Baiti Jannati

Membentuk Generasi Pejuang

Ruh perjuangan adalah perkara yang harus senantiasa ada pada setiap generasi.  Keberadaannya akan meniscayakan penjagaan atas penegakan al-haq yang menjadi tuntutan risalah Islam.  Sebaliknya, penerapan syariah Islam akan terancam ketika semangat perjuangan ini melemah.  Bagaimana gambaran generasi pejuang? Bagaimana peran keluarga dalam melahirkan generasi pejuang?

 

Profil Generasi Pejuang

Generasi pejuang adalah generasi yang memiliki karakter khas. Hal ini tercermin dari visi dan misi hidupnya sebagai hamba Allah SWT (QS adz-Dzariat [51]: 56), yakni hidup untuk semata beribadah kepada Allah SWT. Untuk mengemban visi-misi hidup yang mulia ini dibutuhkan profil yang mulia pula. Di antaranya: Pertama, memiliki keimanan yang kokoh.  Iman adalah dasar dari amalan.  Tidak akan diterima amal apapun tanpa dilandasi dengan keimanan yang benar (QS Ali Imran[3]: 85).

Kedua, penguasaan ilmu dan tsaqaafah yang mumpuni.  Tanpa ilmu kita tidak mungkin mengerjakan amal kebaikan. Ali-alih mendapat balasan pahala, yang terjadi justru penyesalan dan kepayahan, sebagaimana digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya (QS al-Ghashiyah [88]: 1-4).

Ketiga, konsisten antara ilmu dan amal.  Generasi pejuang adalah generasi yang rajin menuntut ilmu, juga semangat menambah amal kebaikan.

Keempat, memahami bahwa Islam harus diterapkan dan diperjuangkan.  Generasi pejuang adalah mereka yang memahami Islam sebagai panduan kehidupan.  Islam sebagai rahmat (QS al-Anbiya’ [21]: 107).  Mereka pun memahami bahwa tegaknya Islam harus diperjuangkan dan mereka termasuk yang berkewajiban berada dalam barisannya (QS ash-Shaf [61]: 4).

Kelima, menguasai perkembangan politik kekinian. Generasi pejuang adalah mereka yang senantiasa update peristiwa politik.  Mereka pun mengetahui analisis politiknya sehingga bisa memberikan sikap yang tepat. Berjuang tanpa menguasai perkembangan  dan konstelasi politik, ibarat pergi berperang tanpa memahami medan dan tidak dibekali dengan senjata yang tepat.

Keenam, menghiasi diri dengan karakter pejuang (tangguh, berani, keyakinan kuat, dll). Pejuang bukanlah pecundang yang akan lari dari medan perang; tidak berani menyampaikan kebenaran ketika tekanan dan kesulitan mengancam; mudah berbelok arah manakala ada iming-iming dan harapan yang menggiurkan.

Pejuang adalah orang yang maju ke medan tempur karena dasar iman.  Istiqamah dalam ketaatan pada syariah.  Berani dalam kebenaran apapun risikonya, karena yakin atas pertolongan Allah serta berada dalam contoh Rasulullah saw.  Tetap kokoh memegang misi perjuangan karena hanya dengan itulah kemuliaan hidup akan didapatkan.  Demikianlah gambaran nyata sosok itu hadir dalam kehidupan para pejuang Islam, seperti Mushab bin Umair atau Muhammad al-Fatih.

 

Peran Utama Keluarga

Generasi berkarakter pejuang tidak akan datang begitu saja. Perlu upaya untuk melahirkannya.  Keluarga merupakan institusi yang memiliki peran penting. Karena itu keluarga muslim harus memahami peran tersebut agar mampu melaksanakannya dengan optimal. Peran tersebut adalah upaya untuk membentuk profil generasi pejuang yang mencakup: Pertama, pengokohan keimanan atas kebenaran Islam. Generasi Islam harus benar-benar meyakini bahwa selain Islam adalah salah dan menyesatkan.  Hanya Islam yang menjamin kebahagiaan serta kesejahteraan hidup di dunia dan memberikan keselamatan di akhirat kelak. Tanpa Islam, manusia, hewan, tumbuhan, dan alam sekitar akan rusak.  Di akhirat sudah pasti merugi, sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam QS Ali Imran [3]: 85. Keyakinan ini akan menjadi benteng dari berpaling pada selain Islam.

Kedua, penanaman ilmu dan tsaqaafah yang dibutuhkan.  Islam tidak memisahkan antara keyakinan dan amalan.  Islam menentang sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan.  Islam justru memadukan keimanan dengan ketaatan.  Banyak nash yang menyatukan antara iman dengan amal shalih. Di antaranya adalah QS al-’Ashr. Orang yang beruntung adalah orang yang beriman dan beramal shalih. Amal shalih yang akan diterima oleh Allah SWT adalah perbuatan yang didasari iman dan keihlasan semata karena-Nya (QS al-Bayyinah [98]:5). Juga dilakukan sesuai dengan contoh Rasulullah saw.,

“Siapa saja yang melakukan amalan yang tidak termasuk dalam urusan agama kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR Muslim).

