Baiti Jannati

Keluarga Moderat, Berkah atau Musibah?

Arus Moderasi Islam di negeri ini semakin menguat, bak gelombang yang siap menghantam umat Islam tapi dengan cara yang halus.  Jika umat Islam tidak cermat, gelombang  ini akan menghantam kaum Muslim tanpa ampun.  Saat ini arus moderasi ini telah masuk ke rumah-rumah kaum Muslim, meluluhlantakan bangunan keluarga Muslim. Apalagi beberapa kasus terakhir. Ada kasus pengeboman yang dilakukan oleh remaja putri, kaum ibu dan anak-anak yang terlibat dalam berbagai aksi yang dinilai sebagai tindakan radikalisme. Muncullah istilah Moderasi Islam Berbasis Keluarga. Targetnya, mewujudkan keluarga moderat di tengah-tengah umat.

Lalu apakah keluarga moderat ini dapat memberikan kebaikan dan keberkahan bagi keluarga Muslim? Ataukah justru sebaliknya?

 

Apa yang Dimaksud Keluarga Moderat ?

Penulis buku Qira’ah Mubadalah, DR. KH. Faqihuddin Abdul Kadir, menjelaskan bahwa keluarga moderat adalah keluarga yang menjalankan prinsip dan nilai mubadalah, yang menjadi pondasi untuk orang-orang moderat dalam menjalankan hidup berelasi, baik relasi rumah tangga secara khusus maupun relasi sosial secara umum. Inti dari mubadalah adalah bagaimana seseorang berelasi dengan orang lain untuk saling bekerjasama dalam mewujudkan kebaikan. “Yang satu tidak merendahkan yang lain, tetapi saling bekerjasama, saling menguatkan dan menolong satu sama lain.” Mubadalah basisnya adalah kesetaraan.

Imam Nakhai, dalam tulisannya, menekankan bahwa dalam konteks keluarga, Rasulullah saw. mencontohkan bagaimana menjadi laki laki baru, bahwa relasi suami-istri adalah relasi yang dibangun atas dasar “kehendak berdua, keridhaan berdua dan musyawarah” dalam hal rumah tangga sekecil apapun. Rasulullah saw. mencontohkan bahwa relasi suami-istri bukan relasi yang menguasai, mengalahkan dan merendahkan; melainkan relasi yang saling berbagi, melindungi dan menghormati. Rasulullah saw. mencontohkan bahwa pekerjaan rumah tangga bukanlah kewajiban istri, juga bukan kewajiban suami, melainkan kewajiban kedua belah pihak atas dasar keadilan dan keseimbangan (Mubadalah.id, 12/04/2021)

Dalam rinciannya, Dr. Nyai Nur Rofi’ah, dosen pasca sarjana PTIA, menyatakan bahwa perkosaan dalam perkawinan dapat dipahami sebagai hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang berlangsung tanpa persetujuan bersama, baik korban dalam kondisi sadar atau tidak, ataupun disertai ancaman dan kekerasan fisik maupun tidak.

Pendapat senada dilontarkan oleh Nyai Hj. Badriyah Fayumi yang dilansir Mubadalah.id, “Dalam perspektif agama, pengesahan RUU PKS adalah bagian dari misi kenabian untuk membebaskan perempuan dan kelompok rentan lainnya dari ketidakadilan.”

Dari beberapa penjelasan beberapa tokoh ini, kita bisa menyimpulkan bahwa keluarga moderat adalah keluarga yang  menjalankan prinsip  nilai mubadalah (kesalingan) dan konsep kesetaraan. Dalam rinciannya, ketika suami meminta istri melayani dirinya, sedangkan istri tidak menghendaki, maka itu dianggap kekerasan dan dinilai sebagai tindakan kriminal. Selanjutnya, mulai berkembang pemahaman bahwa anak pun punya hak menentukan keinginanya dalam keluarga moderat.  Dengan konsep keluarga moderat ini, mereka berpendapat akan dicapai keberkahan dalam berkeluarga.  Benarkah?

 

Akankah Terwujud Keberkahan?

