Hukum Pidana Islam
Sistem hikum pidana Islam disyariatkan untuk mencegah manusia dari tindak kejahatan. Allah SWT berfirman (yang artinya): Dalam hukum qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian, hai orang-orang berakal, supaya kalain bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 179). Maksudnya, terdapat hikmah yang sangat besar dalam hukum Qishash yaitu mejaga jiwa.1 Artinya, orang yang berakal sehat sadar, jika dia melakukan pembunuhan, dia terancam diberi sanksi berupa hukuman mati, maka dia tidak akan berani melakukan pembunuhan. Di sinilah fungsi pencegahan (zawajir), yakni mencegah manusia dari tindak kejahatan.
Kejahatan adalah perbuatan tercela (al-qabîh), sedangkan yang tercela (al-qabîh) adalah apa aja yang dicela oleh Asy-Syâri’ (Allah). Ketika syariah telah menetapkan suatu perbuatan itu tercela, maka sudah pasti perbuatan itu disebut kejahatan, tanpa memandang lagi tingkat tercelanya. Artinya, tidak lagi dilihat besar kecil kejahatan. Syariah telah menetapkan suatu perbuatan sebagai dosa (dzunûb) yang harus dikenai sanksi. Jadi dosa itu substansinya adalah kejahatan.2
Ragam Bentuk Sanksi Hukum Pidana Islam
- Hudûd.
Hudûd adalah sanksi-sanksi atas kemaksiatan yang telah ditetapkan kadarnya oleh—sekaligus menjadi hak—Allah SWT (Lihat QS al-Baqarah [2]: 187). Termasuk ke dalam hudud yaitu: Had zina, Had liwâth (homoseksual), hûd mendatangi wanita pada duburnya, Had Qadzaf (menuduh wanita baik-baik berbuat zina), Had peminum khamar, Had pencurian, Had pembegal, Had pelaku bughat (pemberontak) dan Had murtad. Dalam hudûd tidak berlaku pemaafan, baik dari hakim maupun si pendakwa. Ini karena hudûd adalah hak Allah. Tidak seorang pun berhak menggugurkan hudûd pada kondisi apapun.
- Jinâyah.
Jinâyah ditujukan atas penganiayaan terhadap badan, yang mewajibkan qishash (balasan setimpal) atau diyat (denda). Penganiayaan ini mencakup penganiyaan terhadap jiwa dan anggota tubuh. Maksud dari jinâyah di sini adalah sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan. Dalam sanksi-sanksi ini terdapat hak manusia. Selama berkaitan dengan hak manusia, maka pemilik hak (shâhib al-haq) boleh memberikan ampunan/permaafan (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 178).
Dorongan dan motivasi untuk memberi maaf diuraikan dalam beberapa Hadis Rasulullah saw. Di antaranya, beliau bersabda, “Tidaklah sesuatu perkara yang di dalamnya terdapat qishash diajukan kepada Rasulullah saw., kecuali beliau memerintahkan untuk memberi maaf.”3
Setiap orang akan berpikir berjuta kali untuk melakukan penganiayaan dan pembunuhan karena ancaman pidananya sangat berat, yaitu qishâsh, atau diyat yang nilainya, sebagaimana riwayat Abdullah bin Amru bin al-Ash, “Untuk pembunuhan seperti sengaja sebesar 100 ekor unta yang 40 ekor adalah unta yang sedang bunting.” Jika diuangkan diyat tersebut dapat mencapai miliaran rupiah.
- Ta’zîr.
Ta’zîr adalah sanksi yang bentuknya tidak ditetapkan secara spesifik oleh Asy-Syâri’. Dalam ta’zîr berlaku menerima pemaafan dan pengguguran oleh hakim. Rasulullah saw. pernah tidak men-ta’zir seseorang yang berkata kepada beliau, “Ini tidak untuk mengharap ridha Allah.” Beliau memaafkan dia. Padahal orang yang mengucapkan itu telah terjerumus dalam kemaksiatan yang berhak untuk dikenai sanksi.
Bentuk kejahatan yang termasuk dalam ta’zir adalah: pelanggaran terhadap kehormatan (seperti perbuatan cabul), pelanggaran terhadap harga diri, perbuatan yang membahayakan akal, pelanggaran terhadap harta seperti (penipuan, penghianatan amanah harta, penipuan dalam muamalat, pinjam tanpa ijin, gangguan keamanan, mengganggu keamanan negara, perbuatan yang berhubungan dengan agama, dan jenis ta’zir lainnya.4
Hukuman ta’zir ini diserahkan kepada penguasa/hakim yang pidananya boleh sama dengan sanksi dalam hudûd dan jinâyat atau lebih rendah, yang penting tidak boleh melebihi dari keduanya.
