Telaah Kitab

Problem Asasi Ekonomi (Pasal 124 Kitab Muqaddimah ad-Dustûr-Lanjutan)

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, problem ekonomi adalah distribusi harta dan jasa pada seluruh individu rakyat, serta bagaimana memampukan rakyat dalam memanfaatkan barang dan jasa, dengan cara memberi kesanggupan mereka untuk mendapatkan dan mengusahakan keduanya.  Dengan kata lain, problem ekonomi adalah distribusi, bukan produksi.

Dalil yang mendasari kesimpulan ini adalah: Pertama,  nash-nash syariah yang datang untuk menjelaskan solusi problem kemiskinan, serta kebolehan memiliki dan memanfaatkan harta. Kedua, realitas kehidupan ekonomi.

Bila dinisbatkan pada dalil-dalil syariah, terdapat nash-nash syariah yang datang untuk menyelesaikan problem kemiskinan individu, seperti zakat yang didistribusikan untuk delapan golongan, sedekah kepada yang membutuhkan, kafarah (denda) yang diwujudkan dalam bentuk memberi makan orang miskin, larangan kikir dan ihtikar (menimbun), dan lain sebagainya.  Hukum-hukum yang terkandung dalam nash-nash ini pada dasarnya ditetapkan untuk mengatasi problem kemiskinan individu akibat barang dan jasa tidak terdistribusi kepada mereka.

Terkait dengan masalah kesanggupan setiap individu rakyat untuk memperoleh dan mengusahakan harta dan jasa, syariah memberi solusi dengan cara membolehkan setiap orang untuk memiliki harta melalui sebab-sebab yang dibolehkan syariah seperti bekerja, hibah, waris, dan lain sebagainya. Seseorang tidak dihalang-halangi untuk memiliki, mengusahakan dan memanfaatkan harta pada batas-batas yang telah ditetapkan oleh Islam. Dengan cara seperti ini setiap individu terdorong bekerja sungguh-sungguh untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.

Dari sisi fakta, sesungguhnya berbagai krisis ekonomi yang melanda sebuah negara adalah disebabkan karena buruknya distribusi harta di tengah-tengah masyarakat, bukan karena sedikitnya produksi.  Lahirnya sistem sosialis yang digagas kaum sosialis, termasuk di dalamnya aliran komunis, merupakan imbas kezaliman akibat penerapan sistem kapitalis.  Di dalam masyarakat kapitalis, produksi dipacu sedemikian rupa hingga melahirkan apa yang disebut dengan “over produksi”.  Hanya saja, distribusi yang buruk dalam sistem ini mengakibatkan kekayaan menumpuk hanya pada segelintir orang.  Saat yang sama, banyak orang hidup di bawah standar dan mengharap belas kasihan orang yang kaya yang hampir mustahil mereka dapatkan.

Di dalam sistem kapitalis, sekitar 80% dari nilai total pendapatan dunia dihasilkan oleh negara-negara maju yang jumlah penduduknya kurang dari 20% penduduk dunia.  Ini menunjukkan lebih dari 4/5 penduduk dunia hanya menghasilkan 1/5 dari total output dunia.  Sebaliknya, negara-negara Dunia Ketiga dengan jumlah penduduk hampir meliputi 80% dari total penduduk dunia hanya memperoleh bagian pendapatan di bawah 20% dari total pendapatan dunia.

Realitas tersebut menunjukkan betapa timpangnya pendapatan antara negara-negara Dunia Ketiga dengan negara-negara maju. Pada tahun 1997, pendapatan perkapita paling tinggi di dunia adalah Swiss. Angka perkapitanya 403 kali dibandingkan dengan tingkat pendapatan perkapita dari salah satu negara termiskin di dunia, Ethiopia, dan masih 114 kali lebih besar dibanding dengan negara terluas di dunia, yakni India.

Pada tahun 1993, sekitar 1,3 miliar penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan (sangat miskin).  Jika dilihat masing-masing wilayah, ditemukan tingkat kemiskinan tertinggi di Asia Selatan, di mana jumlah penduduk termiskin terbesar hidup, yakni 515 juta.  Wilayah Afrika Sub-Sahara yang memiliki 219 juta penduduk sangat miskin memiliki tingkat pertumbuhan kemiskinan paling cepat. Diperkirakan tingkat pertumbuhan kemiskinan di Afrika mencapai 50%, pada abad 21.

Selain harus membanting tulang untuk mendapatkan pendapatan, penduduk negara berkembang juga harus berjuang menghadapi penyakit dan kekurangan gizi.  Tidak sedikit yang kemudian menyerah dan mati, karena penyakit dan malnutrisi.

