Tafsir

Memenangkan Islam Atas Seluruh Agama

(Tafsir QS al-Fath [48]: 28)

هُوَ ٱلَّذِيٓ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ لِيُظۡهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدٗا  ٢٨

Dialah Tuhan Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk Dia menangkan atas semua agama. Cukuplah Allah sebagai Saksi. (QS al-Fath [48]: 28).

 

Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang kebenaran mimpi Rasulullah saw. Dalam mimpinya, beliau melihat kaum Muslim bisa memasuki Masjid Haram dengan aman dan mengerjakan umrah hingga tuntas tanpa takut gangguan dari para musuh. Mimpi itu belum terealisasi ketika Rasulullah saw. dan kaum Muslim menunaikan umrah pada tahun Hudaibiyah. Sejarah membuktikan, pada tahun depannya, mimpi Rasulullah saw. menjadi kenyataan.

Kemudian ayat ini memberikan kabar gembira kepada kaum Mukmin dengan pertolongan kepada Rasulullah saw. atas musuh-musuhnya dan seluruh penduduk muka bumi.1

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

هُوَ ٱلَّذِيٓ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ ٢٨

Dialah Tuhan Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar.

 

Dalam ayat ini diberitakan bahwa Allahlah Yang mengutus Rasul-Nya. Kata rasûlahu (Rasul-Nya) yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw.2 Beliau diutus dengan membawa « الهْدُى » (petunjuk)  dan « دِيْنِ الحَقِّ »  agama yang benar).

Secara bahasa makna « الهدى »  adalah « الرشاد والدلالة »  (penjelasan dan petunjuk).3 Menurut Syihanbuddin al-Alusi, yang dimaksud dengan  « الهدى »  di sini  adalah [ الدليل الواضح والحجة الساطعة ] (dalil yang jelas dan hujjah yang terang) atau al-Quran.4 

Petunjuk dari Allah itulah yang sebenar-benar petujuk. Bahkan satu-satunya petunjuk yang benar (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 120).

Adapun frasa  « دِيْنِ الْحَقِّ »  (agama yang benar) menunjuk pada agama Islam.5 Makna  al-haqq di sini merupakan kebalikan dari kata al-bâtil. Bisa juga merupakan salah satu dari nama Allah SWT.6 Islam memang agama dari Allah SWT dan satu-satunya agama yang Dia ridhai setelah Rasulullah saw. diutus (Lihat: QS Ali Imran [3]: 19).

Menurut Muhammad al-Amin al-Harari, makna al-haqq disini adalah ats-tsâbit (permanen, tetap) yang me-nasakh atau menghapus dan membatalkan semua agama.7

Dengan demikian semua agama selain Islam adalah batil. Termasuk pula agama-agama yang Allah turunkan  kepada para nabi dan rasul sebelumnya. Sebabnya, sekalipun agama-agama tersebut berasal dari Allah, semua sudah di-nanaskh dengan Islam. Oleh karena itu, para Ahlul Kitab disebut al-Quran sebagai orang yang tidak beragama dengan agama yang benar (Lihat: QS at-Taubah [9]: 29).

Dua perkara itulah, yakni petunjuk dan Islam, yang diberikan kepada Rasulullah saw. sebagai utusan-Nya untuk diserukan kepada seluruh manusia, tanpa terkecuali. Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Dialah Tuhan Yang mengutus Rasul-Nya Muhamad saw. dengan membawa keterangan yang jelas dan agama yang benar, yakni Islam. Dialah yang mengutus beliau sebagai penyeru makhluk-Nya kepada Diri-Nya.”8

Kemudian Allah SWT berfirman:

وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدٗا

…untuk Dia menangkan atas semua agama.

 

Secara bahasa kata « الظهر » berarti salah satu anggota badan manusia. Tepatnya, punggung. Namun, kata itu digunakan untuk berbagai makna. Di antaranya, kata « ظهر عليه »  bermakna « غلبه » (mengalahkan).9

Pada asalnya, kata « الإظهار »  berarti « جعل الشيء على الظهر » (menjadikan sesuatu di atas punggung, permukaan). Oleh karena itu, ia kemudian digunakan untuk menyebut « الإعلاء » (meninggikan); atau « جعله باديا للرائي »  (menjadikan sesuatu menjadi terlihat bagi orang yang melihat). Makna tersebut kemudian menjadi haqiqah ‘urfiyyah. Kalimat « إظهاره على الحق »  berarti me-nasakh sebagian hukumnya yang diganti karena perubahan era.  Kalimat « على الباطل »  berarti menjelaskan kebatilannya. Adapun kalimat « إظهاره على الدين »  adalah dengan memberikan kekuasaan kepada kaum Muslim atas semua pemeluk agama.