- Mukhâlafât.
Mukhâlafât adalah sanksi yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasa baik perintah kepala negara (khalifah), para pembantunya, wali, amil, atau orang-orang yang aktivitasnya berkaitan dengan kekuasaan. Perintah mentaati penguasa sangat jelas dalam al-Quran (LIhat QS an-Nisa’ [4]: 59). Begitunya dalam banyak hadis. Pelanggaran terhadap perintah penguasa dikenakan sanksi, bentuk sanksinya diserahkan kepada hakim (qadhi). Sebagian para fukaha memasukan mukhâlafât ke dalam bab ta’zîr karena mukhâlafât adalah sanksi atas kemaksiatan yang belum ditetapkan kadarnya oleh Asy-Syâri’.5
Penerapan Sanksi (‘Uqûbât)
- Had Zina.
Zina bisa dilakukan oleh mereka yang muhshân, yaitu mereka yang telah menikah dengan ikatan nikah yang sah, merdeka, balig dan berakal. Pelaku mengerjakan atas pilihannya sendiri. Tidak dipaksa dengan pemaksaan dengan pemaksaan yang dapat membahayakan jiwa atau anggota tubuh (mulji). Telah baligh dan berakal, dengan demikian tidak ada sanksi (had) bagi anak kecil, orang gila dan mabuk; juga bukan karena keinginannya. Zina bisa juga dilakukan oleh yang belum menikah, yaitu ghayr muhshân. Jadi kasus kumpul kebo dua pasangan yang tidak menikah termasuk dalam zina.
Penjatuhan had tidak dilakukan terhadap mereka yang sakit, maka sanksinya ditindak sampai ia sembuh dari sakitnya. Ini jika kesembuhannya dapat diharapkan. Jika kesembuhannya tidak dapat diharapkan, ia dipukul dengan pukulan yang ringan yang mampu ia tanggung. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah dalam hadis dari Abu Umamah bin Sahal dari Said bin Ubadah, “Ya. Rasulullah, lelaki itu sangat lemah. Andai kami memukul dia 100 kali, dia akan mati.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Ambillah pelepah kurma yang di dalamnya terdapat 100 buah tangkai, kemudian pukullah dia sekali pukulan…Laksanakan!”
Tindak pidana zina tidak dalam bentuk delik aduan yaitu delik yang baru dapat diproses jika ada pengaduan dari suami/isteri, orangtuanya, anaknya, seperti dalam RKUHP.
Pembuktian zina ada tiga: Namun demikian, cukup salah satu dari tiga bukti tersebut, maka pelaksanaan had dapat dilaksanakan. Pertama: Bukti berupa pengakuan pezina secara jelas dan meyakinkan. Kedua: Perzinaan harus disaksikan (di tempat yang sama pada saat itu juga) oleh empat orang lelaki Muslim yang adil dan menyaksikan perzinaan itu dengan jelas (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 15). Ketiga: Hamil, yakni terjadi kehamilan. Jika seorang wanita hamil, sementara dia tidak memiliki suami, maka ia harus dikenai had zina. Inilah pendapat sahabat, dan tidak ada yang mengingkari, padahal mereka dapat mengingkarinya. Dengan demikian hal ini termasuk Ijmak Sahabat. Namun demikian, kondisi hamil tidak secara langsung mengharuskan pelaksanaan had saat itu juga. Harus ditunggu sampai melahirkan. Setelah itu ditunggu lagi sampai selesai masa menyusui. Akan tetapi, jika kehamilannya akibat masuknya sperma ke farjinya tanpa perzinaan, baik karena perbuatannya maupun perbuatan orang lain, atau atau karena dipaksa untuk berzina dengan paksaan yang berat (perkosaan) atau sebab lain kehamilan yang menjadikannya subhat, maka had kepada dia dibatalkan dan tidak dijatuhkan.6
- Had Pencurian.
