Fikih

Hukum Badal Haji

Soal:

Apa hukum badal haji? Apakah hal itu berlaku bagi orang yang masih hidup dan orang yang sudah meninggal? Misal, seseorang telah berhaji. Lalu dia ingin menghajikan seseorang yang masih hidup dengan mendapat imbalan biaya dan pengeluaran haji. Apa hukum badal haji dari seseorang yang sudah meninggal? Apakah disyaratkan adanya hubungan kekerabatan dalam badal haji di antara individu-individu itu?

 

Jawab:

Benar, badal haji boleh dengan memperhatikan perkara-perkara berikut:

Pertama, orang yang berhaji atas nama orang lain harus sudah menunaikan kewajiban haji atas dirinya sendiri. Dalil hal itu antara lain:

Aisyah ra. berkata:

أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم سَمِعَ رَجُلاً يُلَبِّى عَنْ شُبْرُمَة فَقَال: وَمَا شُبْرُمَةُ ؟، قَالَ: فَذَكَرَ قَرَابَةً لَهُ. قَالَ: فَقَال: أَحَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ، قَال: فَقَال: لاَ، قَالَ: فَاحْجُجْ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَة

Nabi saw. pernah mendengar seorang laki-laki berniat haji atas nama Syubrumah. Beliau bersabda, “Siapa Syubrumah?” Laki-laki itu berkata dan dia menyebutkan kekerabatannya dengan Syubrumah. Rasul lalu bersabda, “Apakah engkau telah berhaji atas dirimu sendiri?” Dia berkata, “Tidak.” Beliau kemudian bersabda, “Berhajilah atas nama dirimu sendiri. Lalu berhajilah atas nama Syubrumah.” (HR ad-Daruquthni).

 

Ibnu Abbas ra. berkata bahwa Rasulullah saw. pernah mendengar seorang berkata:

لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ، فَقَالَ: مَنْ شُبْرَمَة ؟ فَذَكَرَ أَخا لَهُ أَوْ قَرَابَةً، قَالَ: أَحَجَجْتَ قَطُّ ؟ قَال: لَا، قَال: فَاجْعَلْ هَذِه عَنْكَ ثمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَة

“Aku memenuhi panggilan-Mu atas nama Syubrumah.” Beliau bersabda, “Siapakah Syubrumah?” Lalu laki-laki itu menyebutkan saudara atau kerabatnya. Rasul bersabda, “Engkau sudah berhaji?” Dia berkata, “Belum.” Beliau lalu bersabda, “Jadikan haji kali ini atas dirimu sendiri. Lalu berhajilah atas nama Syubrumah.” (HR al-Baihaqi).

 

Imam al-Baihaqi berkata, “Ini adalah sanad shahih. Tidak ada dalam bab ini yang lebih shahih darinya.”

Imam ath-Thabarani juga telah mengeluarkan hadis ini dalam Mu’jam al-Kabîr dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas ra.

Kedua, boleh berhaji atas nama orang yang sudah meninggal jika orang itu belum menunaikan kewajiban haji sebelum meninggal. Dalilnya antara lain:

Ibnu Abbas ra. telah menyatakan bahwa seorang wanita dari Juhainah pernah datang kepada Nabi saw. dan berkata, “Ibuku telah bernadzar untuk berhaji dan ia belum berhaji hingga meninggal. Apakah aku boleh berhaji atas namanya?” Beliau lalu bersabda:

نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا. أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّك دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا الله فالله أَحَقُّ ِ بِالْوَفَاءِ

Benar. Berhajilah atas namanya. Bagaimana pandanganmu seandainya ibumu punya utang apakah engkau membayarnya? Bayarlah (utang kepada) Allah karena (utang kepada) Allah lebih berhak untuk ditunaikan (HR al-Bukhari).

