Telaah Kitab

Kapan Pendapat Majelis Umat Mengikat Khalifah?

(Pasal 110 Kitab Muqaddimah ad-Dustûr)

Telaah Kitab kali ini membahas Pasal 110. Pasal ini membahas ketentuan yang terkait dengan hasil-hasil musyawarah, apakah mengikat Khalifah atau tidak.  Dalam pasal 110 dinyatakan: “Masalah-masalah yang di dalamnya musyawarah (syura) bisa diberlakukan, yang (hasilnya) bersifat mengikat (mulzimat) ketika Khalifah meminta bermusyawarah, maka keputusannya diambil berdasarkan suara mayoritas tanpa memandang apakah pendapat itu benar atau salah. Adapun selain masalah-masalah tersebut yang termasuk di bawah syura yang (hasilnya) tidak mengikat, maka keputusannya ditetapkan berdasarkan kebenaran (pendapat yang benar) tanpa memandang lagi suara mayoritas atau minoritas.”

Maksudnya, persoalan-persoalan yang masuk dalam cakupan syura dan menjadi bagian dari al-masyûrâ, maka keputusannya diambil berdasarkan suara mayoritas, tanpa memperhatikan benar atau salahnya keputusan tersebut.  Dalam persoalan-persoalan semacam ini, jika Majelis Umat telah memutuskan suatu keputusan berdasarkan suara mayoritas, maka keputusan Majelis Umat dalam perkara semacam ini bersifat mengikat.  Artinya, Khalifah wajib mengadopsi dan menjalankan hasil musyawarah tersebut meskipun bertentangan dengan pendapatnya.

Yang dimaksud musyawarah adalah mengambil pendapat atas suatu urusan dengan cara membicarakannya dengan orang lain, lalu ditetapkan sebuah kesimpulan berdasarkan aklamasi atau suara terbanyak.  Musyawarah termasuk cara pengambilan pendapat.

Atas dasar itu, tidak ada musyawarah dalam masalah yang berhubungan dengan penetapan hukum syariah dan pendapat-pendapat syar’iyyah. Masalah seperti ini wajib ditetapkan berdasarkan ijtihad; menggali hukum dari nash-nash al-Quran dan sunnah oleh seorang mujtahid.  Selain mujtahid tidak diperkenankan menggali hukum syariah dari nas-nas syariah.   Begitu pula pengambilan pendapat dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan definisi atas suatu perkara, baik definisi yang bersifat syari’iyyah maupun non syari’iyyah. Misalnya, definisi tentang hukum syariah, masyarakat, akal dan lain sebagainya. Semua itu harus didasarkan pada definisi yang paling sesuai dengan fakta yang hendak didefinisikan, bukan ditetapkan berdasarkan musyawarah (aklamasi atau suatu mayoritas).

Adapun dalam urusan-urusan yang membutuhkan keahlian dan pengetahuan, pengambilan pendapat harus merujuk kepada orang yang memang ahli dalam masalah tersebut.  Musyawarah hanya terjadi dan boleh diselenggarakan dalam persoalan-persoalan yang berhubungan dengan suatu aktivitas yang hendak dikerjakan atau urusan-urusan teknis. Pengambilan keputusannya didasarkan pada aklamasi atau suara mayoritas.  Hanya dalam urusan seperti inilah musyawarah bisa diberlakukan.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa musyawarah hanya terjadi dan boleh diselenggarakan di luar tiga perkara di atas, yakni hanya terjadi dalam masalah yang berhubungan dengan suatu aktivitas yang hendak dikerjakan atau urusan-urusan teknis.