Terkait had pencurian, ada 7 syarat yang menjadikan had potong tangan bias diberlakukan atas pencuri. Pertama: Perbuatannya masuk dalam definisi pencurian, yaitu mengambil barang secara sembunyi-sembunyi atau tertutup. Kedua: Harta yang dicuri mencapai nishab yaitu seperempat (1/4) dinar emas. Ketiga: Harta yang dicuri berupa harta yang terjaga, yang diijinkan oleh Asy-Syâri’ (Allah) untuk dimiliki. Misalnya mencuri sesuatu yang bukan berupa harta atau tidak dianggap sebagai harta, atau mencuri khamar milik seorang Muslim, maka tidak dipotong tangannya, karena seorang Muslim haram memiliki khamar. Namun, jika pelaku mencuri khamar milik non-Muslim, maka tetap dia dijatuhi had potong tangan karena non-Muslim diijinkan memiliki khamar. Keempat: Pencuri mengeluarkan barang curiannya dari tempat penyimpanan. Jadi seseorang yang mencuri dari tempat yang pintunya terbuka, atau tidak dikunci, tidak dapat dikenai had potong tangan. Hanya saja, sanksi lain bias dikenakan. Dapat berupa denda dua kali lipat atau sanksi lainnya yang bukan potong tangan. Kelima: Harta yang dicuri bukan harta syubhat. Misalnya pencurian oleh ayah/ibu atau anak, karena ada hak waris di dalamnya. Keenam: Pencurinya telah baligh, berakal dan terikat dengan hukum-hukum Islam, baik Muslim maupun ahludz-dzimmah. Ketujuh: Ditetapkan atas dasar pengakuan pencuri atau dengan dua saksi yang adil. Jadi apabila pencurian seperti kasus buah kakao, setandan pisang kapok, sebutir buah semangka, sepasang sandal jepit tidak dapat dikenai had potong tangan. Bahkan kalau pencurian dilakukan karena kelaparan atau pada muslim paceklik, maka tidak dapat dijatuhi had potong tangan. Negara bahkan wajib memberikan makanan yang diambil dari Baitul Mal.
Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian (Ahkâm al-Bayyinât) sama seperti halnya hukum-hukum Islam yang lain. Ia merupakan hukum syariah yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci. Bayyinât (pembuktian) kadang-kadang terjadi pada kasus pidana (‘Uqûbât), kadang-kadang pada kasus perdata (muamalah). Namun demikian, para ulama fikih tidak membedakan hukum-hukum bayyinât dalam perkara muamalah dengan hukum bayyinât dalam perkara ‘Uqûbât. Semuanya dibahas dalam kitab Asy-Syahadat (kitab tentang kesaksian). Sebagiannya digabung dalam kitab Al-Aqdhiyyah (kitab peradilan). Sebagiannya lagi dalam kitab Ad-Da’âwiy wa al-Bayyinât (kitab Tuduhan dan Pembuktian).
Bukti (bayyinât) adalah semua yang bisa membuktikan sebuah dakwaan. Bukti merupakan hujjah bagi orang yang mendakwa atas dakwaannya. Macam-macam bukti berupa pengakuan, sumpah, kesaksian, dan dokumen-dokumen tertulis yang meyakinkan.7
Adapun tingkat peradilan hanya satu yaitu pertama dan terakhir. Jadi dalam sistem Islam tidak mengenal upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali. Seorang hakim dengan sistem pembuktian di atas, sangat sulit melakukan kekeliruan dalam memutus perkara. Karena sistem pembuktian yang sangat formal atau mengedepankan legalitas, maka hakim sangat meyakini dengan bukti-bukti yang ada disampaikan kepada dia.
Keteladanan dalam Peradilan
Dalam hal penegakan hukum, Rasulullah saw. telah memberikan teladan sebagai seorang pemimpin yang menegakkan hukum dengan adil. Penegakan hukum tanpa pandang bulu. Asiyah ra. menceritakan: Sungguh orang-orang Quraisy mengkhawatirkan keadaan (nasib) wanita dari Bani Makhzumiyyah yang (kedapatan) mencuri. Mereka berkata, “Siapa yang bisa melobi Rasulullah saw.?” Mereka menjawab, “Tidak ada yang berani kecuali Usamah bin Zaid yang dicintai oleh Rasulullah saw.” Usamah pun melobi Rasulullah saw. (untuk meringankan atau membebaskan si wanita tersebut dari hukuman potong tangan). Rasulullah saw. kemudian bersabda, “Apakah engkau akan memberi pertolongan berkaitan dengan hukum Allah?” Beliau lalu berdiri dan berkhutbah, “Wahai manusia, sungguh yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum). Namun, jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
WalLâhu a’lam. [Dr. Mispansyah, S.H.,M.H.; Ketua Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI) Daerah Kalimantan Selatan]
Catatan kaki:
1 Abdurrahman al Maliki.1990. Nidzam al-Uqubat. Beirut Libanon: Dar al-Ummah. hlm. 5-6.
2 Ibid. hlm. 2-3.
3 Ibid. hlm. 13-15.
4 Ibid. hlm. 219-287.
5 Ibid. hlm 288-390.
6 Ibid. hlm. 45.
7 Ibid. hlm. 303-412.