Hukum Terkait Perintah Dan Larangan
Dalam pembahasan para ulama ushul, ada beberapa hukum yang terkait dengan perintah dan larangan. Pertama: Penunjukan perintah dan larangan atas hukum (Lihat: al-Waie, Edisi Januari 2023). Kedua: Apakah perintah atas sesuatu bermakna larangan atas lawannya atau sebaliknya (Lihat: Al-Waie, Edisi Desember 2022). Ketiga: Segera dan tidak segera dalam perintah dan larangan. Keempat: Frekuensi dalam perintah dan larangan, yakni apakah pelaksanaannya itu berlaku sekali atau berulang-ulang. Kelima: Keteguhan dan kekontinuan dalam perintah dan larangan. Keenam: Pengaruh larangan atas akad dan tasharruf.
Pada edisi ini akan dibahas hukum ketiga, keempat dan kelima.
Segera dan Tidak Segera dalam Perintah dan Larangan
Syaikh Wahbah az-Zuhaili di dalam Ushûl al-Fiqh al-Islâmî menjelaskan, yang dimaksud dengan segera (al-fawr) adalah segera dalam menjalankan perintah karena semata-mata mendengar taklif perintah seraya adanya kemungkinan untuk melaksanakan perintah tersebut; yang jika tidak maka dikenai sanksi. Yang dimaksud tidak segera (at-tarâkhiy) adalah pilihan mukallaf antara menunaikan segera ketika mendengar taklif dan menunda sampai waktu yang lain diiringi dengan dugaannya bahwa dia mampu menunaikannya pada waktu yang lain itu.
Perintah dan larangan pada zatnya tidak mengandung makna segera (al-fawr) atau tidak segera (at-tarâkhiy). Perintah dan larangan itu secara zatnya hanya semata perintah yakni tuntutan melakukan (thalab al-fi’li) dan semata larangan yakni tuntutan meninggalkan (thalab at-tarki).
Dalam hal ini, menurut Syaikh Atha’ bin Khalil di dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, dengan mengelaborasi penjelasan Rasul saw. dan apa yang ditempuh oleh para Sahabat ra. dan dengan persetujuan beliau., maka perintah dan larangan menunjukkan sebagai berikut:
Pertama, perintah memerlukan qariinah untuk menunjukkan segera atau tidak segera. Jika waktu pelaksanaan perintah itu bersifat muwassa’ (luas), yakni waktu pelaksanaannya luas untuk lebih dari satu kali pelaksanaan, maka perintah itu boleh dilaksanakan pada bagian waktu manapun dalam jangka waktu tersebut. Jadi tidak harus segera dilaksanakan begitu perintah itu ada. Misalnya, waktu shalat Zhuhur adalah sejak tergelincir matahari sampai bayangan sama dengan bendanya. Karena itu shalat Zhuhur itu boleh dilaksanakan pada semua bagian jangka waktu itu. Begitu pula semua shalat fardhu, zakat fitrah dan sebagainya. Adapun afdhaliyah (keutamaan) pelaksanaannya pada awal waktu hanya menunjukkan afdhaliyah dan tidak mengandung sifat al-fawriyah (kesegeraan) dalam perintah itu.
Jika waktu pelaksanaan perintah itu sempit (mudhayyaq’), yaitu waktunya tidak leluasa kecuali hanya untuk satu pelaksanaannya saja, maka perintah itu harus dilaksanakan segera langsung pada waktunya; tidak boleh dan tidak bisa ditunda. Misalnya, puasa Ramadhan, siang hari Ramadhan tidak luas untuk lebih dari satu pelaksanaan puasa, yakni waktu sejak fajar hingga tenggelam matahari hanya bisa untuk satu pelaksanaan puasa hari itu. Karena itu pelaksanaan puasa itu bersifat segera (al-fawr), tidak bisa ditunda. Karena itu jika baru berpuasa (menahan diri dari makan, minum dan apa saja yang membatalkan puasa) setelah lewat terbit fajar maka tidak dihitung puasa.
Jika pelaksanaan perintah itu tidak dibatasi dengan waktu, maka boleh dilakukan kapan saja, baik segera maupun nanti-nanti. Contohnya adalah kafarah.
Kedua, larangan. Asal dalam larangan adalah segera. Keharusan terikat dengan larangan itu mulai sejak keluarnya larangan. Siapa yang telah sampai kepada dirinya larangan tertentu, tetapi dia tidak berhenti dari apa yang dilarang itu maka dia layak dikenai sanksi di dunia atau di akhirat.
Memenuhi larangan, yakni berhenti dan meninggalkan apa yang dilarang itu, harus segera begitu sampai larangan itu kepada seseorang. Hal itu sebagaimana yang dilakukan oleh para Sahabat ra., sementara Rasul saw. mendiamkan, yakni membenarkan dan menyetujui, hal itu. Hal itu seperti ketika sampai kepada para Sahabat larangan atas khamr ketika turun ayat pengharaman khamr, yakni QS al-Maidah [5]: 91.
Para Sahabat, begitu sampai kepada mereka ayat ini, berkata “intahaynâ (Kami berhenti). Mereka lalu menumpahkan dan membuang khamr yang ada pada mereka. Bahkan orang yang sedang minum khamr mengeluarkan/memuntahkan khamar yang ada di mulut mereka yang belum ditelan.
Hal itu jika larangan itu bukan karena mâni’ tertentu atau tidak di-nasakh. Jika larangannya karena mâni’ tertentu maka larangan itu berakhir ketika mâni’ hilang atau berakhir. Misalnya, larangan dari puasa dan shalat bagi wanita haid. Larangan itu harus segera dipenuhi dan tidak boleh ditunda. Namun, larangan itu berakhir ketika haidnya sudah berakhir, yakni sudah suci, lalu kembali ke keadaan sebelum al-mâni’, yakni haid itu ada. Artinya, wanita itu kembali diperintahkan untuk shalat dan puasa.
