Baiti Jannati

Suami Wajib Menafkahi Keluarga

Islam menempatkan pernikahan sebagai sesuatu yang agung dan mulia. Menikah adalah ibadah yang ditandai dengan sebuah akad yang disebut dalam al-Quran sebagai Mitsaqan Ghalizhan (perjanjian berat) (lihat QS an-Nisa’ [4]: 21).

Menikah melahirkan sejumlah hak dan kewajiban. Menikah akan menjadi tidak harmonis ketika suami atau istri hanya menuntut hak dengan melupakan kewajiban. Karena itu penting bagi keduanya menunaikan kewajiban sepenuh hati. Niscaya hak akan otomatis terpenuhi.

Salah satu kewajiban yang Allah SWT telah bebankan kepada para suami adalah bertanggung jawab mencari nafkah.  Allah SWT berfirman:

وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

Kewajiban bapak memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya…. (QS al-Baqarah [2]: 233).

 

Nabi Muhamad  Saw juga bersabda:

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَه

Cukuplah seorang Muslim berdosa jika tidak mencurahkan upayanya untuk menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya (HR Muslim).

 

Hanya saja, sekalipun suami punya kewajiban menafkahi keluarga, ia juga memiliki kewajiban menafkahi dirinya sendiri. Di dalam Kitab An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, Syaikh Taqyuddin an-Nabhani menjelaskan, Islam melarang tindakan seseorang yang kikir (taqtir) kepada dirinya sendiri serta  menahan diri dari kenikmatan yang dibolehkan syariah (lihat: QS al-Isra’ [17]: 29; QS al-Furqan [25]: 67; QS al-A’raf [7]: 32).

Islam menetapkan agar seseorang menafkahi dirinya sendiri, baru kemudian menafkahi keluarganya. Jabir ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Mulailah dari dirimu. Karena itu nafkahilah dirimu. Jika ada suatu kelebihan, berikan kepada keluargamu. Jika masih ada sisa suatu kelebihan (setelah memberi nafkah), berikan kepada kerabat dekatmu…” (HR Muslim).

 

Batasan Nafkah yang Layak

Nafkah yang wajib dipenuhi oleh suami sesuai dengan standar urf (kebiasaan) masyarakat setempat, yang disesuaikan dengan kemampuannya. Ini sebagaimana dijelaskan di dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir saat menafsirkan QS al-Baqarah [2] ayat 233 (yang artinya): Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Maknanya: Diwajibkan atas orangtua si anak (ayah) memberikan nafkah dan sandang ibu-anaknya dengan cara yang makruf, yakni menurut tradisi yang berlaku bagi semisal mereka di negeri yang bersangkutan tanpa berlebih-lebihan, juga tidak terlalu minim. Hal ini disesuaikan dengan kemampuan pihak suami (ayah) dalam hal kemampuan ekonominya; karena ada yang kaya, ada yang pertengahan, ada pula yang miskin (Lihat: QS ath-Thalaq [65]: 7).

Suami harus menjamin nafkah keluarga secara layak. Yang dinafkahkan kepada keluarga adalah sama dengan apa yang dinafkahkan untuk dirinya sendiri (lihat QS ath-Thalaq [65]: 6). Jika suami bakhil, istri memiliki hak untuk mengambilnya sesuai dengan kelayakan yang lazim. Aisyah ra. menuturkan bahwa Hindun binti Utbah pernah berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang bakhil. Ia tidak pernah memberiku nafkah yang bisa mencukupiku serta anak-anakku, kecuali nafkah yang aku ambil darinya ketika ia tidak tahu.”  Jawab Nabi saw., “Ambillah nafkah yang bisa mencukupimu serta anak-anakmu sewajarnya saja.” (HR al-Bukhari dan Ahmad).

 

Dosa Melalaikan Kewajiban Nafkah

Keluarga Muslim sebagaimana keluarga keluarga lainnya,  sangat rentan dengan masalah keuangan. Apalagi dengan kezaliman penguasa saat ini yang menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme hingga menghantarkan negeri ini masuk ke dalam jurang resesi ekonomi.  Akibatnya, harga barang-barang meningkat. Kebutuhan keluarga baik primer, sekunder apalagi tersier sangat sulit untuk dapat dipenuhi. Ditambah lagi, banyak terjadi PHK (pemutusan hubungan kerja). Para suami pun akhirnya tidak bekerja. Lalu bagaimana dengan nafkah keluarga?

Dalam kondisi seperti ini, yang harus dilakukan suami adalah segera mencari alternatif pekerjaan sekalipun sulit dan kadang  tidak sesuai dengan keilmuan yang dimiliki. Bahkan boleh jadi suami mendapatkan pekerjaan, sementara ia tak memiliki cukup keterampilan untuk melakukan pekerjaan tersebut. Dalam keadaan seperti  ini, ia harus terus berusaha dengan belajar lagi, melatih ketrampilannya, melaziminya hingga ia berhasil mengerjakannya dengan baik. Insya Allah pahala besar menanti.