Dengan ilmu, mereka akan mengetahui perkara mana yang diperintahkan Nabi saw. dan hal-hal apa saja yang dilarang beliau.  Tanpa penguasaan ilmu yang cukup, boleh jadi generasi umat akan terjerumus pada perbuatan yang diharamkan. Sebaliknya, mereka  meninggalkan perkara yang diwajibkan.

Ketiga, membangun konsistensi antara iman, ilmu dan amal.  Muslim yang baik bukanlah orang yang kuat dalam keimanan dan mumpuni dalam keilmuan semata. Mereka juga bisa membuktikan keimanannya dalam wujud amalan dan mampu menundukkan hawa nafsunya dalam wujud ketundukan pada aturan yang sudah dicontohkan Baginda Rasulullah saw.

Membentuk konsistensi perlu komitmen dari orangtua untuk istiqamah dalam melaksanakan aturan yang sudah diajarkan dan ditetapkan.   Tidak boleh sedikit pun orangtua abai terhadap penerapan aturan ini, baik aturan syariah maupun aturan yang hasil kesepakatan (misalnya SOP bermain, SOP makan, tidur, dll).  Orangtua dilarang membiarkan terjadinya pelanggaran, misalnya anak tidak mau shalat, enggan menutup aurat, atau bermain dengan tidak memperhatikan waktu yang sudah disepakati.  Tentu saja di sini orangtua perlu memastikan sejauh mana pemahaman anak terkait ilmu, pengetahuan dan aturan tersebut.  Konsekuensi pelanggaran karena tidak paham, berbeda dengan sanksi yang diberikan terhadap anak yang sudah paham dan sengaja melanggar.

Keempat, memberi pemahaman bahwa Islam adalah ideologi.  Dominasi Kapitalisme-sekularisme telah menorehkan jejak hitam pada generasi.  Mereka masih meyakini Islam sebagai agamanya, namun menjauhkan aturan Islam dari kehidupannya.  Mencukupkan diri dengan pelaksanaan aturan terkait ibadah, namun tidak mempedulikan pelaksanaan muamalah, akhlak, maupun siyasah.  Padahal Rasulullah saw. dan para Sahabat beliau mencontohkan bahwa Islam menuntut pemeluknya untuk menerapkan Islam dalam setiap aspek kehidupan, baik terkait individu, keluarga, aturan kemasyaratan yang diterapkan oleh negara, juga terkait hubungan dengan bangsa lain yang tertuang dalam politik luar negeri.

Kelima, menjelaskan kepada anak bahwa memperjuangkan tegaknya Islam adalah kewajiban setiap Muslim.  Anak harus memahami bahwa tegaknya kembali Islam secara kaaffah dalam wujud institusi negara adalah sesuatu yang pasti terjadi karena merupakan janji Allah SWT dan bisyaarah Rasulullah saw.  Namun, realisasinya membutuhkan upaya untuk mewujudkannya.  Upaya ini dibebankan pada semua umat Islam (QS Ali Imran [3]: 104).

Keenam, mengajari realitas politik kekinian. Sekarang ajaran Islam dan umatnya sedang dipersekusi.  Berbagai tuduhan dan istilah buruk disematkan (seperti radikalisme, terorisme, ekstremisme dan gelar lain yang memiliki tujuan sama). Tujuannya untuk menjauhkan Islam dari kehidupan.  Di sisi lain penyebaran pemikiran sesat pun terus dimassifkan, seperti sekularisme, liberalisme, kapitalisme. Bahkan filsafat yang menjadikan karakter generasi Muslim melemah.  Berbagai upaya mereka lakukan untuk menjegal perjuangan Islam (QS al Baqarah [2]: 120).  Bahkan kebencian yang mereka sembunyikan lebih besar lagi (QS Ali Imran [3]: 118).  Yang menjadi sasaran utama pemikiran sesat ini adalah mereka, generasi muda.  Realitas inilah yang harus dijelaskan pada generasi umat.

Kesadaraan ini akan menjaga mereka tidak masuk ke dalam jebakan musuh yang akan memalingkan mereka dari misi perjuangan  Sebaliknya, mereka mengambil peran strategis memberikan kontribusi optimal dalam perjuangan.

Ketujuh, menanamkan keyakinan bahwa janji Allah itu pasti.  Sistem Islam akan tampil kembali untuk memimpin dunia (QS an-Nur [24]: 55).  Keyakinan ini akan melahirkan karakter pejuang yang kuat sekalipun ancaman dan kesulitan terus menghadang.

 

Penutup

Melahirkan generasi pejuang adalah keniscayaan dan amanah kehidupan agar tegaknya ajaran Islam kembali bisa direalisasi-kan. Peran keluarga dalam memberikan pendidikan adalah keniscayaan. Namun, peran lain yang yang juga dibutuhkan adalah membe-rikan keteladanan, yakni menjadi orangtua yang terdepan dalam barisan perjuangan.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Dedeh Wahidah Achmad]

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

two × 3 =

Back to top button