Sepintas lalu tampak konsep yang mereka tawarkan ini baik dan akan memberikan solusi terhadap permasalahan rumah tangga yang marak terjadi. Relasi suami-istri dibangun berdasarkan kesetaraan, kehendak berdua, keridhaan berdua, saling berbagi bahkan keduanya bisa saling bertukar peran.  Apakah benar demikian?

Secara fakta,  dalam sebuah institusi mau tidak mau harus ada pemimpin. Demikian halnya sebuah keluarga. Sebagai institusi terkecil dalam kehidupan bermasyarakat, dibutuhkan adanya seorang pemimpin dalam keluarga. Tentu pemimpin hanya satu di dalam satu institusi. Demikian halnya dalam keluarga.  Bagaimana mungkin bisa diwujudkan ketenteraman dan keberkahan jika ada dua kepemimpinan dalam sebuah keluarga?  Sesungguhnya pernyataan ini sangat mudah untuk dipahami.

Apalagi Allah SWT, Al-Khaliq al-Mudabbir, telah memberikan aturan yang sangat jelas  dalam QS an-Nisa’ ayat 34,  “Ar-Rijalu qawwaamuuna ‘ala an-nisa’” (Laki-laki [suami] adalah pemimpin bagi perempuan [istri]). Dari sini sangat jelas bahwa konsep kesetaraan yang diusung keluarga moderat ini bertentangan dengan Islam.  Belum lagi jika kita  membahas rinciannya. Mereka berpendapat bahwa pemerkosaan dalam perkawinan dapat dipahami sebagai hubungan seksual dalam ikatan perkawinan yang berlangsung tanpa persetujuan bersama, baik korban dalam kondisi sadar atau tidak, ataupun disertai ancaman dan kekerasan fisik maupun tidak (Mubadalah.id).

Hal ini pun telah sangat jelas bertentangan dengan Hadis Rasulullah saw., “Jika seorang suami mengajak istrinya ke ranjangnya, lalu istri enggan sehingga suami bermalam dalam keadaan marah, maka malaikat melaknat sang istri sampai pagi.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Beberapa konsep keluarga moderat yang diusung oleh pengusung Islam Moderat ini sangat jelas bertentangan dengan syariah Islam. Jika demikian akankah terwujud keberkahan dalam keluarga karena ternyata banyak aturan Allah SWT yang dilanggar? Kita semua telah mengetahui jawabannya!

 

Keberkahan dalam Keluarga

Islam—sebagai risalah yang sempurna—telah memberikan tuntunan tentang tujuan sebuah pernikahan yang harus dipahami oleh kaum Muslim. Apalagi pasangan suami-istri. Tentu agar pernikahan dan kehidupan berkeluarga menjadi berkah, bernilai ibadah dan memberikan ketenangan bagi suami-istri serta anggota keluarga lainnya, sehingga langgeng dan bahagia. Menggapai ridha Allah sebagai tujuan tertinggi adalah hal yang harus ada dalam setiap keluarga Muslim. Ridha Allah akan terwujud jika diniatkan ikhlas dan sesuai syariah.

Islam  telah memberikan aturan yang  khusus kepada suami dan istri  untuk mengemban  tanggung jawab kepemimpinan dalam rumah tangga.  Suami adalah kepala  dan pemimpin keluarga. Istri adalah pemimpin rumah suaminya sekaligus menjadi pemimpin bagi anak-anaknya. Rasulullah saw. bersabda,  “Setiap kalian adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawa-ban atas kepemimpinan-nya….Seorang laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpi-nannya; seorang perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak-anaknya yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”  (HR  Bukhari Muslim).

Kepemimpinan adalah tanggung jawab dan amanah yang dibebankan oleh Allah SWT untuk dilaksanakan, selanjutnya dipertanggungjawab-kan sebagai sebuah amal ibadah. Islam menetapkan peran dan fungsi suami adalah menjadi pemimpin rumah tangga yang memiliki kewajiban untuk menafkahi dan melindungi seluruh anggota keluarganya. Ia adalah nakhoda yang akan mengendalikan biduk rumah tangganya. Kepemimpinan tersebut telah Allah amanahkan ke pundak suami.

