Afkar

Narasi Anti Islam Di Balik Tudingan Terhadap Khilafah

Perang narasi sangat kuat terasa dalam setiap sidang gugatan HTI di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) beberapa bulan terakhir. HTI menggugat keputusan Menkumham RI karena membubarkan organisasi dakwah ini secara sepihak dan tanpa dialog.  Pihak Pemerintah yang diwakili saksi-saksi ahli yang ditunjuk oleh Kemenhukam RI beradu argumen dan opini dengan pihak HTI yang juga menghadirkan saksi-saksi ahli yang kompeten dan mukhlish. Perang narasi ini menjadi menarik untuk disimak karena sebelumnya HTI dibubarkan tanpa diberi kesempatan untuk berdialog.

 

Tendensius dan Kental dengan Agenda Asing

Narasi bahwa Khilafah mengancam negara pada awalnya dilempar di persidangan oleh I Wayan Sudirta, advokat Kemenhukam RI. Ia menyatakan bahwa HTI layak dibubarkan karena membawa ide Khilafah yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Bangunan narasi anti-Khilafah ini juga dilengkapi oleh tudingan Ansyaad Mbai, mantan Ketua BNPT, di sidang PTUN dalam posisinya sebagai saksi ahli Pemerintah awal Maret lalu. Bahkan ia memfitnah HTI dengan menyimpulkan semua pelaku bom yang bertujuan ingin menegakkan Khilafah ada kaitannya dengan HTI.

Mbai jelas berusaha mengait-kaitkan aktivitas HTI yang anti-kekerasan dengan terorisme melalui narasi counter-terrorisme usang. Ia menuding ideologi HTI menginspirasi gerakan teror. Pernyataan ini langsung ditanggapi pihak HTI sebagai upaya fitnah yang sangat kasar.

Upaya gegabah Ansyaad Mbai tidak lepas dari tendensinya mengelompokkan HTI sebagai kelompok teror atau setidak-tidaknya menginspirasi terorisme. Menurut Mbai, definisi terorisme adalah ideologically and politically motivated violence. HTI yang identik dengan kampanye ide Khilafah dianggap sebagai ancaman bagi NKRI, ancaman bagi negara. Sikap merasa terancam ini mirip dan memiliki sense of identity yang sama dengan narasi usang para petinggi negara Barat: “Tidak boleh ada negosiasi mengenai pembentukan kembali Khilafah. Tidak boleh ada negosiasi mengenai penerapan hukum syariah.” (Charles Clark, British Home Secretary, 2004-2006).

Pemimpin pasukan koalisi Salib yang bergabung di Iraq, Richard Myers, mengatakan, “Bahaya sejati dan terbesar yang mengancam keamanan Amerika Serikat (AS) sesungguhnya adalah ekstremisme yang bercita-cita mendirikan Khilafah sebagaimana pada abad ketujuh Masehi. Kelompok ekstremis ini telah tersebar di berbagai wilayah yang justru lebih banyak daripada di Irak.”

Selain usang narasi ini juga sangat berat sebelah. Narasi ini menutup mata pada operasi teror yang lebih massal dan telanjang dilakukan oleh negara-negara besar teroris seperti Israel, AS, Rusia, atau Eropa terhadap Palestina, Afghanistan, Irak, Suriah dan banyak lagi.

Walhasil, proyek kontraterorisme di Indonesia yang dipelopori Ansyad Mbai menjadi sangat bias. Kategori teroris dan terorisme hanya dilabelkan pada Islam. Sebaliknya, kejahatan yang sama, yang dilakukan oleh gerakan lain tidak dikategorikan teroris walaupun memakan banyak korban. Misalnya pembakaran masjid di Tolikara (2015); juga gerakan separatis Papua yang menewaskan sejumlah polisi, tentara dan masyarakat sipil. Belum lagi intimidasi golongan Hindu radikal di Bali. Paradigma Densus 88 maupun BNPT tentang teroris dan terorisme tampak sangat condong pada agenda Barat. Deradikalisasi dilakukan secara sepihak dan berat sebelah serta semakin menegaskan bahwa ini adalah proyek islamophobia.

Narasi Ansyad Mbai ini juga tidak bisa kita lepaskan dari konteks politik global sebagai kiblat utama proyek kontra terorisme yang digawangi Amerika Serikat. Lima belas tahun lebih Amerika telah meluncurkan Global War on Terror. Ini menjadi perang terlama yang pernah dilakukan oleh Amerika Serikat. Hampir lima trilun dolar sudah dikeluarkan dan dikucurkan ke negeri-negeri Muslim, namun tak membawa hasil.

