Telaah Kitab

Larangan Menimbun Harta (Telaah Kitab Pasal 142 Muqaddimah ad-Dustur)

Telaah Kitab edisi kali ini membahas pendapat yang diadopsi Hizbut Tahrir mengenai larangan menimbunn emas dan perak walaupun dikeluarkan zakatnya.   Di dalam Kitab Muqaddimah ad-Dustur Pasal 142 dinyatakan:

يُمْنَعُ كَنْزُ الْمَالِ وَلَوْ أُخْرِجَتْ زَكَاتهُ

Dilarang menimbun harta walaupun dikeluarkan zakatnya.

 

Adapun dalil yang mendasari pasal ini adalah al-Quran dan Sunnah Nabi saw.  Di dalam al-Quran Allah SWT berfirman:

وَٱلَّذِينَ يَكۡنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلۡفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرۡهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٖ ٣٤

Orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, beritahulah mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (QS at-Taubah [9]: 34).

 

Ayat ini merupakan dalil atas keharaman menimbun  harta secara mutlak.  Meskipun ayat ini turun terkait dengan Ahlul Kitab, redaksinya umum, dan kaum Muslim juga diseru dengan ayat itu.

Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa ayat di atas telah mengharamkan menimbun harta, baik dikeluarkan zakatnya maupun tidak, adalah sebagai berikut.

Pertama: Keumuman ayat.  Redaksi ayat, baik dari sisi manthuq maupun mafhum-nya, menunjukkan larangan menimbun emas dan perak dengan larangan yang sangat jelas.  Memaknai ayat tersebut dengan menyatakan, “Yang dilarang adalah menimbun emas dan perak tanpa dikeluarkan zakatnya, sedangkan jika dikeluarkan zakatnya, tidak termasuk dalam larangan ayat,” jelas meninggalkan hukum yang terkandung di dalam ayat yang dalalah-nya qath’i. Makna yang terkandung di dalam ayat tersebut bisa dialihkan ke makna lain jika memag ada dalil yang mengalihkan maknanya atau ada dalil yang  menghapusnya.  Hanya saja, tidak ada satupun nash shahih yang mengalihkan pengertiannya maupun yang memungkinkan untuk mengalihkan maknanya.  Sebabnya, dalalah ayat di atas adalah qath’i.  Adapun kemungkinan penghapusan makna ayat, sesungguhnya tidak ada dalil yang menghapus (me-nasakh) ayat itu.  Atas dasar itu, hukum yang terkandung di dalam nas tidak berubah, yakni haram menimbun emas dan perak secara mutlak.

Kedua: Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis, dengan isnad shahih, dari Abu Umamah ra. yang berkata:

أَنَّ رَجُلا مِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ تُوَفِيَّ وَتَرَكَ دِينَارًا فَقَالَ رَسُولُ الله صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُ كَيَّة قَالَ ثمَّ تُوَفي آخَرُ فَتَرَكَ دِينَارَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ الله صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيَّتَانِ

Ada seorang laki-laki dari ahlu al-shuffah meninggal dunia.  Ditemukan di dalam bajunya satu dinar.  Rasulullah saw. bersabda, “Kayyah (Cap dari api neraka).” Abu Umamah berkata lagi: Kemudian, seorang laki-laki ahlu al-shuffah yang lain meninggal dunia, dan di balik bajunya ditemuka dua dinar.  Rasulullah saw bersabda, “Dua buah cap dari api neraka.”  (HR Ahmad).

 

Imam ath-Thabari juga menyandarkan riwayat-riwayat yang senada pengertiannya kepada Abu Umamah ra.

