Hadis Pilihan

Syubhat Dalil Kebolehan Kanz Al-Maal Selama Dekeluarkan Zakatnya

عَنْ خَالِدِ بْنِ أَسْلَمَ، قَال: خَرَجْنَا مَعَ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، فَقَالَ أَعْرَا بيٌّ: أَخْبِرْنِي عَنْ قَوْلِ اللهِ: وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالفِضَّةَ، وَلاَ يُنْفِقُونها فِي سَبِيلِ الله [التوبة: 34], قَالَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ,مَنْ كَنَزَهَا، فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتها، فَوَيْلٌ لَهُ، إِنَّمَا كَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تُنْزَلَ الزَّكَاةُ، فَلَمَّا أُنْزِلَتْ جَعَلَهَا اللهُ طُهْرًا لِلأَمْوَالِ

Dari Khalid bin Aslam, ia berkata: Kami pernah keluar bersama Abdullah bin Umar ra. Lalu ada seorang Arab baduwi berkata, “Beritahu aku tentang firman Allah (yang artinya): Orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak mereka belanjakan di jalan Allah …(TQS at-Tawbah [9]: 34).” Ibnu Umar ra. berkata, “Siapa yang menimbun emas/perak dan tidak menunaikan zakatnya maka kebinasaan untuk dirinya. Tidak lain ini sebelum diturunkan kewajiban zakat. Ketika telah diturunkan kewajiban zakat, Allah menjadikan zakat tersebut sebagai penyucian untuk harta.” (HR al-Bukhari no. 1404 dan Ibnu Majah no. 1787).

 

Dhiya‘uddin al-Maqdisi (w. 643 H) juga mengeluarkan hadis ini dengan redaksi yang lebih panjang di dalam Al-Ahâdîts al-Mukhtârah (al-Mustakhraj min al-Ahâdîts al-Mukhtârah minmâ lam Yukharrijhu al-Bukhârî wa Muslimun fî Shahîhayhimâ, hadis no. 277.

Riwayat ini jelas shahih. Mereka yang berpendapat “boleh kanzul-maal selama dizakati” juga berdalil dengan khabar ini. Mereka menyatakan, khabar Ibnu Umar ini tidak dikatakan merupakan takhshiish al-Quran dengan as-Sunnah atau nasakh al-Quran dengan as-Sunnah, tetapi khabar ini adalah informasi yang sahih tentang nasakh itu. Jadi itu termasuk nasakh al-Quran dengan al-Quran. Sebabnya, yang me-nasakh al-Quran adalah al-Quran. Pasalnya, zakat difardhukan dengan al-Quran bukan dengan as-Sunnah. Karena itu  yang wajib adalah mengambilnya karena itu merupakan khabar shahih yang meriwayatkan bahwa ayat tersebut telah di-nasakh dengan ayat yang lainnya. Jadi pengharaman penimbunan telah di-nasakh sehingga harta yang dizakati boleh dtimbun.

Pendapat ini tidak shahih dilihat dari empat hal. Pertama, ini merupakan khabar ahad yang meriwayatkan bahwa ayat al-kanzu telah di-nasakh. Karena itu berlaku ketentuan terhadap khabar ahad bahwa itu adalah zhanni, sementara yang ada pada ayat tersebut adalah qath’i. Yang qath’i lebih di-raajih-kan atas yang zhanni. Artinya, tidak adanya pe-nasakh-an lebih dikuatkan daripada adanya pe-nasakh-an. Dengan demikian yang diamalkan adalah tidak adanya nasakh karena itu yang lebih raajih dan klaim adanya nasakh harus ditolak.

Kedua, informasi pe-nasakh-an ayat adalah semisal riwayat hadis yang mengandung suatu hukum di-nasakh oleh hukum lainnya yang ada di suatu ayat al-Quran. Hadis tidak me-nasakh ayat jika hadis itu mengandung apa yang me-nasakh-nya atau memberi faedah pe-nasakh-annya. Jadi, khabar Ibnu Umar di atas tidak me-nasakh ayat al-Quran semata karena informasinya bahwa ayat telah di-nasakh.

