Telaah Kitab

Negara Wajib Menjamin Distribusi Kekayaan Secara Adil (Telaah Kitab Muqaddimah ad-Dustûr Pasal 157)

(Telaah Kitab Muqaddimah ad-Dustûr Pasal 157)

Berbanding terbalik dengan negara kapitalis, yang membiarkan kekayaan terpusat dan terhimpun pada segelintir orang kaya, negara Khilafah justru berupaya menjaga distribusi (peredaran) kekayaan hingga tidak terpusat hanya kepada kelompok atau individu-individu tertentu.

Dalam sistem Kapitalisme jurang kesenjangan antara si kaya dan miskin sangat lebar dan dalam.  Laporan “Time to Care” Oxfam International menyebut ada 2.135 orang kaya di dunia yang mengontrol jumlah uang melebihi uang yang dimiliki 4,6 miliar orang pada miskin pada tahun 2019.   Fakta lain mengungkapkan, 22 pria di dunia memiliki kekayaan akumulasi lebih banyak dibanding kekayaan akumulasi 326 juta perempuan di Afrika.  Upah yang tidak dibayar kepada perempuan berusia 15 tahun US$ 10,8 triliun pertahun. Pada tahun 1990-an, di Asia dan Afrika, lebih dari 60% penduduknya tidak mampu memenuhi keperluaan kalori minimum yang diperlukan untuk hidup sehat.  Padahal kekurangan nutrisi ini bisa ditutup hanya dengan 2% dari total produksi padi-padian dunia.

Negara Khilafah, dengan konstitusi syariahnya, tidak hanya fokus menciptakan pemenuhan kebutuhan pokok bagi setiap individu rakyat, keadilan dan  fair play dalam mekanisme pasar. Lebih dari itu, Khilafah juga menjamin agar kekayaan atau harta bisa beredar di tengah-tengah masyarakat.

Di dalam Pasal 157 Kitab Muqaddimah ad-Dustuur disebutkan:

تَعْمَلُ الدَّوْلَة عَلَى تَدَاوُل الْمَال بَيْنَ الرَّعِيَّةِ وَتَحُوْلُ دُوْنَ تَدَاوُلِهِ بَيْنَ فِئَةٍ خَاصَةٍ

Negara berusaha menjamin agar harta benar-benar beredar di antara rakyat dan mencegah peredarannya hanya terjadi di antara kelompok tertentu.

 

Dalil yang mendasari pasal ini adalah firman Allah SWT:

كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ ٧

…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian (QS al-Hasyr [59]: 7).

 

‘Illat (sebab pensyariatan hukum) pemberian harta fai’ hanya kepada kaum Muhajirin saja, dan tidak kepada seorang pun dari kalangan Anshar, kecuali dua orang laki-laki fakir dari mereka, yakni Abu Dujanah dan Sahal bin Hunaif, padahal harta fai’ adalah hak seluruh kaum Muslim, adalah agar harta tidak beredar di antara orang-orang kaya saja.   Kisah ini dituturkan oleh Imam Baihaqi dan Ibnu Saad di dalam Kitab Ath-Thabaqaat.  Dalam ayat ini Allah SWT menetapkan adanya’illat, yakni agar harta tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja.  Kaidah ushul fiqih menyatakan:

الْعِلَّةُ تَدُوْرُ مَعَ مَعْلُوْلٍ وُجُوْدًا وَعَدَمًا

’Illat itu beredar mengikuti yang di-’illati-nya; ada atau tidak adanya.

 

Atas dasar itu, ketika terjadi ketimpangan peredaran harta di antara masyarakat, Khalifah wajib menciptakan keseimbangan sebagai bentuk pengamalan dari ayat di atas.  Sebabnya, ayat tersebut mengandung ‘illat. Lafal yang terkandung di dalam nas tersebut umum meskipun kejadian yang melatarbelakangi ayat tersebut bersifat khusus.   Kaidah syar’iyyah menetapkan:

الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ وَلا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

Pelajaran itu diambil berdasarkan keumuman lafalnya, bukan berdasarkan kekhususan sebabnya.

