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29, 164

13      al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 425; Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhi, vol. 10, 292

14      al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 456

15      Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhi, vol. 10, 292; Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 331; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 425

16      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 241

17      al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 368; al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 401

18      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 43

19      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 274. Lihat juga al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 456

20      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 245

21      al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 3, 402; Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29, 164; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 425

22      al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 3, 402; Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 329

23      al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 416. Lihat juga Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhi, vol. 10, 292

24      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 44; al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5, 401; Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 332;  Lihat juga Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 274; al-Nahhas, I‘râb al-Qur‘ân, vol. 5, 50

25      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 332

26      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 332; al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 425

27      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 44

28      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 274

29      al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 368. Lihat juga al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 90

30      Lihat al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 245

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five − five =

Back to top button