Lalu frasa ad-dîn kullihi bersifat umum, mencakup seluruh agama selain Islam. Ibnu Katsir berkata, “Frasa [ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ] berarti atas pemeluk seluruh agama di muka bumi, baik Arab maupun non-Arab, ahlul millah atau musyrik.”10

Az-Zamakhsyari juga berkata, “Yang dimaksud dengan frasa « الدِّينِ كُلِّهِ »  adalah semua jenis agama dari berbagai agama yang bermacam-macam, baik agama kaum musyrik maupun orang-orang yang ingkar dari kalangan Ahlul Kitab. Sungguh Allah SWT merealisasikan itu. Maka dari itu, sungguh engkau tidak akan melihat satu pun agama, kecuali bagi Islam kejayaan dan kemenangan atas agama selainnya.”

Menerangkan ayat ini, Imam al-Qurthubi berkata, “Dia meninggikan agama-Nya atas seluruh agama.”11

Mufassir tersebut menyebutkan bahwa ada yang berpendapat, “Agar Dia memenangkan Rasul-Nya atas semua agama, yakni atas agama yang telah Dia syariatkan dengan hujjah, kemudian dengan tangan dan pedang, serta me-nasakh (menghapus) semua agama yang lainnya.12

Menurut az-Zuhaili, makna “Allah memenangkan Islam atas semua agama” adalah meninggikan agama-Nya di atas semua jenis agama dengan me-nasakh yang sebelumnya benar, menerangkan kerusakan semua yang sebelumnya batil. Ini merupakan penegasan terhadap janji al-fat-h (kemenangan atau penaklukan).13

Jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, ayat ini merupakan penjelasan dan penegasan terhadap kebenaran mimpi Rasulullah saw. Sebelumnya, Rasulullah saw. bermimpi bahwa umat Islam dapat masuk Makkah dan Masjid al-Haram serta menunaikan umrah hingga tuntas dengan aman dan tidak takut ancaman musuh. Beliau pun menceritakan mimpi tersebut kepada kaum Muslim. Akan tetapi, setelah beliau bersama kaum Muslim pergi ke Makkah pada tahun itu, mereka dihalangi kaum kafir Quraisy sehingga tidak bisa masuk Tanah Haram. Kemudian terjadi Perjanjian Huadibiyah yang di antara isinya: Rasulullah saw. dan kaum Muslim harus pulang kembali tanpa diizinkan masuk ke Makkah pada tahun itu. Mereka baru bisa diperkenankan pada tahun berikutnya. Sebagian di antara mereka pun ada yang kecewa.

Kekecawaan mereka terobati ketika mendapatkan penjelasan Rasulullah saw. bahwa mimpi beliau itu tidak berarti harus terjadi pada tahun itu. Kemudian Allah pun memastikan kebenaran mimpi tersebut dan peristiwa akan terjadi. Ini diberitakan dalam ayat sebelumnya:

لَّقَدۡ صَدَقَ ٱللَّهُ رَسُولَهُ ٱلرُّءۡيَا بِٱلۡحَقِّۖ ٢٧

Sungguh Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (QS al-Fath [48]: 27).

 

Juga firman-Nya dalam ayat ini:

هُوَ ٱلَّذِيٓ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ

Dialah Tuhan Yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar.

 

Dalam ayat ini bahkan bukan sekadar bisa masuk ke Makkah, Masjid al-Haram dan menunaikan ibadah umrah, namun jauh lebih besar dari itu. Tentang ayat ini, al-Khazin berkata, “Di dalamnya terdapat penjelasan tentang al-fat-h (kemenangan, penaklukan) dan kaum Muslim memasuki Makkah.”14

Peristiwa yang diberitakan dalam ayat ini, yakni kekalahan seluruh agama yang ada di muka bumi ini belum terjadi pada zaman Nabi saw. sebagaimana janji Allah SWT dalam ayat sebelumnya. Masuknya kaum Muslim ke Makkah, Masjid al-Haram dan menunaikan umrah secara damai dan tidak takut ancaman benar-benar terjadi pada tahun sesudahnya.