Di bawah kepemimpinan Donald Trump proyek global kontraterorisme telah memasuki babak baru. Di malam inagurasinya ia menegaskan bahwa musuh utamanya adalah Islam radikal, bukan lagi teroris ataupun ekstremis. Islam radikal bagi Trump adalah siapapun dari umat Islam yang meyakini supremasi hukum Islam di atas nilai-nilai dan konstitusi yang lain. Fokus AS dan usaha kontraterorisme internasional pun bergeser. Mereka memberikan perhatian yang sangat besar pada sisi yang ‘lebih lunak’ dalam perang melawan terorisme, yakni deradikalisasi. Karena itulah hari ini Islam radikal harus dibungkam, ide Khilafah harus dikriminalisasi dan pembubaran HTI akhirnya menemukan relevansi yang sangat kuat dengan agenda AS ini.

 

Westernisasi Intelektual

Salah satu narasi yang paling ajaib dalam sidang PTUN adalah argumen dari Prof. Dr. Yudian Wahyudi menyebut Presiden Amerika Donald Trump sebagai khalifah. Rektor UIN Sunan Kalijaga ini menjadi ahli dari Pemerintah dalam sidang gugatan HTI kepada Menkumham di PTUN pada 8 Maret 2018. Apa alasan Trump bisa disebut sebagai khalifah? Menurut dia, konsep khalifah terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 30. Dalam ayat tersebut, Adam bisa menjadi khalifah karena memenuhi dua kualifikasi. Pertama, memiliki pengetahuan tentang nama-nama. Ini adalah keahlian dan profesionalisme. Kedua, dia menang tanding atas para malaikat. Ditegaskan oleh dia, bahwa konsep khalifah menurut al-Quran ini tidak menetapkan syarat agama.

Pernyataan sang Profesor ini lantas mendapat bantahan tegas dari Ustadz Rokhmat S Labib. Kesalahan utama Prof. Yudian tentang Khilafah menurutnya adalah keengganannya untuk merujuk kepada hadis. Di awal presentasinya, dia mengatakan bahwa khilafah tidak ada dalam al-Quran. Yang ada adalah khalifah. Ini jelas merupakan kesalahan fatal. Pasalnya, dalil tentang Khilafah itu amat banyak dalam hadis. Apalagi penjelasan para ulama tentang khilafah justru tidak banyak merujuk kepada ayat tersebut.

Di luar dari pembahasan lebih lanjut soal substansi logika sang profesor, akhirnya perlu juga kita melihat identitas pemikiran dan latar belakang pendidikannya. Ada fenomena sistematis yang lebih serius terjadi, yakni pembaratan pendidikan Islam di Indonesia. Latar belakang sang profesor yang merupakan lulusan Harvard AS dan McGill Kanada, tidak bisa tidak, mengarahkan pada satu indikasi westernisasi pemikiran para intelektual Muslim. Sejak enam dekade terakhir tren belajar Islam secara formal di Indonesia beralih kiblat dari negara-negara Timur Tengah mengarah ke negara-negara Barat. Barat tidak hanya menghegemoni penguasaan sains dan teknologi, tetapi juga merambah ke bidang pemikiran Islam. Peminatnya dari tahun ke tahun terbilang semakin banyak, terutama kalangan mahasiswa-mahasiswa Muslim yang belajar di perguruan tinggi Islam.

Bahkan Kementerian Agama RI berkomitmen untuk semakin meningkatkan kerjasama di bidang pendidikan tinggi Islam dengan Pemerintah Kanada khususnya dalam proyek yang digagas Pemerintah Kanada sejak 2011, yakni Supporting Islamic Leadership in Indonesia/Local Leadership for Development (SILE/LLD). Kerjasama Kementerian Agama dengan Pemerintah Kanada dalam bidang pendidikan telah melewati sejarah panjang. Ratusan doktor dalam bidang Islamic Studies serta ilmu-ilmu sosial dan humaniora telah dihasilkan berkat kerjasama yang sudah dimulai sejak tahun 1950-an. Setiap periode tertentu, Pemerintah Kanada dengan Pemerintah Indonesia mempertahankan pola kemitraan tersebut meski dengan nomenklatur dan fokus yang berbeda (Kemenag.go.id, Januari 2017).