 

Untuk menjaga peredaran harta kekayaan di tengah-tengah berjalan  secara adil dan normal, Khilafah menerapkan aturan-aturan penting di antaranya:

 

  1. Mencegah individu atau sekelompok individu menguasai harta-harta milik umum.

Yang menjadi bagian harta milik umum adalah: Pertama, harta yang dibutuhkan oleh seluruh kaum Muslim, atau menjadi hajat hidup orang banyak, dan jika tidak tersedia akan menyebabkan kegoncangan dan perselisihan; misalnya air. Rasulullah saw menjelaskan sifat-sifat harta kepemilikan umum ini secara rinci dalam riwayat-riwayat shahih. Dari Abu Khurasyi dituturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْكَلإ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ

Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api (HR Abu Dawud).

 

Air, padang rumput dan api adalah harta pertama yang diperkenankan oleh Rasulullah saw. untuk seluruh manusia.  Seluruh manusia memiliki hak dan andil yang sama terhadap harta semacam ini.   Mereka dilarang memiliki sebagian atau keseluruhan harta milik umum.    Mereka hanya berhak mengambil manfaat dari harta-harta tersebut. Sebabnya, harta tersebut adalah milik seluruh kaum Muslim.  Setiap orang boleh mengambil air minum dari sungai, danau, wadi, atau istirahat di padang rumput yang belum dimiliki. Termasuk ke dalam harta jenis ini adalah harta yang menjadi kebutuhan dan hajat masyarakat umum.   Yang dimaksud dengan “harta-harta yang menjadi hajat hidup masyarakat umum” adalah semua harta yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan sehari-hari, yang ika harta itu lenyap maka manusia akan mengalami kegoncangan, berselisih dan bersengketa untuk mendapatkannya.  Sebagai contoh, semua kabilah akan mengalami kegoncangan dan perselisihan saat kehilangan air atau kehilangan padang gembalaan untuk ternaknya.

Atas dasar itu, segala sesuatu yang berhubungan erat dengan hajat hidup orang banyak, sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-harinya, dan manusia akan tergoncang serta berselisih ketika sesuatu itu tidak ada maka barang tersebut termasuk harta milik umum.

Status alat-alat yang digunakan untuk mengolah atau dipergunakan di atas harta kepemilikan umum jenis pertama dikategorikan juga harta kepemilikan umum.  Sebabnya,  hukum dan status kepemilikan alat-alat itu sama, yaitu sebagai milik umum. Oleh karena itu, alat-alat yang digunakan untuk mengeluarkan air dari mata air, sumur, sungai, danau, dan saluran-saluran yang menghubungkannya ke rumah-rumah, termasuk milik umum, sesuai dengan status air yang dikeluarkan.

Alat-alat pembangkit listrik yang dibangun di atas bendungan dan sungai, tiang-tiang penyangga, jaringan kawat, dan gardu-gardunya adalah milik umum.  Sebabnya, alat-alat ini menghasilkan listrik dari harta milik umum sehingga status hukum alat-alat ini mengikuti sumbernya.          Alat pembangkit listrik, gardu-gardu, tiang-tiang penyangganya dan jaringan kawatnya merupakan bagian dari kepemilikan umum selama prasarana itu dibangun di jalan umum, baik digunakan untuk pemanas maupun untuk penerangan.  Begitu pula industri gas alam dan batu bara juga tercakup dalam kepemilikan umum.  Sebabnya, status hukum industri semacam ini mengikuti hukum kepemilikan dari gas alam dan batu bara.   Gas alam dan batu bara termasuk kepemilikan umum disebabkan karena keduanya termasuk barang berharga dan tercakup dalam “api”.

Kedua, barang tambang yang memiliki deposit sangat besar dan melimpah.   Dalilnya adalah hadis riwayat Abu Dawud. Dijelaskan bahwa Rasulullah saw. pernah menarik kembali pemberian beliau yang berwujud tambang garam dari Abyadh bin Hamal, karena depositnya yang melimpah.   Negara dilarang memberikan hak khusus kepada perusahaan, atau sekelompok orang tertentu, untuk mengeksploitasinya dengan alasan apapun.  Negara wajib membiarkan harta-harta semacam ini sebagai milik umum.  Negara adalah satu-satunya pihak yang berwenang melakukan eksploitasi dan menjualnya atas nama kaum Muslim, dan hasilnya disimpan di Maitul Mal.

Ketentuan ini berlaku untuk semua jenis tambang dengan deposit melimpah ruah, baik barang tambang yang terdapat di permukaan bumi, seperti garam, batubara, granit, maupun barang tambang yang berada di perut bumi atau di bawah laut, semacam emas, perak, uranium, fosfat, timah, minyak bumi, gas alam, dan sebagainya.