Islam pun telah menetapkan peran dan fungsi mulia bagi istri atau ibu, sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt.  Ia juga berkewajiban untuk mentaati suaminya. Selain wajib, taat pada suami juga merupakan karakter seorang istri shalihah (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 34).

 

Sikap Keluarga Muslim

Di tengah kondisi seperti ini, tentu keluarga Muslim tidak boleh berdiam diri. Harus memiliki sikap yang tegas, di antaranya:

Pertama, menolak konsep keluarga moderat.  Sudah sangat jelas bahwa konsep keluarga moderat dengan berbagai sebutannnya merupakan konsep keluarga yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam sehingga sama sekali tidak layak untuk diikuti dan diemban oleh umat Islam.

Kedua, menguatkan kembali pondasi dasar, visi dan motivasi dalam membangun rumah tangga.  Pondasi dasar dari pernikahan tersebut adalah akidah Islam, bukan manfaat ataupun kepentingan. Visi yang kuat akan membawa bahtera rumah tangga berlayar menuju pulau harapan, yaitu menuju keluarga yang penuh keberkahan—sakinah, mawaddah wa rahmah—yang terjauhkan dari kekerasan, kekasaran, sikap kesewenangan dan kehancuran.  Menjaga visi pernikahan akan menghindarkan anggota keluarga, termasuk pasangan suami-istri, dari penyimpangan.

Ketiga, senantiasa menjadikan Islam dan syariahnya sebagai panduan dan solusi terhadap seluruh permasalahan yang terjadi dalam kehidupan berkeluarganya. Halal-haram dijadikan landasan dalam berbuat, bukan hawa nafsu. Di sinilah pentingnya anggota keluarga untuk menguatkan pemahaman tentang fungsi dan kedudukan masing-masing dalam keluarga dan berupaya keras untuk menjalankannya sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Keempat, meningkatkan kesadaran politik anggota keluarga.  Hal ini bisa dilakukan dengan terus belajar Islam, atau dengan kata lain,  melakukan proses pencerdasan seluruh anggota keluarga—terutama yang telah balig—dengan Islam kaffah (ideologis) sehingga benar-benar memiliki pemahaman Islam kaffah. Pemahaman ini dijadikan sebagai sandaran atau rujukan untuk membendung dan melawan pemikiran-pemikiran yang rusak—termasuk Islam Moderat—sekaligus dijadikan rujukan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan.

Kelima, menggencarkan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat, sebagai proses pencerdasan di tengah-tengah umat. Dengan itu Islam dipahami secara utuh sebagai solusi masalah-masalah kehidupan mereka, termasuk dalam kehidupan rumah tangganya. Dengan cara ini, akan muncul keluarga Muslim yang tangguh yang memiliki kecerdasan politik tinggi, siap menghadang segala bentuk pemikiran yang rusak dan merusak dan siap untuk memperjuangkan Islam kaffah secara berjamaah.

 

Khatimah

Siapapun akan berharap rumah tangganya dipenuhi dengan penuh keberkahan, sakinah mawaddah wa rahmah (tenang, tentram dan penuh kasih sayang) dengan pasangan yang shalih atau shalihah, suami atau istri yang menyejukan pandangan mata dan jiwa, serta anak-anak yang cerdas dan berbakti. Karena itu jangan lantas kita ‘bunuh diri’ dengan  menjadikan ide Islam Moderat sebagai rujukan yang telah sangat jelas bertentangan dengan Islam.

Karena itu pengokohan fungsi keluarga Muslim agar menjadi keluarga yang tegak atas ketaatan kepada Allah,  menjadikan syariah Islam  sebagai standar, menjadi agenda kita hari ini.  Sehingga setiap keluarga Muslim mampu berfungsi sebagai mesjid, madrasah, rumah sakit, benteng pelindung dan kamp perjuangan yang siap melahirkan generasi pejuang dan pemimpin umat, yang berkualitas mujtahid sekaligus mujahid. Semuanya itu diarahkan untuk mewujudkan masyarakat taat syariah, yang pemikiran, perasaan dan aturannya diikat oleh Islam.

WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Najmah Saiidah]

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

three × 5 =

Back to top button