Meskipun kondisi kesehatan negara berkembang sudah membaik, sejak tahun 1960, kenyataannya pada tahun 1998 rata-rata usia harapan hidup di negara-negara yang paling terbelakang di dunia hanya mencapai 48 tahun. Bandingkan dengan usia 63 tahun di negara berkembang lainnya dan 75 tahun di negara-negara maju.

Tingkat kematian bayi (infant mortality rates), yakni jumlah anak yang mati sebelum berusia 1 tahun untuk setiap 1000 kelahiran, di negara-negara yang paling terbelakang rata-rata mencapai 96; sedangkan di negara-negara yang berkembang lainnya mencapai 64; dan 8 di negara-negara maju.

Pada tahun 1970-an, lebih dari 1 miliar penduduk negara-negara Dunia Ketiga menderita kekurangan gizi.  Pada dekade 1990-an keadaan ini semakin memburuk, terutama di kawasan Afrika sub-Sahara.  Penduduk di kawasan ini bahkan sering tidak memiliki sesuatu sekadar untuk mengganjal perut. Wabah kelaparan terus melanda Afrika hingga berlarut-larut. Di Asia dan Afrika, lebih dari 60% penduduknya tidak mampu memenuhi keperluan kalori minimum yang diperlukan untuk hidup sehat. Padahal kekurangan nutrisi ini bisa ditutup hanya dengan 2% dari total produksi padi-padian dunia. Hal ini bertentangan dengan pendapat umum yang menyatakan bahwa kelaparan dunia disebabkan karena terbatasnya produksi pertanian.  Walhasil, yang menjadi sebab kelaparan adalah buruknya distribusi pangan se dunia.

Adapun ketidakmampuan negara-negara Dunia Ketiga mengakses layanan publik dapat dilihat pada table di bawah ini.

 

Tabel. Deprivasi Kesehatan Manusia di Negara-negara Dunia Ketiga, 1995

 

Sumber: United Nations Development Program, Human Development Report, 1994, halk.134-135.

 

Pada tahun 1990, menurut data statistik, 67% anak-anak di Bangladesh, 43% di Afrika Selatan, 63% anak-anak India, 42% di Vietnam, 38% di Ethiopia, dan36% di Ghana kekurangan berat badan.

Data terakhir, pada tahun 1995, disebutkan bahwa jumlah dokter di negara-negara paling terbelakang rata-rata hanya 4,4 untuk setiap 100.000 penduduk. Ironisnya, sebagian besar fasilitas kesehatan di negara-negara berkembang terpusat di kota-kota besar yang jumlahnya hanya 25% dari total jumlah penduduk.  Di India, contohnya, 80% dari dokternya membuka praktik di daerah perkotaan yang hanya dihuni oleh sekitar 20% penduduk.  Kota Bolivia hanya sepertiga dari penduduknya hidup di kota-kota, tetapi di situlah terdapat 90% fasilitas kesehatan. Di Nairobi, ibukota Kenya, angka perbandingan antara penduduk dengan dokter adalah 672:1, sedangkan di daerah-daerah  pedesaannya dimana 87% penduduk Kenya tinggal, angka perbandingannya jauh lebih memprihatinkan, yakni 20.000:1.

Dalam penyediaan biaya kesehatan, 75% biaya kesehatan negara-negara berkembang dialokasikan untuk membangun rumah-rumah sakit yang ada di kota-kota besar yang tarifnya relatif mahal.

Korban meninggal akibat penyakit AIDS di seluruh dunia diperkirakan 6 juta jiwa, sedangkan yang terjangkit virus HIV lebih dari 30 juta.  Padahal 90% dari total penduduk yang terkena virus HIV ada di negara-negara berkembang.  Jumlah penduduk wanita yang terkena virus HIV berjumlah hampir setengahnya dari total penduduk yang terkena infeksi HIV.  Sedangkan 1 juta anak juga diperkirakan terkena virus HIV.

Pada tahun 1998, jumlah terbesar korban HIV/AIDS, yaitu sebanyak 19,83 juta orang, berada di wilayah Afrika sub-Sahara, 6,35 juta berada di Asia, dan 1,28 juta berada di negara-negara Amerika Latin.

Ilustrasi atas rendahnya kualitas hidup di negara-negara berkembang terlihat juga dalam bidang pendidikan.  Di Amerika Latin diperkirakan 60 dari 100 anak didik yang memasuki sekolah dasar putus sekolah sebelum sempat menamatkannya.  Di negara-negara Asia dan Afrika, median anak putus sekolah berkisar 20-54%.  Akan tetapi, jurang perbedaan antarnegara yang berada dalam satu kawasan ternyata juga sangat besar.   Ada sejumlah negara kawasan Afrika dan Asia yang tingkat putus sekolahnya saja mencapai 81% dan 64%.