 

Ibnu Abbas ra. juga berkata: Seorang laki-laki pernah datang kepada Nabi saw., lalu berkata kepada beliau, “Saudariku telah bernadzar untuk berhaji, tetapi ia telah meninggal.” Nabi saw. pun bersabda kepada dia:

لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ ؟ قَالَ نَعَمْ قَالَ: فَاقْضِ الله فَهُوَ أَحَقُّ بِالْقَضَاءِ

“Seandainya saudarimu punya utang apakah engkau membayarnya?” Dia berkata, “Benar.” Beliau bersabda: “Bayarlah (utang kepada) Allah, sebab (utang kepada) Dia lebih berhak untuk dibayar.” (HR al-Bukhari).

 

Nadzar berhaji, yakni wajib berhaji bagi dirinya, sementara dia belum menunaikannya hingga meninggal. Itu berlaku pada semua haji yang wajib bagi seseorang yang belum dia tunaikan hingga meninggal. Jadi boleh menunaikan haji atas nama orang itu dengan syarat-syaratnya seperti penunaian utang atas namanya.

Ketiga, adapun selama dia masih hidup, maka boleh berhaji atas nama orang lain dalam kehidupannya jika orang lain itu tidak mampu berhaji dalam hal kemampuan jasmaninya seperti karena dia lumpuh, atau tidak mampu pergi, pulang dan bergerak; dengan ungkapan lain, tidak terpenuhi pada dia kemampuan jasmani hingga meskipun terpenuhi pada dirinya kemampuan finansial. Hal itu karena dalil-dalil berikut:

Ibnu Abbas ra. berkata: Seorang wanita dari Khats’am pernah datang pada tahun Haji Wada’. Lalu dia berkata:

يَا رَسُولَ الله، إِنَّ فَرِيضَةَ الله عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخاً كَبِيراً لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى الرَّاحِلَةِ، فَهَلْ يَقْضِي عَنْه أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ؟ قَالَ نَعَمْ

“Ya Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah atas hambanya dalam haji telah menjumpai bapakku yang telah lanjut usia. Namun, dia tidak mampu duduk tegak di atas hewan tunggangan. Apakah untuk memenuhi kewajiban haji itu aku boleh berhaji atas namanya?” Beliau bersabda, “Benar.” (HR al-Bukhari).

 

Ibnu Abbas ra., dari al-Fadhlu, pernah berkata bahwa seorang wanita dari Khats’am berkata:

يا رَسُولَ الله إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْه فَرِيضَةُ الله فِي الْحَجِّ وَهُوَ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَحُجِّي عَنْه

“Ya Rasulullah, bapakku sudah lanjut usia. Ia punya kewajiban kepada Allah untuk menunaikan haji, sementara dia tidak mampu tegak di atas punggung untanya.” Nabi saw. bersabda, “Berhajilah atas namanya.” (HR Muslim).

 

Abu Razin al-‘Uqili ra. pernah datang kepada Nabi saw. lalu berkata:

إنَّ أبي شيخٌ كبيرٌ لا يستطيع الحَجَّ ولا العُمرة ولا الظَّعن، فقال: حُجَّ عن أبيك واعتَمِر

“Bapakku telah lanjut usia. Ia tidak mampu berhaji, umrah dan berangkat pergi-pulang.” Lalu Nabi saw. bersabda, “Berhajilah dan berumrahlah atas nama bapakmu.” (HR Ahmad dan Ashhab as-Sunan dan at-Tirmidzi).

 

Keempat, ada beberapa perkara lain yang terkait sebegai berikut:

Bukan merupakan syarat bahwa orang yang membadali haji hatus kerabat dari orang yang dibadali, tetapi boleh juga dia bukan kerabat. Dalilnya, Rasul saw. menjadikan badal haji sebagai jawaban kepada penanya laki-laki dan perempuan itu seperti utang. Pembayaran utang atas nama debitur boleh dari kerabat dan orang jauh (bukan kerabat) selama hal itu terjadi dengan keridhaan orang itu. Oleh karena itu, tidak disyaratkan kekerabatan dalam berhaji atas nama orang lain, jika terpenuhi syarat-syarat haji atas nama orang lain yang telah dijelaskan.