Dalil yang mendasari ketetapan ini adalah perilaku Rasulullah saw. ketika bermusyawarah dengan para shahabat.  Pada saat Perang Uhud, Nabi saw. lebih condong menghadapi musuh di Kota Madinah.  Sebaliknya, para sahabat lebih condong untuk keluar dan menyongsong musuh di luar Kota Madinah.   Di dalam Sîrah Ibnu Hisyâm dituturkan sebagai berikut:

 

Ibnu Ishaq berkata, “Jika kalian melihat mereka berdiam di Madinah, usirlah mereka di mana pun mereka berada.  Jika mereka berdiam diri, mereka berdiam diri dalam keadaan yang sulit. Jika mereka masuk menyerang kita, kita akan memerangi mereka di dalamnya (Madinah). Pendapat ‘Abdullah bin Ubay bin Salul sejalan dengan pendapat Rasulullah saw. dalam masalah ini yang menyatakan tidak akan keluar (Madinah) menyongsong mereka (kafir Quraisy).  Rasulullah saw. tidak suka keluar (dari Kota Madinah). Seorang laki-laki dari kalangan kaum Muslim yang termasuk orang yang dimuliakan Allah SWT dengan syahâdah saat Perang Uhud dan dari kalangan orang-orang yang tidak ikut serta dalam Perang Badar berkata, “Ya Rasulullah, keluarlah bersama kami untuk menyongsong musuh-musuh kami, agar mereka tidak memandang kami takut dan lemah terhadap mereka.”……Tatkala Rasulullah saw. keluar karena desakan mereka, mereka (para sahabat) berkata, “Ya Rasulullah, apakah kami telah membuat Anda tidak suka (terpaksa) yang hal itu mestinya bukan menjadi hak kami?  Jika Anda mau, silakan Anda duduk, Allah swt bersalawat atas Anda.”  Rasulullah saw. menjawab, “Tidak boleh bagi seorang nabi, jika ia telah mengenakan baju besinya, meletakkannya kembali, hingga ia berperang.”  Rasulullah saw pergi berperang bersama 1000 orang sahabatnya (Ibnu Hisyam, Sîrah Ibnu Hisyâm, 2/63. Maktabah Syamilah).

Wajh al-istidlâl dari riwayat ini adalah dalam persoalan-persoalan teknis atau aktivitas yang hendak dilaksanakan secara bersama-sama. Keputusannya ditetapkan berdasarkan suara mayoritas. Saat itu, mayoritas Sahabat menghendaki untuk menghadapi musuh di luar Kota Madinah.  Sebaliknya, Rasulullah saw.—sebagai  kepala negara Daulah Islamiyyah—berpendapat sebaliknya, yakni menyongsong musuh di dalam Kota Madinah.  Hanya saja, beliau mengikuti pendapat suara terbanyak yang menginginkan menghadapi musuh di luar kota Madinah.

Dalam perkara-perkara seperti ini, yakni aktivitas yang hendak dikerjakan, pendapat Majelis Umat yang didasarkan suara mayoritas mengikat Khalifah.

Adapun dalam perkara-perkara lain di luar perkara teknis atau di luar masalah-masalah yang berhubungan dengan suatu aktivitas yang hendak dilakukan, maka keputusannya ditetapkan berdasarkan “mana pendapat yang paling benar”.  Dalil yang menunjukkan hal ini adalah perilaku Rasulullah saw. yang menganulir pendapatnya dan mengikuti pendapat Hubab bin Mundzir ra. di medan Perang Badar. Pada saat Perang Badar Kubra, Nabi Muhammad saw. menetapkan sebuah tempat untuk bertahan menghadapi pasukan Quraisy.  Hubab bin al-Mundzir bin al-Jamuh ra. bertanya kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, apakah tempat ini termasuk tempat yang ditentukan Allah dan kita tidak boleh memajukan atau mengundurkannya? Ataukah tempat ini ditetapkan berdasarkan pendapat, perang dan taktik perang?  Rasulullah saw. menjawab, “Ini termasuk pendapat, pedang dan taktik perang.” Hubab bin Mundzir bin al-Jamuh pun menyampaikan usulan kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, ini bukanlah tempat yang tepat.  Pergilah bersama para Sahabat hingga tiba di mata air yang paling dekat dengan orang-orang Quraisy.  Kita berhenti di sana, kemudian kita tutup dan timbun mata air itu.  Setelah itu kita bangun sebuah kolam. Lalu kita penuhi kolam itu dengan air. Dengan begitu kita bisa berperang melawan orang-orang Quraisy dalam keadaan kita bisa minum, sedangkan mereka tidak bisa minum.”  Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh, engkau menyampaikan usulan yang tepat.”