Tak sedikit para suami yang berputus asa ketika problem kehilangan pekerjaan ini menimpa. Akhirnya, ia tak mau bekerja. Memilih berdiam diri. Menyalahkan keadaan dan bahkan menimpakan beban ini ke pundak istri. Membiarkan istri kalang-kabut mencari nafkah keluarga sambil mengurus berbagai urusan rumah tangga. Juga mengasuh dan mendidik anak-anak mereka. Tentu ini adalah sebuah tindakan zalim terhadap istri.

Suami harus selalu menyadari betapa besarnya dosa melalaikan kewajiban nafkah Ini.  Ia memiliki tanggung jawab berat menafkahi keluarganya.  Ia adalah pemimpin dalam keluarganya. Ia akan ditanya Allah SWT atas semua yang ada dalam pengelolaannya. Abdullah bin Umar ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ … الرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ …

Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dia pimpin….Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka… (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Jika Suami Tak Mampu

Memang, adakalanya ada suami yang tidak mampu menafkahi diri dan keluarganya. Bisa karena sakit yang dia derita, atau karena kemiskinan, atau karena kelemahan akalnya atau karena sebab-sebab lainnya. Syaikh Taqyuddin An-Nabhani dalam kitabnya An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam  menjelaskan hal ini. Menurut Syaikh Taqy, Islam telah menjadikan pemenuhan kebutuhan  primer serta mengusahakannya untuk orang-orang yang tidak bisa memperolehnya adalah fardhu (wajib). Jika  kebutuhan kebutuhan primer tersebut bisa dipenuhi sendiri oleh seseorang, pemenuhan tersebut menjadi kewajibannya. Namun, jika orang tersebut tidak bisa memenuhinya, karena tidak mempunyai harta yang cukup, syariah telah menjadikan orang tersebut wajib ditolong.

Syaikh Taqy selanjutnya merinci tatacara (mekanisme) Islam untuk membantu orang semacam ini yaitu sebagai berikut:  Pertama,  Islam memerintahkan kepada kerabat terdekat yang memiliki hubungan darah untuk menafkahinya (lihat: QS al-Baqarah [2]: 233).  Ayat ini menjelaskan bahwa seorang ahli waris berkewajiban seperti seorang ayah, dari segi nafkah dan pakaian. Yang dimaksud dengan ahli waris di sini bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi. Akan tetapi, yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris. Mereka adalah para kerabat.

Kedua: Jika orang ini tidak memiliki sanak kerabat yang wajib menanggung nafkahnya, kewajiban memberikan nafkah dipindahkan ke Negara, melalui Baitul Mal, dari pos zakat. Hal ini berdasarkan hadis penuturan Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ وَمَنْ تَرَكَ كَلاًّ فَإِلَيْنَا

Siapa saja yang meninggalkan harta, harta itu untuk ahli warisnya. Siapa saja yang meninggalkan ‘kalla’, ia menjadi kewajiban kami (HR Muslim).

 

Maksud dari ‘kalla’adalah orang yang lemah dan tidak mempunyai orangtua.

Allah SWT juga berfirman:

۞إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ ٦٠

Sedekah (zakat) itu diperuntukkan bagi para fakir miskin… (QS at-Taubah [9]: 60).

 

Jika kas zakat dari Baitul Mal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan para fakir miskin ini maka Negara akan memberikan nafkah dari pos lain dari Baitul Mal. Namun, jika semua pos di Baitul Mal tidak mencukupi,  Negara bias mewajibkan pajak (dharibah) atas orang orang kaya untuk diberikan kepada para fakir miskin tersebut.

Ketiga: Jika Negara tidak mampu menafkahi, karena Baitul Mal benar benar kosong, maka kewajiban menafkahi fakir miskin ini berlaku atas seluruh kaum Muslim. Rasulullah saw. bersabda:

مَا آمَنَ بِي مَنْ بَاتَ شَبْعَانًا وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يَعْلَمُ بِهِ

Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara ia tahu (HR al-Bazzar).

 

Demikianlah  Islam telah mengatur kewajiban suami menafkahi keluarga. Tentu kewajiban ini tak mungkin tertunaikan dengan sempurna tanpa penerapan syariah Islam secara keseluruhan. Hanya Khilafah satu-satunya institusi yang mampu menerapkannya. Khilafah akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang memastikan pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya sehingga semua suami bisa bekerja untuk menafkahi keluarganya. Sistem ini juga akan memastikan semua kebutuhan pokok bisa terjangkau harganya oleh semua keluarga dengan penghasilan para suami mereka. Hanya dengan sistem ini pula tiga mekanisme pemenuhan kebutuhan pokok (primer) bagi keluarga keluarga miskin bisa berjalan sesuai dengan ketetapan syariah. Hanya dengan Khilafah, semua kewajiban, termasuk kewajiban nafkah, bisa tertunaikan dengan sebaik baiknya.

WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Wiwing Noeraini]

 

Daftar Pustaka:

1        Al-Quranul Karim

2        An-Nabhani, Taqyuddin. An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam. Beirut: Darul Umah, 1990.

3        Nasib Ar-Rifai, Muhamad. Ringkasan Kitab Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1. Gema Insani Press,  Jakarta 1999.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × two =

Back to top button