Berkaitan dengan berhaji atas nama orang lain yang masih hidup, maka orang yang dibadali harus menyuruh untuk membadalinya dalam berhaji. Sebabnya, badal haji berposisi pada hukum wakalah (perwakilan) sehingga wajib hal itu dilakukan dengan izinnya. Adapun berhaji atas nama orang yang sudah meninggal maka di situ ada perbedaan pendapat: sebagian fuqaha mewajibkan orang yang sudah meninggal itu mewasiatkan untuk berhaji atas namanya. Fuqaha lainnya tidak mensyaratkan syarat ini, tetapi dalam pandangan mereka, seandainya seseorang berhaji atas nama orang yang sudah meninggal itu tanpa wasiat darinya maka haji ini telah memenuhi, dengan izin Allah. Ini yang saya rajih-kan sebab haji atas nama orang lain dijadikan oleh Rasul saw. dalam hadis beliau seperti pembayaran utang. Pembayaran utang atas nama debitur yang sudah meninggal adalah sah meskipun dia tidak mewasiatkan pembayaran utang itu.

Perlu diketahui, ini adalah pendapat yang diambil oleh asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah, yang mana mereka mengatakan sebagaimana yang ada di dalam Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah:

 

Siapa yang mati dan dia punya kewajiban haji maka wajib ditunakan haji atas namanya dari semua peninggalannya baik dia mewasiatkan-nya atau tidak sebagaimana utang-utangnya dibayar baik dia mewasiatkannya atau tidak. Seandainya tidak ada harta peninggalannya maka disunnahkan ahli warisnya berhaji atas namanya. Jika ahli warisnya berhaji sendiri atas nama orang yang sudah meninggal itu atau dia mengutus orang untuk berhaji atas nama orang yang sudah meninggal itu maka telah gugurlah kewajiban haji dari orang yang sudah meninggal itu, meskipun yang berhaji atas namanya adalah orang asing maka boleh, dan meskipun tidak diizinkan oleh ahli warisnya sebagaimana utangnya sah dibayar tanpa izin ahli warisnya.

 

Dasar mereka adalah penyerupaan Nabi saw. atas haji dengan utang sehingga mereka memberlakukan hukum-hukum utang atas penunaian haji.

Orang yang disuruh berhaji itu berniat atas nama orang aslinya. Dia berniat dengan hatinya dan dia berkata dengan lisannya:

أَحْرَمْتُ بِالْحَجِّ عَنْ فُلاَنٍ وَلَبَّيْكَ بِحَجَّة عَنْ فُلاَنٍ …

Aku berniat haji atas nama si Fulan dan aku penuhi panggilan-Mu dengan berhaji atas nama si Fulan

 

Dilafalkan lebih afdhal daripada tidak dilafalkan. Namun, seandainya dia mencukup-kan dengan niat di dalam hati maka itu sah.

Orang yang berhaji atas nama orang lain itu boleh mengambil apa saja yang dia perlukan berupa biaya dan keperluan-keperluan haji secara makruf.

Berhaji atas nama orang lain hanya atas satu orang, dan bukan atas nama dua orang atau lebih. Sebab dia menggantikan haji orang yang asli. Jadi niat itu dari satu orang.

Orang yang menjadi badal haji haruslah orang yang jujur dan amanah. Niatnya karena Allah SWT dan bukan mencari penghasilan.

Ini yang saya rajih-kan dalam masalah ini. WalLâh a’lam wa ahkam. [Dari Soal-Jawab Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah – 30 Syawal 1442 H/11 Juni 2021 M]

 

Sumber:

http://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/75996.html

https://web.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/2946163935629611

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 + 13 =

Back to top button