Ketiga, Ibnu Umar tidak menginformasikan bahwa ayat al-kanzu telah di-nasakh sebagai informasi dari Rasul saw. Artinya, Ibnu Umar tidak meriwayatkan dari Rasul saw. yang bersabda bahwa ayat al-kanzu telah di-nasakh. Ia hanya memberikan pendapatnya bahwa ayat tersebut telah di-nasakh. Sebabnya, orang Arab baduwi itu bertanya kepada dirinya tentang ayat tersebut. Lalu Ibnu Umar menjawab dari dia sendiri bahwa ayat tersebut telah di-nasakh. Ia tidak menyandarkan pendapatnya itu kepada Rasul saw. yang memberitahu dia bahwa ayat itu telah dinasakh. Jadi itu merupakan pendapat Ibnu Umar pribadi bahwa ayat tersebut telah di-nasakh dengan ayat zakat. Artinya, itu merupakan pemahaman Ibnu Umar bahwa zakart me-nasakh ayat ini, dan itu bukanlah hadis dari Rasul saw. Pendapat Ibnu Umar dan pemahamannya tidak dinilai sebagai dalil syariah. Sebabnya, pendapat Sahabat memang tidak dinilai sebagai dalil atas hukum syariah, lalu bagaimana dapat dinilai me-nasakh al-Quran?

Keempat, zakat difardhukan pada tahun kedua Hijrah, sementara ayat al-kanzu diturunkan pada tahun kesembilan hijrah. Lalu bagaimana mungkin hukum zakat yang lebih dulu diturunkan me-nasakh ayat al-kanzu yang diturunkan tujun tahun lebih belakangan. Oleh karena itu khabar Ibnu Umar itu ditolak secara diraayah.

Keempat poin di atas cukup untuk menggugurkan istidlaal dengan khabar ini dan untuk membatalkan klaim bahwa ayat al-kanzu telah di-nasakh. Oleh karena itu khabar ini tidak layak menjadi dalil atas kebolehan menimbun harta jika dikeluarkan zakatnya.

Mereka juga berargumentasi dengan hadis dari jalur Syarik bin Abdullah dari Abu Hamzah al-A’war dari Amri asy-Sya’bi dari Fathimah binti Qais, bahwa Nabi saw. telah bersabda:

لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاة

Tidak ada dalam harta haq selain zakat (HR Ibnu Majah no. 1789).

 

Mereka mengatakan,  hadis ini menunjukkan bahwa tidak ada kewajiban bagi seorang Muslim dalam hartanya selain zakat. Ini mencakup semua yang wajib atas harta. Ini menunjukkan kebolehan al-kanzu jika dikeluarkan zakatnya yang wajib.

Tentu tidak bisa demikian. Sebabnya, keharaman al-kanzu itu independen dari zakat. Hadis tersebut menghalangi wajibnya hak tambahan atas zakat. Ini tidak menghalangi adanya hukum tambahan terkait harta. Al-Kanzu termasuk hukum harta, bukan hak wajib dalam harta. Selain hukum zakat, Asy-Syâri’ juga mensyariatkan hukum-hukum lain tentang harta seperti hukum riba dalam emas dan perak, hukum sharf dalam emas dan perak dan hukum al-kanzu dan lainnya. Karena al-kanzu bukanlah hak wajib dalam harta, maka hadis ini tidak ada hubungannya dengan al-kanzu.

Selain itu matan hadis ini mudhtharib (kacau). Sebabnya, riwayat dengan jalur yang sama (dari Syarik bin Abdullah dari Abu Hamzah al-A’war dari ‘Amirm asy-Sya’bi dari Fathimah binti Qais dari Nabi saw.) redaksinya justru menetapkan adanya hak wajib dalam harta selain zakat. Misalnya riwayat at-Tirmidzi (w. 279 H) no. 659 dan 660; ath-Thahawi (w. 321 H) di dalam Syarhu Musykal al-Âtsâr no.3043; al-Baihaqi (w. 458 H) di dalam As-Sunan al-Kubrâ no. 7242 dan ad-Darimi (w. 255 H) di dalam Sunan ad-Dârimî no. 1677.

Dengan demikian keharaman kanzu al-mâl (menimbun emas, perak atau uang) bersifat mutlak, baik dikeluarkan zakatnya atau tidak.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ten + sixteen =

Back to top button