Serangan Massif Terhadap Islam
Barat dan para rezim kompradornya bersikeras untuk mendiskreditkan ajaran Islam dan ulama yang kritis. Mereka berargumen bahwa keyakinan pada nilai-nilai Islam secara kâffah bisa memicu orang untuk melakukan tindakan kekerasan. Jelas mereka mengadopsi teori cacat. Ini sekaligus menyingkap keinginan mereka untuk menghadang umat Islam untuk mengungkapkan pandangan politik dan agama kita.
Serangan terbesar yang dilakukan oleh Barat ke dunia Muslim dalam mencabut nilai-nilai Islam dari umatnya adalah dengan menerapkan sistem sekular. Tujuan utama dari sistem sekular adalah untuk mencegah lahirnya Islam politik dan mencegah lahirnya generasi berkepribadian Islam yang menjadikan Islam sebagai satu-satunya pedoman hidup.
Sistematis
Di dalam negeri, saat ini Kemenag terus mengampanyekan program penguatan moderasi beragama. Apalagi sudah menjadi program nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024. Penguatan moderasi dipandang menjadi solusi antara dua kutub ekstremitas beragama, yaitu ekstremitas kanan yang tekstualis dan ultrakonservatif serta ekstremitas kiri yang liberal. Moderasi agama juga diklaim sebagai solusi tepat menghadapi kemajemukan bangsa.
Tampak bahwa istilah moderasi dan toleransi dilawankan dengan radikalisme dan terorisme. Radikalisme, ekstremisme dan terorisme seolah-olah menjadi virus atau permasalahan utama negeri ini. Adapun moderasi beragama digadang-gadang sebagai penawar alias solusi bagi radikalisme.
Pengaruh moderasi beragama banyak terasa di tengah umat. Hal ini karena para pengusungnya memiliki strategi terencana dan masif dijalankan. Di antaranya dekonstruksi tafsir dan fikih agama serta merekonstruksikannya sesuai pemahaman moderat. Penafsiran ulama salaf dilabeli sebagai kaku, diskriminatif, dsb. Implementasi moderasi beragama patut diduga akan mengikis akidah umat. Stigmatisasi Muslim sebagai radikal, ekstremis, teroris dan Islam sebagai radikalisme, ekstremisme, terorisme, jelas tak berdasar. Apalagi menyebut radikalisme sebagai sumber utama masalah bangsa. Ini merupakan kedustaan.
Di sektor pendidikan, seluruh materi ujian madrasah, materi yang mengandung konten khilafah dan jihad (perang) telah diperintahkan oleh Kemenag untuk ditarik dan diganti. Ajaran tentang khilafah dan jihad telah dianggap ajaran yang berkonten radikal. Ada 155 buku pelajaran Agama Islam telah dihapus oleh Kemenag di era Fachrul Razi tentang ajaran yang dianggap radikal tersebut. Menag juga telah mengungkapkan bahwa penghapusan konten khilafah dan jihad yang dianggap radikal merupakan bagian dari program penguatan moderasi beragama yang dibangun dimulai dari sekolah.
Persoalan berikutnya adalah draft Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035 yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hilangnya kata “agama” dari draft visi pendidikan Indonesia 2035 ini menjadi perhatian serius. Islam seharusnya dijadikan faktor mendasar bahkan esensial dalam pendidikan di Indonesia. Ini bukti pengaruh pemikiran sekular sangat berpengaruh dalam sistem pendidikan Indonesia. Tampaknya inilah dampak sekularisasi yang semakin massif dalam sistem pendidikan. Padahal kita melihat pendidikan sekuler yang telah lama diterapkan di negeri ini nyata gagal membawa nilai-nilai kebaikan.
Langkah yang ditempuh Pemerintah selanjutnya adalah menguatkan posisi kelompok moderat. Hal ini senada dengan apa yang diuraikan oleh Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Prof. Irfan Idris. Dia mengatakan, Pemerintah harus bersama kelompok-kelompok moderat untuk meminimalisasi penyebaran pemahaman radikal keagamaan di Indonesia.
Upaya moderasi yang digaungkan hari ini justru menjadi masalah besar yang akan mengakibatkan umat jauh dari ajaran Islam kâffah. Moderasi bagian makar yang dibuat oleh musuh Islam untuk mencegah penegakkan Islam dimuka bumi. Bahkan melalui lembaga pemikiran yang ada di Amerika Serikat, yaitu Rand Corporation, mereka telah membagi Islam menjadi empat kelompok. Di antaranya ada Islam radikal/fundamentalis, Islam modernis, Islam tradisional, dan Islam sekular/moderat. Islam radikal/fundamentalis adalah Islam yang harus diwaspadai dan dicegah penyebarannya.