Hadis ini menunjukkan dengan sangat jelas keharaman menimbun emas dan perak secara mutlak, semampang itu termasuk bagian dari al-kanz, yakni menyimpan harta tanpa ada kebutuhan yang ditujukan untuk menginfakkan harta tersebut. Rasulullah saw. mencela dua orang laki-laki tersebut karena keduanya hidup dari sedekah, tetapi mereka berdua memiliki uang emas.  Sabda Nabi saw., kayyah (cap dari api neraka) dan kayyataan (dua cap dari api neraka), mengisyaratkan firman Allah SWT:

يَوۡمَ يُحۡمَىٰ عَلَيۡهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكۡوَىٰ بِهَا جِبَاهُهُمۡ وَجُنُوبُهُمۡ وَظُهُورُهُمۡۖ هَٰذَا مَا كَنَزۡتُمۡ لِأَنفُسِكُمۡ فَذُوقُواْ مَا كُنتُمۡ تَكۡنِزُونَ ٣٥

Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam Neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka. (Lalu dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta benda kalian yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri. Karena itu rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kalian timbun itu.”  (QS ath-Taubah [9]: 35).

 

Sabda Nabi saw terhadap dua orang ahlu al-shuffah termasuk bagian dari ayat al-kanz.  Oleh karena itu, hadis riwayat Imam Ahmad merupakan dalil yang menunjukkan keharaman kanz al-mal secara mutlak, baik harta yang disimpan sudah mencapai nishab zakat atau belum, dizakati maupun tidak.  Semua perbuatan yang termasuk bagian dari kanz al-mal adalah haram.

Ketiga, ‘athaf dalam firman Allah SWT (wa laa yunfiquunahaa fii sabiililLaah) yang terdapat dalam QS at-Taubah ayat 34 berbeda dengan ‘athaf yang terdapat di dalam firman-Nya (walladziina yaknizuuna adz-dzahab wa al-fidhdhah) di dalam QS at-Taubah ayat 34.  Konsukensinya, ayat ini mencakup dua hukum yang berbeda, yakni: (1) kanz al-maal (menyimpan emas dan perak); (2) tidak berinfak di jalan Allah.  Nas ayat menunjukkan bahwa ancaman siksa yang sangat pedih dinisbahkan pada dua perkara ini, yakni orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta orang-orang yang tidak mau berinfak di jalan Allah.   Atas dasar itu, orang yang tidak melakukan kanz al-maal, tetapi ia tidak mau berinfak di jalan Allah, terkena ancaman ayat.  Demikian pula orang yang berinfak di jalan Allah, tetapi melakukan kanz al-maal.  Imam al-Qurthubi berkata:

فَإِنَّ مَنَ لَمْ يَكْنِزْ وَمَنَعَ اْلإِنْفَاقَ فِي سَبِيْلِ الله فَلا بُدَّ وَأَنْ يَكُوْنَ كَذَلِك

Karena itu orang yang tidak melakukan kanz al-maal, tetapi tidak mau berinfak di jalan Allah, haruslah menjadi seperti itu juga (Al-Qurthubi, Tafsir Qurthubi, 8/128).

 

Yang dimaksud dengan frasa (fiy sabiililLaah: di jalan Allah) adalah jihad.  Sebabnya, frasa ini dihubungkan dengan kata al-infaq.  Kata sabiililLaah, jika dihubungkan dengan kata al-infaq, maknanya adalah jihad, kecuali ada qarinah (indikator) yang memalingkan maknanya ke makna lain.  Atas dasar itu, frasa (wa laa yunfiquunahaa) tidak absah dijadikan dalil atas statemen, “Jika mereka menyimpannya, lalu menginfakkan sebagiannya di jalan Allah, maka tidak terkena ancaman siksa.”  Sebabnya, huruf wawu di dalam ayat tidak berkedudukan sebagai ‘athaf tafsiiri, tetapi ‘athaf mughayarah. Dengan demikian aktivitas menyimpan emas dan perak diharamkan secara mutlak. Sama saja apakah sebagiannya diinfakkan di jalan Allah atau tidak, dizakati atau tidak.