Menurut asy-Syaukani, janji Allah SWT ini, alhamdulillah, sudah terjadi. Islam telah mengalahkan semua agama dan semua pemeluk agama sudah terkalahkan oleh Islam.15

Namun, jika mendasarkan pada penjelasan para ulama tentang makna frasa: [ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ ] yang mencakup seluruh agama yang ada di muka belum terjadi, maka sebagian agama memang sudah dikalahkan, tetapi belum semuanya. Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, keadaan tersebut benar-benar terjadi setelah turunnya Isa bin Maryam yang membunuh Dajjal. Mufassir tersebut berkata, “Agar Dia dengan Islam membatalkan semua agama lainnya hingga tidak ada agama selain Islam. Itu terus terjadi hingga Isa bin Maryam turun dan membunuh Dajjal. Ketika itu, batallah seluruh agama selain agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Dia memenangkan Islam atas semua agama.”16

Kemudian  ayat ini diakhiri dengan firman-Nya:

وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدٗا

Cukuplah Allah sebagai Saksi.

 

Menurut al-Qurthubi, huruf al-bâ‘ pada frasa [ بالله ] merupakan zâidah (tambahan). Karena itu ayat ini bermakna: « كَفَى الله شهِيدًا » (Cukuplah Allah menjadi Saksi).17

Menurut mufassir, perkara yang Allah menjadi Saksi adalah kenabian Rasulullah saw. Al-Khazin berkata, “Cukuplah  bagi Allah menjadi Saksi bahwa beliau adalah utusan-Nya.”18

Ibnu Katsir juga berkata, “Beliau adalah utusan-Nya dan Dia adalah penolongnya.”19

Imam al-Qurthubi juga berkata, “Cukuplah Allah sebagai Saksi atas Nabi-Nya. Kesaksian-Nya atas beliau adalah menerangkan kebenaran kenabiannya dengan mukjizat.”20

Ada pula yang mengatakan bahwa perkara yang Allah menjadi Saksi-Nya adalah kemenangan yang Dia janjikan. Asy-Syaukani berkata, “Cukuplah bagi Allah  sebagai Saksi atau kemenangan yang dijanjikan kepada kaum Muslim dan kebenaran nubuwwah Nabi saw.”21

Mengenai makna ayat ini secara keseluruhan, Ibnu Jarir berkata, “Ini adalah pemberitahuan dari Allah SWT kepada Nabi-Nya saw. dan sebagian Sahabatnya yang tidak menyukai Perjanjian Hudaibiyah, bahwa Allah SWT akan menaklukkan Makkah dan negeri-negeri lain untuk menghibur mereka dari kesusahan dan kesedihan yang mereka alami karena meninggalkan Makkah sebelum mereka memasuki kota itu dan thawaf di Baitullah.”22

Demikianlah. Ayat ini memberitakan bahwa Dialah Allah Yang mengutus Rasulullah saw. dengan membawa petunjuk dan agama yang benar. Dia pula Yang akan memenangkan Islam semua agama tanpa kecuali. Ini adalah berita dan janji Allah Yang janji-Nya pasti benar dan terwujud. Dia tidak akan menyelisihi janji-Nya dan pasti dapat mewujudkan janji-Nya. Tidak ada satu pun yang bisa menghalangi Diri-Nya Yang Mahakauasa atas segala sesuatu. Dialah Tuhan bumi, langit, beserta seluruh isinya. Masih adakah yang meragukan kemenangan Islam atas seluruh agama?

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.].

 

Catatan kaki:

1        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 7 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 360

2        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 291

3        Abu Bakar al-Razi, Mukhtâr al-Shihhah (Beirut: Maktabah al-‘Ashriuyyah, 1999), 325

4        al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 275

5        al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiyy, 1987), 346; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 65; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 13, 275; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 26 (Damaskus: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998), 200

6        al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 13, 275

7        al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 27 (Beirut: Dar Thauq al-Najah, 2001), 205

8        al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 22 (tt: al-Risalah, 2000), 260

9        al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 540

10      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 7, 360

11      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16, 291

12      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16, 291

13      al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 26, 200

14      al-Khazin, Lubâal-Ta‘wîl fîMa’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 172

15      al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 65

16      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 22, 260

17      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16, 292

18      al-Khazin, Lubâal-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 172

19      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 7 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 360

20      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 16, 292

21      al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 65

22      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 22, 260

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five × four =

Back to top button