Semangat untuk memerangi radikalisme juga tergambar dalam kebijakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo saat meluncurkan Aplikasi ASN No Radikal. Portal Aduan ASN dibangun untuk menerima aduan dari masyarakat terkait ASN yang diduga terpapar radikalisme. Aplikasi ASN No Radikal merupakan lanjutan dari portal Aduan ASN untuk penyelesaian kasus radikalisme oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang bersifat elektronik bahkan dapat melakukan diskusi secara online. Aplikasi ini untuk memudahkan mekanisme penanganan pengaduan ASN yang diduga terpapar radikalisme. Para pimpinan lembaga Pemerintah dan kementerian akan semakin massif ‘merepresi’ bawahannya demi menjalankan kebijakan ini dengan segala ancamannya bagi pegawai yang terpapar atau bahkan diduga terpapar radikalisme, ektremisme apalagi terorisme.
Kebijakan rezim Jokowi tersebut dapat memberangus kebebasan yang bertentangan dengan HAM baik secara langsung ataupun tidak. Running tersebut akan menimbulkan suasana haunted (diburu) bagi para pegawai (ASN khususnya). Akibatnya, mereka akan takut untuk menyuarakan aspirasinya sebagai manusia merdeka yang juga dijamin hak asasinya. Kebijakan tersebut juga berpotensi memicu konflik horisontal (polarisasi, adu domba, curigation). Bahkan setiap orang bisa ‘menginteli’ orang lainnya meskipun mereka berkawan, bertetangga atau bekerja dalam instansi yang sama.
Sporadis
Dudung Abdurrahman, saat menjadi Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), menyebut, ‘semua agama sama di mata Tuhan’. Pemikiran Dudung cermin paham pluralisme agama, membenarkan semua agama, termasuk di dalamnya membenarkan kitab suci selain al-Quran. Dudung Abdurahman juga menyatakan “Berdoa menggunakan bahasa Indonesia, karena Tuhan kita bukan orang Arab”. Selain melecehkan Tuhan, juga didegradasikan dengan disebut sebagai orang. Oleh karenanya, ucapan tersebut berpotensi menjadi penistaan agama.
Kelancangan berikutnya adalah pernyataan Ade Armando dalam sebuah video viral yang pada substansinya dapat dikatakan bahwa dia meragukan bahkan tidak setuju jika syariah Islam diterapkan di Indonesia. Ia menyatakan secara terbuka menentang syariah. Patut diduga Ia mengidap syariahfobia, yakni rasa takut dan kebencian terhadap syariah Islam dan menolak apapun yang berasal dari sumber hukumnya.
Berikutnya soal Sukmawati yang telah melecehkan marwah Rasulullah Muhammad saw. Membandingkan beliau dengan Ir. Soekarno. Saat itu, Sukmawati begitu bangganya menerangkan peran Bapaknya dalam kemerdekaan bangsa Indonesia.
Kabar keputusan Sukmawati Soekarno Putri pindah keyakinan dari Islam ke Hindu alias murtad sudah ramai dipublikasikan. Publikasi besar-besaran untuk kemurtadan Sukmawati semakin menunjukkan bahwa gaya hidup liberal sedang menghantui negeri ini dan kelak membawa imbas besar bagi generasi berikutnya. Sebabnya, kaum liberal seperti Sukmawati dkk, sedang mengkampanyekan ide kebebasan beragama dan masyarakat harus menerima keputusan tersebut sebagai hak asasinya. Tidak boleh ada yang meributkan apalagi sampai diperkarakan ke ranah hukum. Sebabnya, murtad dianggap bukan perbuatan kriminal dalam persepektif hukum sekular demokrasi. Besok lusa, peristiwa yang sama tidak menutup kemungkinan muncul perbuatan yang membebek Sukmawati untuk mempublikasikan murtadnya.
Penistaan agama Islam kembali lagi terjadi, baru-baru ini media sosial diramaikan dengan tagar #TangkapJosephSuryadi. Tagar ini muncul setelah Joseph Suryadi diduga melakukan penistaan agama. Mungkin belum hilang ingatan kita dengan penistaan agama yang dilakukan Jozeph paul Zhang beberapa waktu yang lalu, begitu juga dengan M. Kece yang tak tahu akhir cerita hukumannya seperti apa. Kali ini penistaan itu terjadi lagi. Pelakunya berbeda, tetapi yang dinista tetap Islam dan ajarannya.