Dari data Direktorat Perguruan Tinggi Islam Departemen Agama tahun 2005, pengiriman mahasiswa untuk belajar Islam ke negeri Barat dimulai pada tahun 1950-an. Jumlah mahasiswa yang berangkat berjumlah tiga orang, yaitu: Harun Nasution, Mukti Ali dan Rasyidi. Ketiga orang tersebut belajar di McGill’s Institute of Islamic Studies (MIIS), Kanada. Sekarang perkembangannya jauh lebih besar dan lebih dasyat. Umumnya sebagian lulusan studi Islam di Barat terpengaruh gaya berpikir ala Barat yang liberal dan sekuler. Untuk tahun 2015 saja, Kementerian Agama telah mengirim 82 orang dosen di PTAI ke luar negeri dengan rincian 54 pria dan 28 wanita, namun lebih didominasi oleh perguruan tinggi Eropa daripada perguruan tinggi Islam yang berada di Timur Tengah.

Sebenarnya telah terjadi sebuah proses liberalisasi secara sistematis terhadap Perguruan Tinggi Islam. Itu diakui sendiri oleh para pelaku dan pengambil kebijakan dalam Pendidikan Islam. Simaklah sebuah buku berjudul: IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2002). Buku ini diterbitkan atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama. Dalam buku ini diceritakan sejarah perubahan kampus IAIN, dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis yang berkiblat ke Barat.

Lutfie Assyaukanie dari aktivis Islam Liberal (JIL) pernah berkata, “Asyiknya belajar Islam di Barat.” Inilah yang dikritik tajam oleh Dr. Syamsudin Arif yang menyatakan jika ingin mempelajari seluk-beluk ajaran Islam secara serius lagi mendalam, dengan tujuan menjadi ulama pewaris nabi dalam arti yang sesungguhnya, maka universitas-universitas di Barat bukanlah tempatnya. Bagaimana mungkin seorang yang tidak mengimani Allah dan Hari Akhir, tidak pernah bersuci, tidak pernah shalat, disebut ahli hadis, ahli tafsir, ahli fikih? Bagaimana mungkin orang yang seumur hidupnya dalam keadaan junub disejajarkan dengan Imam Syafii, Imam Ahmad atau Imam al-Ghazali?

 

Menyerang Islam Melalui Isu Perempuan

Salah satu narasi anti-Khilafah yang juga tidak kalah menarik adalah klaim bahwa ajaran Khilafah itu diskriminatif terhadap perempuan. Hal ini diungkap oleh Kuasa hukum Menteri Hukum dan HAM, I Wayan Sudirta pada sidang PTUN 22 Februari. Ia menegaskan makna khilafah yang dipercaya HTI tidak dapat disandingkan dengan NKRI. Sebabnya, dalam makna khilafah yang diyakini HTI, tidak ada pemimpin seorang wanita sehingga menjadikan tatanan kehidupan menjadi diskriminatif. Hal ini dibantah tegas oleh Jubir HTI, Ismail Yusanto. Tentang ketidakbolehan wanita menjadi khalifah juga ditegaskan oleh saksi ahli Prof. Didin Hafidzudin dalam sidang PTUN karena memang demikian ketentuan syariah Islam. Tidak bisa lantas disebut itu diskriminatif.

Isu hak-hak perempuan memang sering dijadikan oleh media sekular untuk menyerang ajaran Islam. Ide feminisme mereka kemas melalui kampanye “kesetaraan gender”. Logika bahwa Islam mengajarkan diskriminasi terhadap perempuan jelas menyesatkan dan menunjukkan kebodohan terhadap ajaran Islam dan konsepsi Khilafah. Wayan Sudirta sebagai advokat non-Muslim tampaknya perlu banyak belajar lagi soal Islam. Ia uga perlu diingatkan bahwa koleganya sendiri (Prof. Yudian) justru melakukan praktik diskriminasi terhadap Muslimah bercadar di kampus UIN Sunan Kalijaga karena ketakutan terhadap radikalisme Islam. Meski belakangan dicabut, ini menunjukkan bahwa praktik diskriminasi itu bukan dibahanbakari ajaran Islam melainkan justru narasi radikalisme yang diimpor dari Barat yang menindas dan mendiskriminasikan hak mahasiswi Muslim untuk kuliah. Ini persis seperti fenomena di Prancis dan negeri Eropa lainnya.