Pada tingkatan sekolah menengah pertama, median anak putus sekolah mencapai 38,7% bagi negara-engara berkembang di kawasan Afrika, dan 18% untuk negara berkembang di kawasan Latin dan Asia.  Di Eropa, angka ini hanya sekitar 11,4%.

Persentase penduduk dewasa (yakni 15 tahun ke atas) yang buta huruf di negara-negara berkembang telah menurun dari 60% pada tahun 1960 menjadi 31 persen di tahun 1995.  Namun, sehubungan dengan demikian pesatnya pertumbuhan penduduk, jumlah absolut penduduk dewasa yang buta huruf dalam periode yang sama justru telah meningkat dari sekitar 150 juta jiwa menjadi kira-kira 872 juta jiwa pada tahun 1996.  Tingkat buta huruf penduduk daerah pedesaan yang paling tinggi ditemukan di daerah-daerah Asia Selatan (50%), diikuti negara-negara Arab(43%), Afrika sub-Sahara (43%), Asia Timur (16%), dan Amerika Latin (13%). Di Amerika Utara dan Eropa, tingkat buta huruf penduduk dewasanya masing-masing hanya sekitar 1,0% dan 2,5%.

Negara-negara berkembang juga menghadapi masalah penyediaan lapangan pekerjaan.   Pengangguran di negara berkembang masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara maju.

 

Tabel Tenaga Kerja dan Pengangguran di Negara-negara Berkembang, 1960-1990 (dalam satuan ribuan).

Sumber: Yves Sabolo,”Employment and Unemployment, 1960-1990, International Labor Review 112 .

 

Data di atas menunjukkan bahwa pengangguran di negara-negara berkembang terus meningkat dari tahun ke tahun.  Terlihat dengan jelas bahwa pengangguran pada tahun 1960 sebanyak 36,5 juta, melonjak menjadi 54 juta pada tahun 1970.  Jadi dalam periode ini terjadi peningkatan pengangguran sebanyak 46%, atau rata-rata 3% pertahun. Bila pengangguran dihubungkan dengan tingkat pendidikan akan terlihat pada data-data berikut ini:

 

Tabel. Persentase Pengangguran Menurut Tingkat Pendidikan di Sejumlah Negara-negara Berkembang (persen).

 

Catatan:

A = Pengangguran di kalangan yang tidak berpendidikan

B = Pengangguran di antara lulusan sekolah dasar

C = Pengangguran di antara lulusan sekolah lanjutan

D = Pengangguran di antara lulusan universitas

Sumber : UNDP, Human Development Report, 1993, hal.38

 

Data di atas menunjukkan bahwa pengangguran yang berasal dari penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi cukup tinggi. Di Indonesia, misalnya, pengangguran dari kalangan berpendidikan tinggi sebanyak 5,3% lebih besar dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan sekolah dasar.

Dari data lain juga didapatkan bahwa pengangguran yang terbanyak berada pada usia 15-24 tahun.  Di Indonesia, pada tahun 1986, pengangguran di usia ini (15-24 tahun) sebanyak 23,4%, lebih banyak dibandingkan usia di atas 25 tahun yang hanya 2,6%. Di Srilanka bahkan mencapai jumlah 40,2%, Kenya 38,1%, India 19,4%, dan di Filipina 18,6%.

Kemiskinan, tingkat pendapatan rendah, serta pendidikan minim secara tidak langsung berpengaruh terhadap sikap penduduk negara berkembang kepada lingkungan  hidup.  Dengan kata lain, masalah lingkungan hidup yang dihadapi oleh negara-negara berkembang lebih disebabkan karena mereka tidak memiliki pilihan lain—karena kemiskinan mereka—untuk menjalani hidup tidak sehat.

Selama dekade 1980-an, tingkat kesuburan tanah perkapita merosot 1,9% pertahun. Masalah ini pada gilirannya memperparah kelangkaan lahan subur yang kemudian memaksa penduduk miskin di daerah pedesaan untuk mengandalkan hidupnya pada lahan-lahan marjinal yang produktivitas dan kesuburannya sangat terbatas.   Sejauh ini diperkirakan bahwa lebih dari 60% penduduk termiskin di berbagai negara berkembang harus mempertahankan kelangsungan hidupannya dengan mengandalkan lahan pertanian marjinal yang sulit ditanami.