Keempat: Imam al-Bukhari menuturkan sebuah hadis dari Zaid bin Wahab ra. yang berkata:

مَرَرْتُ بِالرَّبَذَةِ فَإِذَا أَنَا بِأَبِي، ذَرٍّ رضى الله عنه فَقُلْتُ لَهُ مَا أَنْزَلَكَ مَنْزِلَكَ هَذَا قَالَ كُنْتُ بِالشَّأْمِ، فَاخْتَلَفْتُ أَنَا وَمُعَاوِيَةُ فِي الَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ‏.‏ قَالَ مُعَاوِيَةُ نَزَلَتْ فِي أَهْلِ الْكِتَابِ‏.‏ فَقُلْتُ نَزَلَتْ فِينَا وَفِيهِمْ‏.‏ فَكَانَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ فِي ذَاكَ، وَكَتَبَ إِلَى عُثْمَانَ رضى الله عنه يَشْكُونِي، فَكَتَبَ إِلَىَّ عُثْمَانُ أَنِ اقْدَمِ الْمَدِينَةَ‏.‏ فَقَدِمْتُهَا فَكَثُرَ عَلَىَّ النَّاسُ حَتَّى كَأَنَّهُمْ لَمْ يَرَوْنِي قَبْلَ ذَلِكَ، فَذَكَرْتُ ذَاكَ لِعُثْمَانَ فَقَالَ لِي إِنْ شِئْتَ تَنَحَّيْتَ فَكُنْتَ قَرِيبًا‏.‏ فَذَاكَ الَّذِي أَنْزَلَنِي هَذَا الْمَنْزِلَ، وَلَوْ أَمَّرُوا عَلَىَّ حَبَشِيًّا لَسَمِعْتُ وَأَطَعْتُ‏

Saya pernah melintasi daerah Rabadzah.  Saat itu, saya sedang bersama dengan Abu Dzar ra.  Saya bertanya kepada dia, “Apa yang menyebabkan Anda tinggal di tempat tinggal Anda ini?”  Abu Dzar ra. menjawab, “Saya dulu di Syam dan berselisih dengan Muawiyah ra. dalam hal firman Allah SWT (walladziina yaknizuu adz-dzahab wa al-fidhdhah).  Muawiyah mengatakan bahwa ayat ini turun untuk Ahlul Kitab.  Saya mengatakan bahwa ayat ini turun untuk kita dan mereka (Ahlul Kitab).   Oleh karena itu,  perbedaan antara diriku dan dirinya menjadikan aku berada di sini. Muawiyah mengirim surat kepada ‘Utsman ra, mengadukan diriku.  Utsman mengirim surat kepadaku agar aku pergi ke Madinah.  Aku berangkat menuju Madinah.  Orang-orang pun banyak yang melihatku, seakan-akan mereka belum pernah melihatku sebelumnya.   Aku menceritakan jarak itu kepada ‘Utsman.  Lalu, ia berkata, “Jika kamu suka, kamu bisa meninggalkan tempat itu, sehingga kamu berada lebih dekat.” (dengan kota Madinah). Itulah yang menjadikan aku tinggal di tempat ini.” Abu Dzar berkata, “Seandainya mereka menyuruhku untuk taat kepada orang Habasyi, niscaya aku tetap mendengar dan taat.” (HR al-Bukhari).

 

Perbedaan pendapat antara Abu Dzar dan Muawiyah hanya berkaitan dengan untuk siapa ayat ini turun, bukan dalam hal makna yang terkandung di dalam ayat. Seandainya Muawiyah dan Utsman memiliki dalil yang membuktikan bahwa harta (emas dan perak) yang dikeluarkan zakatnya tidak termasuk al-kanz, niscaya beliau berdua akan menyodorkan dalil itu dan pasti Abu Dzar ra. akan terdiam dengan dalil tersebut.  Faktanya, tidak terdapat riwayat yang menyatakan bahwa mereka berdua (‘Utsman dan Muawiyah) menuturkan hadis yang memalingkan keumuman dan kemutlakan larangan al-kanz.   Fakta ini menunjukkan bahwa keumuman ayat dan kemutlakannya tidak diperselisihkan oleh Muawiyah, ‘Utsman bin ‘Affan dan Abu Dzar ra.

WalLaahu a’lam bi ash-shawwaab. [Gus Syams]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × 3 =

Back to top button