Lalu apakah ada hubungannya antara posisi perempuan sebagai kepala negara dengan jaminan keadilan dan kesejahteraan kaum perempuan, seperti sering digemborkan oleh kaum feminis? Tidak ada hubungannya. Faktanya, di dalam sistem demokrasi kapitalis kepemimpinan politik perempuan sebagai kepala negara tidak menjamin hak-hak kaum perempuan terhadap keadilan dan kesejahteraan terpenuhi. Ini bisa kita lihat di India, Pakistan, Bangladesh, Indonesia dan Turki. Di sana status keamanan dan standar kehidupan perempuan di negara-negara tersebut tidak membaik. Di bawah Benazir Bhutto, bukan perempuan Pakistan yang mendapat keuntungan dari kepemimpinannya, tetapi dirinya dan keluarganya. Mereka mengumpulkan aset sebesar $ 1,5 miliar dari kekayaan negara selama masa jabatannya, sementara jutaan perempuan jelata berjuang untuk kebutuhan dasar. Di Bangladesh, sebuah negara yang telah berada di bawah kekuasaan dua wanita selama dua dekade terakhir, jutaan perempuan terus mengalami kemiskinan, pelecehan, eksploitasi dan pelecehan yang berada pada proporsi epidemi di dalam masyarakat. Tidak berbeda jauh saat Indonesia dipimpin oleh Megawati.

Jadi jelas, persoalannya ada pada sistem. Sistem dan undang-undang buatan manusia yang berlaku saat ini sangat korup, tidak kompeten dan menindas perempuan, berbasis pada ideologi kapitalis sekuler yang mendukung orang kaya dan berkuasa atas masyarakat umum. Sistem ini mengkonsen-trasikan kekayaan di tangan beberapa orang dan memiskinkan rakyat secara massal. Sistem ini pun memberi nilai lebih pada dolar daripada martabat perempuan. Karena itu siapapun jenis kelaminnya yang memimpin negara tidak akan pernah membawa perubahan pada nasib kaum perempuan.

Jangan sampai pihak Kemenhukam RI juga menderita rabun kronis yang membutakan mereka terhadap kanker yang ada dalam masyarakatnya sendiri. Menuding Khilafah tetapi lupa berkaca pada problem riil yang dihadapi akibat gempuran budaya Barat sekuler. Menganggap Khilafah ancaman NKRI tetapi menutup mata pada bahaya kuning dari Utara yang menghegemoni perdagangan dan ekonomi. Menuding Khilafah mendiskriminasi perempuan tetapi ‘gagal paham’ terhadap akar masalah kekerasan yang justru datang dari pola pikir liberal dan ide kebebasan ala Barat. Pandangan liberal inilah yang menciptakan masyarakat yang mengorbankan kehormatan dan keselamatan perempuan.

Sesumbar I Wayan Sudirta ini tak lebih merupakan bagian dari teater opini murahan kaum sekular dan jaringan media liberalnya. Mereka lebih bernafsu menuding Khilafah dan menyerang syariah Islam dibandingkan memperbaiki nasib jutaan perempuan Indonesia. Mereka lebih peduli pada terampasnya hak segelintir perempuan mengendarai mobil di Saudi, tapi mendiamkan diskriminasi dan kriminalisasi massal pada perempuan Muslim di negerinya. Mereka juga lebih tertarik pada hak pendidikan Malala di Afganistan, namun menutup mata pada ratusan korban anak-anak Muslim Afganistan akibat serangan pesawat Drone NATO. Mereka memilih untuk terus mengkampanyekan bahwa perda syariah mendiskriminasi perempuan Indonesia dibandingkan memikirkan solusi untuk jutaan perempuan Indonesia yang teramputasi haknya untuk mendapat sesuap nasi hingga tereksploitasi menjadi jutaan TKW di negeri orang. Munafik.

 

Fika Komara: Aktivis, Penulis, Ibu Rumah Tangga. Bekerja di  Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir

 

Referensi:

Jurnal Syamina, Deradikalisasi: Upaya untuk Membunuh Ide,  Edisi XVII / Januari-Februari 2015, www.syamina.org

Fika Komara, Kurikulum Pendidikan Sekuler Melahirkan Kaum Munafik Di Tengah Umat (Studi Kasus: Indonesia), 2017

Nazreen Nawaz, Increasing Female Representation in Parliaments and Governments Does Not Translate into Improved Lives for Ordinary Women, 2013

www.mediaumat.news

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 − 13 =

Back to top button