Tarikh

Visi Politik Sultan Aceh

Dari jutaan korespondensi yang dilalukan umat manusia pada tahun 1872, satu aktivitas surat-menyurat juga dilakukan oleh dua orang yang sama-sama berbangsa Arab. Kedua orang Arab ini bahkan mempunyai leluhur yang sama, yakni Rasulullah Muhammad saw. Dengan kata lain, mereka sama-sama menyandang status sebagai dzuriyyah Nabi saw. Bedanya, yang satu tetap digelari sebagai “Habib”, sedangkan yang satunya lagi bergelar “Pasya”.

Kedua orang ini sama-sama bekerja sebagai pejabat, namun untuk dua kekuasaan yang berbeda. Sang Habib menjabat sebagai Mudabbir al-Mulk (Mangkubumi) Kesultanan Aceh, sedangkan sang Pasya didapuk sebagai wali (gubernur) Kota Suci Makkah al-Mukarramah, yang berada di bawah otoritas Khilafah Utsmaniyah.

‘Abdullah Pasya, sang gubernur Makkah, membaca serius surat yang ditulis Habib ‘Abdurrahman az-Zahir, seorang yang lahir di Yaman dan menjadi Mangkubumi di Kesultanan Aceh. Selaku utusan resmi dari negeri rencong itu, Habib al-Zahir menulis dalam bahasa Arab:

Laysa lanâ ta’allaqa bi-ahadin min ad-duwal al-ajnabiyyah wa bi-hukkâmin (Tidaklah kami ini bergantung pada bangsa dan pemerintahan asing manapun).”

Bal mamlakatunâ mustaqillah fî amrihâ, fi khayrihâ wa syarrihâ (Akan tetapi, kerajaan kami adalah kerajaan yang independen dalam urusannya, baik dalam keadaan baik dan buruknya).”

Begitu tulis Habib ‘Abdurrahman al-Zahir. Ia berusaha menjelaskan bahwa Kesultanan Aceh adalah negara yang berdaulat. Tiada bangsa asing dan pemerintahan manapun yang bisa mengintervensi kedaulatan Aceh. Namun, ada satu negara yang menjadi pengecualian bagi Habib, karena kemudian ia menyambung:

Ma’a ‘alimnâ, bi-anna as-sulthân al-a’zham huwa sulthân al-muslimîna wa al-Islâm (Segenap rakyat Aceh menyadari bahwa ‘Sultan yang Agung’ adalah sultan Islam dan kaum Muslim).”

Wa huwa shâhib al-khilâfah al-uzhmâ ‘alâ jamî’ al-anâm (Dialah sang pemilik Khilafah yang Agung atas seluruh umat manusia).”

Fantamâ’unâ al-a’zham wa-rtibâtu amrinâ amrunâ al-atam wa al-alzam innamâ li-hushûsh ad-Dawlah al-‘Aliyyah al-Utsmâniyyahh (Kesetiaan kami yang besar dan keterikatan urusan kami yang sempurna dan penuh komitmen; secara khusus hanyalah diperuntukkan kepada Negara Adidaya Utsmaniyah,” tegas Sang Mangkubumi.1

***

Persepsi positif Muslim Aceh terhadap institusi Khilafah pada abad ke-19 begitu merata lagi meluas. Baik sultan maupun rakyat, dari ulama sampai pejabat, semuanya menganggap diri mereka sebagai bagian tak terpisahkan dari Khilafah Utsmaniyah. Memori kolektif ini adalah buah ranum dari akar sejarah relasi Aceh-Utsmaniyah yang begitu menghujam. Namun, dalam konteks abad ke-19, tentu ada sebab lain selain dari romantisme sejarah yang menyebabkan Aceh merasa begitu dekat dengan Khilafah.

Lebih dari sekadar kenangan. Ini semua adalah tentang visi politik. Sebuah policy penuh perhitungan berlandaskan konsepsi syar’i yang lahir dari buah pikir Sultan Aceh. Setelah melewati masa-masa pelik yang disebut Mohammad Said sebagai “Abad Perang Saudara” antara faksi Arab dan faksi Bugis di lingkaran kuasa Aceh selama abad ke-18,2 kesultanan tersebut dapat berangsur pulih ketika seorang sultan yang cakap bernegara menaiki takhta. Ia adalah Tuanku Ibrahim bin Sultan Jauhar al-‘Alam Syah, yang digelari sebagai Sri Paduka Sultan ‘Ala’uddin Manshur Syah (w. 1869). Tokoh besar inilah yang akan menjadi sorot utama dalam pembahasan kita.