Kehidupan kapitalisme yang salah satu pilarnya adalah kebebasan akhirnya menghasilkan orang-orang yang selalu mencerca Islam dan ajarannya. Termasuk penghinaan terhadap Allah serta Rasul-Nya. Hukum manusia yang dibuat sebagai sanksi penistaan agama terkesan ringan. Pasalnya, untuk urusan agama tidak ada yang berkepentingan di situ. Bandingkan jika yang dinista adalah kepala negara. Jangankan dinista, rakyat mengekspresikan kritiknya kepada Pemerintah saja sudah pasti akan di beri hukum seberat-beratnya.
Berikutnya adalah pernyataan Buya Syakur bahwa Islam bukan agama sempurna. Ia tampil di acara moderasi agama di Markas Besar (Mabes) Polri, Jakarta Selatan, yang viral di media sosial (medsos).
Tudingan miring tokoh liberal yang bertubi-tubi jelas merupakan serangan terhadap syariah Islam. Dengan berbagai bentuk serangan yang kian massif, kaum liberal berusaha untuk mengubah pandangan kaum Muslim terhadap aturan agama mereka. Mereka menggambarkan betapa wajah buruk Islam menghantui umat.
Satu hal memprihatinkan adalah pernyataan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin yang mengindikasikan PAUD sudah terpapar radikalisme. Tudingan tanpa penelitian yang layak dan dapat dipertanggungjawabkan makin mendorong sikap dan tindakan penguasa yang makin represif.
Reaksi Semestinya
Menurut Syaikh Muhammad bin Said al-Qahthani, setidaknya ada enam faktor seseorang terjerumus melakukan pelecehan agama. Pertama, benci dan dengki terhadap kandungan nilai-nilai agama. Kedua, celaan atau balas dendam terhadap pelaku kebaikan. Ketiga, bercanda yang berlebihan dan ingin menertawakan orang lain. Keempat, sombong dan merendahkan orang lain. Kelima, taklid buta terhadap musuh-musuh Allah SWT. Keenam, cinta harta yang berlebihan sehingga dia akan mencarinya dengan cara apapun (Al-Qahthani, Al-Istihzâ’ bi ad–Dîn wa Ahluhu).
Selain keenam latar belakang individual itu, maraknya pelecehan terhadap simbol-simbol Islam juga banyak dipengaruhi oleh faktor sistem. Selama ini sistem hukum yang ada tidak memiliki ketegasan. Sanksi hukum tidak membuat jera pelaku pelecehan sekaligus gagal mencegah pihak lain untuk melakukan hal yang sama. Akibatnya, tak sedikit kasus pelecehan ini menguap begitu saja.
Dengan landasan sekularisme, paham liberalisme tumbuh subur. Kebebasan disakralkan. Penghinaan terhadap simbol-simbol Islam pun lantas dibenarkan sebagai ekspresi dari kebebasan dan bagian dari HAM. Dalam bingkai sekularisme bermunculan paham dan perilaku nyeleneh dengan mengatasnamakan toleransi, pluralisme, sinkretisme maupun Islam Nusantara. Demi toleransi azan mengiringi lagu Natal. Untuk menunjukkan Islam menyatu dengan budaya Nusantara dilakukan tarian di atas karpet shalat. Aneka ragam kebatinan dianggap sebagai keragaman Islam Nusantara. Sekularisme mengharuskan negara sekular netral dari agama; tidak boleh memihak agama apapun dan harus melindungi kebebasan. Negara sekular tidak mungkin melindungi kemuliaan agama, khususnya Islam.
Ajaran Islam akan terus mengalami penghinaan selama sekularisme terus dijalankan. Sebabnya, sekularisme yang menjadi akar masalahnya. Karena itu mencampakkan sekularisme beserta ide-ide turunannya harus dilakukan. Ini seperti ketika Saad bin Abi Waqash bertanya kepada Umar ra. tentang apa yang harus diperbuat dengan buku-buku Persia yang di antaranya memuat ajaran dan filsafat Persia. Umar ra. Berkata, “Buang saja buku-buku itu ke air (sungai/laut). Jika di dalamnya ada petunjuk maka sungguh Allah telah menunjuki kita dengan yang lebih baik dari itu (yakni Islam). Jika di dalamnya terdapat kesesatan maka sungguh Allah telah mencukupi kita (Târîkh Ibnu Khaldun, I/631). [Umar Syarifudin ; (Pengamat Politik)]