Frekuensi Pelaksanaan dalam Perintah dan Larangan
Redaksi perintah pada zatnya tidak mengandung lebih dari satu kali pelaksanaan. Perintah sudah terpenuhi dengan satu kali pelaksanaan saja, tanpa pengulangan. Ini merupakan pendapat Hanafiah Hanbali sebagaimana dikuatkan oleh Ibnu Badran, pendapat al-Amidi, ar-Razi, Ibnu al-Hajib, al-Baydhawi dan mayoritas Syafiiyah seperti yang dikatakan oleh Ibnu as-Subki dan asy-Syairazi, pendapat mayoritas malikiyah seperti dikuatkan oleh Qadhi Abdul Wahab.
Hal itu ditunjukkan oleh jawaban Nabi saw. terhadap pertanyaan salah seorang Sahabat atas perintah (fariidhah) berhaji, “Apakah setiap tahun?” Nabi saw. menjawab, “Andai aku katakan benar, niscaya menjadi wajib dan niscaya kalian tidak sanggup… Biarkan aku dengan apa yang aku biarkan kalian. Jika aku memerintahkan sesuatu maka tunaikanlah sesuai kemampuan maksimal kalian. Jika aku melarang sesuatu maka tinggalkanlah” (HR Muslim no. 412).
Sahabat yang bertanya itu memahami perintah berhaji itu pelaksanaannya berulang tiap tahun. Namun, jawaban Nabi saw. itu mengisyaratkan bahwa pemahaman itu keliru. Beliau menegaskan bahwa perintah (fariidhah) itu dilaksanakan sesuai kemampuan maksimal. Ini mengandung makna bahwa jika ditunaikan sekali saja sudah cukup dinilai menunaikan perintah itu.
Perintah yang dinyatakan secara mutlak tanpa qariinah maka cukup dengan pelaksanaan sekali saja. Makna berbilang (at-ti’dâd) atau pengulangan (at-tikrâr) pelaksanaan perintah itu dipahami dari qariinah yang menyertai perintah itu; baik pernyataan dari nas, sabda Rasul, perbuatan beliau atau persetujuan (iqrâr) beliau. At-Tikrâr (pengulangan) pelaksanaan shalat fardhu, pembayaran zakat, puasa Ramadhan, dan sebagainya, diketahui dari qariinah berupa perbuatan dan sabda Rasul saw. yang menunjukkan hal itu.
Menurut al-Bazdawi, tuntutan pengulangan pelaksanaan perintah dipahami dari qariinah yang melingkupi perintah, seperti perintah itu dikaitkan atas syarat yang menjadi ‘illat untuk apa yang diperintahkan itu. Misalnya, firman Allah SWT (yang artinya): …dan jika kamu junub maka mandilah” (TQS al-Maidah [5]: 6). Atau digantungkan pada sifat yang menjadi ‘illat atau as-sabab, seperti firman-Nya (yang artinya): “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir” (TQS al-Isra’ [17]: 78); atau “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya” (TQS al-Maidah [5]: 38). Jika demikian halnya, pelaksanaan perintah itu diulang pelaksanaannya, yakni dilaksanakan setiap kali syarat, ‘illat atau as-sabab itu ada. Jadi mandi besar dilakukan setiap kali junub, shalat Zhuhur ditunaikan setiap kali matahari sudah tergelincir, potong tangan diterapkan setiap kali ada laki-laki atau perempuan yang mencuri sesuai ketentuan syariah tentangnya.
Adapun larangan maka jika ada larangan maka harus meninggalkan atau berhenti dari apa yang dilarang itu selamanya. Tidak boleh berhenti dari yang haram sekali saja. Bahkan setiap kali pelaksanaan yang haram itu menjerumuskan pelakunya pada sanksi di dunia atau di akhirat selama larangan (keharaman) itu tetap eksis. Hal itu seperti yang terjadi pada masa Rasul saw. Dengan demikian pemenuhan larangan (keharaman) yakni meninggalkannya atau berhenti darinya itu berulang secara kontinu, terus-menerus selama larangan itu eksis.
Kekontinuan dan Keteguhan pada Perintah dan Larangan
Perintah dan larangan, bagi orang yang diseru (al-mukhathab), harus terus teguh di atas apa yang dijalankan. Ia harus tetap teguh di atas apa yang diperintahkan dan tetap teguh meninggalkan atau berhenti dari apa yang dilarang. Misalnya, perintah dari Allah SWT (yang artinya): “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya….” (TQS an-Nisa’ [4]: 136). Maknanya: Tetap teguhlah kalian di atas iman itu dan teruslah di atas yang demikian.
Begitu pula dalam larangan. Misalnya firman Allah SWT (yang artinya): Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu. Sebab itu jangan sekali-kali kalian termasuk orang-orang yang ragu (TQS al-Baqarah [2]: 147). Maknanya: Tetap teguhlah kalian di atas ketidakraguan atau tetap teguhlah untuk tidak ragu dan teruslah di atas yang demikian.
Begitu pula makna at-talabus dalam doa pada perintah atau larangan. Misalnya doa (yang artinya): “Tunjukkilah kami jalan yang lurus.” (TQS al-Fatihah [1]: 6) dari Mukmin yang berada di atas hal itu. Maknanya: Teguhkanlah kami di atas petunjuk dan beri kami taufik untuk terus di atasnya.
WalLâh a’lam wa ahkam. [Yoyok Rudianto]