Sultan Manshur Syah—demikian ke depannya akan selalu kita sebut—menjadi pelopor visi persatuan Muslim Asia Tenggara di bawah naungan Khilafah Islamiyah pada abad ke-19. Pemikiran tersebut amat meresap di relung jiwa kawulanya di Aceh. Menyentak kesadaran para negarawan Utsmaniyah. Begitu mengkhawatirkan kaum kolonialis Belanda. Visi politik Sultan Manshur Syah tertuang dalam dua surat yang ia persembahkan langsung ke haribaan Sang Amîr al-Mu’minîn di Istanbul kala itu, Sultan Abdülmecid I.

Sejatinya surat-surat Sultan Manshur Syah kepada Khilafah Utsmaniyah ini sudah banyak dibahas oleh para peneliti, seperti yang dituangkan Ýsmail Hakký Kadý, A.C.S Peacock, dan Annabel Teh Gallop dalam penelitian mereka di tahun 2011.3 Kadý juga merilis penelitian terbarunya terkait objek yang sama dengan ruang lingkup yang lebih luas pada tahun ini, 2020.4

Namun sayang, penelitian yang mereka publikasikan masih tertulis dalam bahasa Inggris sehingga tak semua orang Indonesia bisa menikmatinya dengan mudah. Memang, tahun 2018 yang lalu, Teungku Taqiyuddin Muhammad telah menyuguhkan transliterasi dua surat Sultan Manshur Syah ke Istanbul yang aslinya tertulis dalam bahasa Arab-Melayu dan bahasa Arab fuschâ ke dalam bahasa Indonesia.5 Sekalipun beliau tidak menyertakan syarah (penjelasan) atas dua surat itu, penerjemahannya begitu baik dan enak dibaca. Usaha-usaha yang mereka lakukan telah menginspirasi saya untuk menerawang kembali cara berpikir Sultan Manshur Syah agar dapat menjadi inspirasi bagi generasi hari ini.

Artikel ini berusaha memberi penjelasan atas narasi yang ditulis Sultan Manshur Syah dalam suratnya ke Khalifah Utsmaniyah dengan mengaitkannya kepada sumber-sumber lain yang relevan. Namun, sebelum kita menelaah lebih lanjut bagaimana visi Sultan Manshur Syah tentang Khilafah, alangkah baiknya terlebih dulu kita mengetahui latar belakang singkat riwayat hidup Sultan Manshur Syah beserta kondisi politik pada masanya. [Bersambung] [Nicko Pandawa]

 

Catatan kaki:

1        Habib ‘Abdurrahman al-Zahir kepada ‘Abdullah Pasya, 27 Syawwal 1289 H (28 Desember 1872). Baþbakanlýk Osmanlý Arþivi (BOA), Sadaret Mektubi Mühimme Kalemi Evraký (A.MKT.MHM), 457/55 (24)

2        Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Jilid pertama, (Medan: Waspada, 1981), 424-469

3        Ýsmail Hakký Kadý, A.C.S Peacock, dan Annabel Teh Gallop, ‘Writing History: The Acehnese Embassy to Istanbul, 1849-1852’, dalam R. Michael Feener, dkk (eds). Mapping The Acehnese Past, (Leiden: KITLV Press, 2011), 163-181

4        Ýsmail Hakký Kadý, An Old Ally Revisited: Diplomatic Interactions Between the Ottoman Empire and the Sultanate of Aceh in the Face of Dutch Colonial Expansion, The International History Review, (2020), https://doi.org/10.1080/07075332.2020.1726433

5        Taqiyuddin Muhammad, Surat Permintaan Izin dan Bantuan Kepada Khalifah Turki Utsmani Untuk Menyerang Hindia Belanda di Batavia Tahun 1848, https://www.mapesaaceh.com/2015/07/surat-permintaan-izin-dan-bantuan.html; Idem, Surat Permintaan Izin Penyerangan Batavia Kepada Khalifah Turki Utsmani Tahun 1850, https://www.mapesaaceh.com/2015/07/surat-permintaan-izin-penyerangan.html

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

3 + 16 =

Back to top button