Akhirnya, hutan yang jumlahnya semakin sedikit dibabat dan diolah menjadi lahan garapan, dan kebanyakan dari lahan itu mengalami pengikisan kualitas dan kesuburan secara cepat sebagai akibat dari metode-metode pertanian yang sama sekali tidak efisien.  Setiap tahunnya, dunia kehilangan sekitar 270.000 kilometer persegi lahan subur.  Secara keseluruhan 1,2 miliar area lahan telah kehilangan kesuburannya. Untuk membayang-kan luas area ini, bayangkan luas wilayah Cina dan India yang dijadikan satu.

Buruknya sanitasi dan kesehatan yang dialami penduduk negara berkembang telah menyebabkan masalah-masalah baru.  Hampir 80% dari total penyakit yang diderita oleh penduduk negara Dunia Ketiga diakibatkan karena sanitasi air yang payah.  Sembilan puluh persen (90%) dari total kematian anak-anak yang jumlahnya mencapai 13 juta jiwa setiap tahunnya juga disebabkan karena masalah serupa.  Meskipun begitu, jumlah penduduk yang harus hidup tanpa sanitasi dan air bersih justru terus meningkat.  Pada periode antara tahun 1970 sampai tahun 1980, jumlahnya terus bertambah 135 juta jiwa.

Di Amerika Latin, pada tahun 2030 diprediksi bahwa penyediaan air bersih untuk penduduknya boleh dikatakan sebagai kemustahilan.   Ini disebabkan karena ledakan pertumbuhan penduduk demikian besarnya.   Jumlah penduduk yang harus dilayani meningkat 250%, padahal untuk sekarang saja tidak semua orang bisa menikmati layanan social tersebut. Angka tersebut sudah membuat kita tercengang, padahal ada 1,2 miliar penduduk di daerah-daerah pedesaan yang keperluan-keperluan sanitasinya harus dipenuhi.

Unsur-unsur polusi atau polutan yang memenuhi udara juga akan mengancam kesehatan penduduk negara-negara Dunia Ketiga.  Polusi di dalam rumah akibat pembakaran mengancam 400 juta hingga 700 juta manusia yang sebagian besar adalah wanita dan anak-anak. Asap dan percikan debu dapur diyakini telah menyebabkan kematian 4,3 juta anak-anak  setiap tahunnya sebagai akibat penyakit pernafasan akut.

Di daerah perkotaan, sumber polusi yang mengancam kesehatan lebih banyak lagi.  Menurut laporan WHO, 1,3 miliar manusia yang hidup di daerah perkotaan menjalani kehidupan sehari-hari berdampingan dengan aneka rupa polutan udara yang membahayakan.  Pada masa mendatang kondisinya diperkirakan akan semain mengerikan, karena diprediksi pada tahun 2020 nanti jumlah pabrik di daerah perkotaan akan meningkat 600% dari jumlah yang ada sekarang ini.

Sebagai ilustrasi sederhana betapa tidak efisiennya kehidupan di negara-negara berkembang adalah apa yang terjadi di Lima dan Jakarta.  Keluarga-keluarga miskin di kota itu hanya bisa mengkonsumsi air 1/6 dari volume air yang dikonsumsi oleh keluarga-keluarga yang berpenghasilan tinggi.  Ironisnya, pengeluaran mereka untuk membeli air justru tiga kali lipat lebih tinggi.  Padahal, air yang mereka konsumsi kualitasnya sangat rendah sehingga harus direbus lama.  Ini tentunya semakin memperbesar biaya mereka untuk membeli bahan bakar.  Selain itu, kompor yang mereka gunakan tingkat efisiensinya rendah, sehinga asap dan polutan yang dihasilkan juga sangat tinggi. Jika mereka diharuskan memasak air sesuai dengan yang disarankan pemerintah, maka tambahan biaya untuk bahan bakar akan menghabiskan 29% dari total pendapatan mereka. Di Jakarta, sekitar US$ 50 juta habis pertahun hanya untuk merebus air.

Realitas di atas menunjukkan kepada kita, bahwa problem ekonomi adalah buruknya distribusi, bukan sedikitnya produksi.  Buruknya distribusi kekayaan menyebabkan banyak orang ditimpa berbagai macam persoalan.  Pendapatan rendah menyebabkan akses masyarakat terhadap layanan-layanan publik sangat minim. Akibatnya, banyak orang mengalami deprivasi.  Deprivasi diikuti dengan lahirnya problem-problem lain yang semakin memberatkan masyarakat.

Mempertahankan eksistensi sistem kapitalis sama artinya dengan melanggengkan penderitaan dan kesengsaraan manusia.  Sebaliknya, mengakhiri sistem buruk ini merupakan tindakan yang akan menyelamatkan kehidupan umat manusia.  Hanya dengan menerapkan sistem ekonomi Islam semata, kesejahteraan dan kemakmuran bisa diwujudkan di tengah-tengah umat manusia. [Gus Syams]

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

5 × two =

Back to top button