Adapun barang tambang dengan deposit kecil adalah termasuk harta milik individu dan seseorang boleh menguasai dan memilikinya. Hanya saja, mereka wajib menyerahkan khumus (seperlima) dari hasil tambang itu kepada Baitul Mal, baik yang dieksploitasi sedikit maupun banyak.

Ketiga, harta yang tabiat asalnya menghalangi atau mencegah monopoli seseorang untuk memilikinya.  Perbedaan dengan jenis kepemilikan umum yang pertama adalah: jenis kepemilikan yang ketiga ini tabiat asalnya menghalangi atau mencegah seseorang untuk memilikinya, sedangkan pada jenis kepemilikan pertama, tabiat asalnya membolehkan seseorang untuk menguasainya; misalnya air.  Tabiat asal dari air tidak menghalangi atau mencegah seseorang untuk memilikinya. Atas dasar itu, seseorang tidak dilarang memiliki sumur yang deposit airnya kecil.  Namun, jenis kepemilikan yang ketiga ini tabiat asalnya mencegah atau menghalangi seseorang untuk memilikinya.

Dalil harta milik umum jenis ketiga ini adalah sabda Rasul saw.:

مِنىَ مُنَاخُ مَنْ سَبَقَ

Mina menjadi hak orang-orang yang lebih dulu tiba (HR Abu Dawud dan Ahmad).

 

Selain itu, diriwayatkan pula dari Rasul saw bahwa beliau melarang seseorang menguasai atau memiliki jalan umum dan mengijinkan semua orang untuk sama-sama memiliki hak (andil) di dalamnya.

Oleh karena itu laut, sungai, danau, teluk, selat, terusan (seperti Terusan Suez), lapangan umum dan masjid-masjid adalah milik umum bagi setiap anggota masyarakat.

Benda-benda yang hukumnya mengikuti kepemilikan umum adalah kereta api,  tiang-tiang penyangga listrik, saluran-saluran air dan pipa-pipa penyalur air yang terletak di jalan-jalan umum.  Semuanya termasuk harta milik umum, mengikuti status hukum dari jalan umum. Harta-harta semacam ini tidak boleh dikuasai oleh seorang atau sekelompok orang. Atas dasar itu, seorang atau sekelompok individu dilarang menguasai secara sepihak harta-harta yang diperuntukkan bagi kepentingan umum.  Ketentuan ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.:

لاَ حِمَى إِلاَّ لله وَرَسُوْلِهِ

Tidak ada hima (proteksi atas harta kepemilikan umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya (HR Abu Dawud).

 

Hadis ini menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh menguasai harta milik umum untuk kepentingan dirinya sendiri. Kereta api, trem, tiang-tiang penyangga listrik, saluran-saluran air, pipa-pipa penyalur air yang terletak di jalan-jalan umum, adalah milik umum.  Pengambilalihan sebagian jalan umum oleh seorang individu, kemudian ia menggunakan sebagian jalan umum itu untuk kepentingan dirinya sendiri secara terus-menerus, dapat dianggap sebagai bentuk penguasaan atas harta milik umum.   Tindakan seperti ini jelas-jelas dilarang oleh Islam.  Pasalnya, penguasaan dan pengaturan harta milik umum ada di tangan negara, bukan di tangan individu atau sekelompok individu.

 

  1. Melarang transaksi-transaksi yang bertentangan dengan syariah seperti penimbunan, riba, penipuan, spekulasi, jual-beli yang salah satu pihaknya tidak mengetahui harga, dan lain sebagainya.

Mata uang berbasis pada dinar dan dirham dijadikan sebagai alat tukar resmi negara.

 

  1. Jika di pasar terjadi kelangkaan barang, atau harga-harga membubung tinggi, Khilafah melakukan intervensi pasar.

Caranya dengan melakukan operasi pasar, seperti menyuplai barang-barang langka tersebut dengan harga yang murah, bukan dengan cara pematokan harga.  Pasalnya, pematokan harga (tas’iir) termasuk kezaliman.

Dengan cara ini, mekanisme pasar berjalan secara normal dan adil sehingga harta beredar di tengah-tengah masyarakat, bukan hanya pada individu-individu tertentu.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Gus Syams]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

nineteen − 12 =

Back to top button