Takrifat

Keumuman (redaksi) Itu Sesuai Topik Peristiwa Dan Permasalahan-nya

اَلْعُمُوْمُ في خُصُوْص مَوْضُوْعِ الْحَادِثَة وَالسُّؤَالِ


 

Lafal (ungkapan/redaksi) umum dalam suatu peristiwa atau jawaban atas pertanyaan berlaku umum menurut keumuman lafal itu. Tidak dikhususkan pada peristiwa atau pertanyaan itu saja. Hanya saja, bagaimana implementasi keumuman lafal dalam kekhususan sebab atau peristiwa tersebut? Apakah bersifat umum dan berlaku untuk apa saja? Atau berlaku umum secara terbatas?

Dalam hal ini Al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Jilid 3 menjelaskan:

Sesungguhnya keumuman seruan (khithâb) dalam peristiwa dan jawaban atas pertanyaan tidak lain hanya berlaku umum sebatas sesuai dengan topiknya,  bukan bersifat umum mencakup segala hal. Artinya, itu adalah umum untuk topik tertentu pada peristiwa itu dan yang semisal. Pada peristiwa kambing Maimunah, misalnya, jawabannya adalah tentang kulit bangkai, sehingga mencakup kambing Maimunah dan yang lainnya, dengan topik peristiwanya,  yaitu kulit bangkai. Pada peristiwa rida’ Shafwan mencakup pencurian rida’ Shafwan dan selain rida’ Shafwan, dengan topik peristiwanya,  yaitu pencurian. Pada peristiwa Salamah bin Shakhr mencakup Salamah dan yang lainnya, tetapi pada topik peristiwanya, yaitu zhihaar. Jadi keumuman tersebut tidak lain pada topik peristiwa dan tidak mencakup yang lainnya.

Demikian juga jawaban atas suatu pertanyaan. Dalam peristiwa sumur Budha’ah, Rasul saw. ditanya tentang bersuci dengan air sumur Budha’ah. Jawaban Rasul adalah tentang bersuci dengan air. Jadi mencakup sumur Budha’ah dan yang lainnya, tetapi dengan topik peristiwanya, yaitu bersuci. Sebabnya, topik pertanyaannya adalah tentang bersuci, yakni karena mereka bertanya tentang berwudhu. Maksud dari pertanyaan itu bukan tentang wudhu dalam sifat topik wudhu. Akan tetapi, pertanyaannya adalah tentang bersuci untuk wudhu sehingga topik pertanyaannya adalah bersuci dan bukan wudhu. Jawaban Rasul saw. atas pertanyaan itu bersifat umum mencakup semua air, tetapi pada topik bersuci, dan bukan umum mencakup segala hal. Oleh karena itu jawaban tersebut tidak memberi faedah hukum minum darinya.

Semisal itu adalah pertanyaan tentang air laut. Pertanyaannya adalah tentang bersuci. Sebabnya, mereka meski bertanya tentang wudhu maka yang dimaksud dari pertanyaan itu bukan wudhu dalam sifatnya sebagai wuhdu saja, yakni mereka tidak bertanya tentang wudhu saja, melainkan mereka bertanya tentang bersuci untuk wudhu. Jadi topik pertanyaannya adalah tentang bersuci dan bukan wudhu. Jadi jawabannya bersifat umum tentang bersuci, dan bukan umum pada segala hal sehingga tidak mencakup minum dari air tersebut.

Atas dasar itu, keumuman itu tidak lain terbatas berlau pada topiknya saja, topik peristiwa dan pertanyaan. Artinya, bersifat khusus pada topik itu dan tidak mencakup yang lainnya. Topik itu tidak masuk dalam kaidah: Al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzhi lâ bi khushûshi as-sabab. Sebabnya, topik itu bukan sebab, yaitu bukan peristiwa dan bukan pertanyaan itu. Karena ucapan itu dinyatakan pada topik itu dan bukan atas yang lainnya maka ia bersifat khusus untuk topik tersebut. Sebabnya, lafal Rasul saw. itu terkait dengan topik pertanyaan dan topik peristiwa sehingga hukumnya terkait dengan topik itu. Jadi nas yang dikatakan pada peristiwa tertentu dan nas yang merupakan jawaban pertanyaan, maka wajib diberlakukan khusus pada topik pertanyaan atau peristiwa itu. Tidak boleh diberlakukan bersifat umum pada segala hal. Sebabnya, pertanyaan itu menjadi tempat kembali dalam jawaban tersebut, karena ucapan itu dalam topik tertentu sehingga hukumnya wajib dibatasi pada topik itu. Pasalnya, lafal Rasul saw. yang di dalamnya beliau menjelaskan hukum pertanyaan atau peristiwa adalah terkait dengan pertanyaan itu saja dan peristiwa itu saja, dan bukan berkaitan dengan yang lainnya sama sekali. Alasannya, hukum tersebut terkait dengan topik pertanyaan dan topik peristiwa itu, yakni terkait dengan perkara yang ditanyakan atau yang tentangnya terjadi peristiwa itu, dan bukan berkaitan dengan yang lainnya. Dengan demikian ia  tidak bersifat umum mencakup selain topik tersebut, tetapi hanya khusus dengan topik itu.