Selanjutnya, Rasulullah saw. dan para Sahabat berangkat ke medan Badar.  Sesampainya di mata air yang dekat dengan pasukan Quraisy, beliau berhenti, mengambil air, dan mengisikannya di kolam-kolam yang telah dibangun oleh kaum Muslim hingga penuh.  Lalu para Sahabat melemparkan timba-timba mereka ke kolam yang telah kosong tersebut (Ibnu Hisyam, Ash-Sîrah an-Nabawiyyah, hlm. 424).

Wajh al-istidlâl riwayat ini adalah keputusan untuk perkara-perkara yang membutuhkan keahlian wajib ditetapkan berdasarkan pendapat ahlinya.  Rasulullah saw. menganulir pendapatnya, lalu mengikuti pendapat Hubab bin al-Mundzir ra., karena beliau ra. adalah orang yang paling memahami kondisi medan Badar.

Berdasarkan riwayat-riwayat di atas dapat disimpulkan poin-poin berikut ini:

  1. Dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan suatu aktivitas yang hendak dikerjakan atau urusan-urusan teknis, pengambilan keputusan didasarkan pada aklamasi atau suara mayoritas. Hanya dalam urusan seperti inilah musyawarah bisa diberlakukan.  Di dalam riwayat di atas disebutkan bahwa Rasulullah saw. mengikuti pendapat mayoritas yang menghendaki menghadapi musuh di luar Kota Madinah.
  2. Dalam urusan-urusan yang membutuhkan keahlian dan pengetahuan, pengambilan pendapat harus sandarkan pada pendapat orang yang memang ahli dalam masalah itu. Misalnya, untuk menetapkan sistem irigasi yang paling efektif dan efisien bagi pertanian dan perkebunan yang luas, harus dirujukkan pada pendapat ahli irigasi dan perkebunan, bukan suara mayoritas atau aklamasi. Dalam riwayat di atas dituturkan bahwa Rasulullah saw. membatalkan pendapat beliau, lalu mengikuti pendapat Hubab bin al-Mundzir dalam urusan pertahanan perang di medan Perang Badar.  Alasannya, Rasulullah saw. memahami, Hubab adalah orang yang lebih memahami medan Badar dibandingkan beliau.  Atas dasar itu, keputusan Majelis Umat dalam perkara-perkara seperti ini tidak mengikat Khalifah.  Pasalnya, keputusan yang berhubungan atau terkait dengan masalah-masalah ini dikembalikan pada pendapat yang paling tepat.

 

Dalil yang menunjukkan bahwa selain urusan-urusan yang berhubungan dengan suatu aktivitas yang hendak dikerjakan atau urusan-urusan teknis, pendapat Majelis Umat tidak mengikat, Khalifah adalah sunnah Nabi saw.  Pada saat Perjanjian Hudaibiyah, Nabi saw. menolak pendapat para Sahabat meskipun mereka bersikeras terhadap keputusan Nabi saw.  Pasalnya, apa yang beliau lakukan pada saat Perjanjian Hudaibiyah terkait dengan hukum syariah/wahyu.  Dalam urusan seperti ini, beliau tidak pernah lemah terhadap desakan Sahabat.  Ini menunjukkan bahwa dalam masalah-masalah yang terkait dengan hukum, tidak berlaku di dalamnya pendapat mayoritas, dan pendapat Majelis Umat tidaklah mengikat.

WalLâhu al-Musta’ân wa Huwa Waliyyu at-Tawfîq. [Gus Syam]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

17 + four =

Back to top button