 

Tidak dikatakan bahwa tempat kembalinya jawaban adalah pertanyaan sehingga jawaban itu khusus untuk pertanyaan itu saja. Tidak dikatakan demikian. Sebabnya, tempat kembali jawaban itu bukan pertanyaannya, melainkan topik pertanyaannya. Dalam kasus sumur Budha’ah, kembalinya jawaban itu pada topiknya, yaitu bersuci dengannya, bukan sumur Budha’ah itu sendiri. Dalam kasus bangkai kambing Maimunah topiknya adalah pemanfaatan kulitnya, bukan kambing Maimunah itu sendiri. Oleh karena itu, jawaban dengan lafal umum itu adalah berlaku umum, tetapi berlaku khusus pada topiknya saja, yakni berlaku atas bersuci dengan air semisal air sumur Budha’ah, atau berlaku atas penyamakan kulit bangkai kambing manapun, yakni kulit bangkai hewan manapun yang boleh dimakan.

Dari semua itu dirumuskan kaidah: “Al-Lafzhu al-‘âm fî al-hâditsah aw as-su`âl fahuwa ‘âmun fî mawdhû’i al-hâditsah aw as-su`âl khâshshan (Lafal umum pada peristiwa atau pertanyaan maka bersifat umum pada topik peristiwa atau pertanyaan itu secara khusus).

Contohnya adalah firman Allah SWT:

قُل لَّآ أَجِدُ فِي مَآ أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٖ يَطۡعَمُهُۥٓ إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيۡتَةً أَوۡ دَمٗا مَّسۡفُوحًا أَوۡ لَحۡمَ خِنزِيرٖ فَإِنَّهُۥ رِجۡسٌ أَوۡ فِسۡقًا أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ بِهِۦۚ ١٤٥

Katakanlah, “Tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS al-An’am [6]: 145).

 

Ayat ini merupakan bantahan atau komentar tentang topik yang dibicarakan, yakni dijelaskan dalam dua ayat sebelumnya. Topiknya adalah pengharaman delapan pasangan hewan ternak (sepasang kambing, sepasang domba, sepasang unta dan sepasang sapi), yang mana orang Quraisy mengharamkan dari hewan ternak (kambing, domba, unta dan sapi) yang dilahirkan kembar sepasang, yang jantan diharamkan untuk wanita. Jadi makna ayat ini bersifat umum, namun khusus dalam topiknya, yaitu pengharaman hewan ternak kambing, domba, unta dan sapi. Jadi makna ayat tersebut adalah, tidak aku temukan dalam wahyu sesuatu dari hewan ternak (kambing, domba, unta dan sapi) yang kalian haramkan dan halalkan, yang diharamkan memakannya kecuali bangkai, darah yang mengalir, babi dan hewan yang disembelih atas nama selain Allah. Jadi ayat ini tidak berlaku umum untuk semua hewan atau untuk segala hal, melainkan hanya berlaku pada topiknya yaitu hewan ternak kambing, domba, unta dan sapi.

Contoh lainnya, Abu Bakrah ra. berkata:

لَمَا بَلَغَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوْا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَال: لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً

Ketika sampai kepada Nabi saw. bahwa orang Persia menobatkan putri Kisra sebagai ratu, beliau bersabda, “Tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan urusan kekuasaan mereka kepada perempuan.” (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ahmad).

 

Ini berlaku khusus pada topik yang beliau diucapkan, yaitu pengangkatan penduduk Persia atas seorang wanita sebagai ratu (penguasa). Artinya, ini  khusus berlaku pada topik kepala negara, yakni kekuasaan, atau itu berlaku khusus pada pemerintahan dan tidak bersifat umum pada semua wilâyah. Sebabnya, al-wilâyah itu kadang dalam pemerintahan, anak kecil, wishâyah atas harta anak yatim, pelaksanaan peradilan, dsb. Jadi hukum dalam sabda Nabi saw. itu bersifat umum pada topiknya, yaitu wilâyah al-hukmi (kekuasaan pemerintahan). Oleh karena itu wanita boleh menjadi pengurus harta anak yatim. Umar pun pernah menunjuk asy-Syifa’, seorang wanita dari kaumnya, menangai qadhâ‘u as-sûq (menjabat qaadhi hisbah). Wanita juga boleh menjadi direktur, kepala sekolah dan posisi pemimpin selain jabatan (wewenang) kekuasaan atau pemerintahan.

Contoh lain, diriwayatkan dari Anas ra. bahwa Nabi saw melalui satu kaum yang sedang melakukan penyerbukan kurma. Lalu beliau bersabda:

لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ, قَالَ فَخَرَجَ شِيصًا فَمَرَّ بهم, فَقَالَ: مَا لِنَخْلِكُمْ, قَالُوا قُلْتَ كَذَا وَكَذَا, قَالَ: أَنْتُ م أَعْلَمُ بأمْرِ دُنْيَاكُمْ

“Andai mereka tidak melakukan penyerbukan niscaya akan menjadi baik.”  Anas berkata, “Kurma itu mengeluarkan (menghasilkan) kurma yang jelek.” Lalu beliau melewati mereka dan beliau bertanya, “Apa yang terjadi pada kurma kalian?” Mereka berkata, “Anda berkata demikian dan demikian”.  Beliau pun bersabda, “Kalian lebih tahu dengan urusan dunia kalian.” (HR Muslim).

 

Sabda Rasul saw., “Antum a’lamu bi amri dunyâkum (Kalian lebih tahu dengan urusan dunia kalian)” ini bersifat umum. Namun, hanya khusus pada topiknya, yaitu urusan dunia semisal penyerbukan kurma. Itu tidak mencakup perkara dalam topik yang lain semisal taktik, definisi, hukum syariah, dan selain perkara dunia yang semisal dengan penyerbukan kurma.

Demikianlah, lafal umum yang dinyatakan pada peristiwa tertentu atau jawaban atas pertanyaan tertentu, adalah berlaku umum, namun hanya khusus pada topik peristiwa atau topik pertanyaannya saja, dan tidak berlaku umum mencakup topik-topik lainnya atau segala hal.

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

14 + 3 =

Back to top button