Hadis Pilihan

Rikaz (Di Antara Sebab Kepemilikan Harta)

وَفِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ

Di dalam rikaz ada (kewajiban) khumus (seperlima)” (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Timridzi, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, asy-Syafii, Malik, al-Baihaqi, Ibnu Hibban dan al-Hakim).

 

Hadis ini diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah ra. Hadis senada juga diriwayatkan dari Anas bin Malik, Abdullah bin Amru bin al-‘Ash, Jabir, Ibnu Abbas, Amru bin ‘Awf al-Muzani radhiyalLâh ‘anhum dan lainnya. Hadis Anas ra. diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Bazar. Hadis Amru bin ‘Auf al-Muzani diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Abi Syaibah. Hadis Jabir ra. diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Bazar.

Diriwayatkan dari Amru bin Syuaib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata:

سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ اللُّقَطَةِ، فَقَالَ: مَا كَانَ فِي طَرِيقٍ مَأْ تِيٍّ أَوْ فِي قَرْيَةٍ عَامِرَةٍ فَعَرِّفْهَا سَنَةً، فَإِنْ جَاءَ صَاحِبُهَا وَإِلَّا فَلَكَ، وَمَا لَمْ يَكُنْ فِي طَرِيقٍ مَأْتِيٍّ، وَلَا فِي قَرْيَةٍ عَامِرَةٍ فَفِيهِ وَفِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ

Rasulullah saw. pernah ditanya tentang luqathah, beliau bersabda, “Apa yang ada di jalan yang dilalui orang atau di kampung yang hidup maka umumkan selama satu tahun. Jika datang pemiliknya (maka serahkan kepada dia) dan jika tidak maka untukmu. Apa yang tidak di jalan yang biasa dilalui dan tidak di kampung yang hidup (yang ditinggali) maka di dalamnya dan di dalam rikaz ada khumus (seperlima).” (HR an-Nasa’i, Abu Dawud dan al-Baihaqi. Redaksi menurut an-Nasa’i).

 

Ibnu Abbas ra. menuturkan:

قَضَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الرِّكَازِ الْخُمُسُ

Rasulullah saw. telah memutuskan bahwa di dalam rikaz ada khumus (seperlima) (HR Ibnu Abi Syaibah dan al-Bazzar).

 

Ar-Rikâz adalah bentuk isim dari rakaza. Secara bahasa maknanya atsbata (menetapkan/menancapkan). Rakaza al-watada, maknanya atsbatahu fî al-ardhi (dia menancapkannya di tanah).

Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari al-Harawi (w. 370 H) di dalam Az-Zâhir fî Gharîb Alfâzh asy-Syâfi’i menyatakan, ar-rikâz menurut dua aspek. Pertama, harta yang ada tertimbun di bumi merupakan rikâz sebab penimbunnya menetapkan (membenamkan)-nya di dalam tanah seperti patok ditancapkan di tanah. Kedua, urat emas dan perak yang ditumbuhkan Allah SWT di dalam tanah lalu dikeluarkan dengan penanganan seolah Allah membenamkannya di dalam tanah.

Abu ‘Ubaid al-Qasim di dalam bukunya, Gharîb al-Hadîts, menyatakan: Terkait sabda Nabi saw., “dan di dalam rikâz ada khumus”, ahlu Irak berbeda pendapat dengan ahlu Hijaz. Ahlu Irak berkata, rikâz adalah semua mineral tambang. Karena itu mineral tambang apa saja yang dikeluarkan, bagi yang mengeluarkannya empat perlima dari apa yang dia peroleh dan untuk Baitul Mal seperlima. Mereka mengatakan, demikian juga harta orang dulu yang tertimbun di dalam tanah; itu semisal mineral tambang. Asal rikâz adalah al-ma’din (mineral tambang) sedangkan harta orang dulu yang dulu dimiliki manusia diserupakan dengan ma’din. Sebaliknya, ahlu Hijaz berkata, rikâz tidak lain harta yang tertimbun khususnya dari simpanan Bani Adam sebelum Islam. Adapun al-ma’din bukan rikâz.”

Ibnu al-Atsir (w. 606 H) di dalam An-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar dan Ibnu Manzhur (w. 711 H) di dalam Lisân al-‘Arab menyatakan, dua pendapat ini dimungkinkan oleh bahasa. Sebab keduanya dikubur di dalam tanah, yakni tsâbit (terbenam ada di dalam tanah). Dikatakan, rakazahu yarkuzuhu rakzan, yakni dafanahu (menguburnya).

Harta umat dulu yang tertimbun di dalam tanah merupakan rikâz dinyatakan oleh hadis di atas.

Al-Ma’din juga merupakan rikâz. Selain karena makna secara bahasa mencakup, juga didukung oleh beberapa riwayat. Ibnu Abi ‘Ashim di dalam Al-Atsâr wa al-Matsâniya dan ath-Thabarani di dalam Mu’jam al-Kabir meriwayatkan Nabi saw. bersabda (penggalannya):

وَفِي السُّيُوبِ الْخُمُسُ…

…dan pada as-suyub wajib (dipungut) khumus (seperlima).

 

As-Suyûb adalah jamak dari as-sayb, yakni urat emas dan perak yang terbenam di dalam tanah. Ini termasuk ma’din.

Humaid bin Zanjawaih an-Nasai di dalam Al-Amwâl li Ibni Zanjawaih menyebutkan bahwa Ali bin Abiy Thalib ra. menjadikan al-ma’din sebagai rikíz dan mewajibkan khumus di dalamnya. Riwayat semisalnya juga diriwayatkan dari az-Zuhri. Al-Baihaqi meriwayatkan dari hadis Makhul bahwa Umar bin al-Khathab ra. menjadikan al-ma’din pada posisi rikâz. Di dalamnya ada kewajiban khumus.

Jadi rikâz mencakup harta dan mineral tambang yang ada di dalam tanah. Hanya saja, terkait dengan mineral tambang (al-ma’din), menurut hadis Abyadh bin Hamal, ada yang termasuk milik umum. Begitu pula yang tertimbun di dalam tanah selain berupa mineral tambang, juga ada dalam asli seperti pasir dan batu. Lalu apakah semua termasuk rikâz, atau sebagiannya bukan rikâz?

Al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm menyatakan: “Patokannya, apa yang tersimpan di dalam tanah karena perbuatan manusia atau jumlahnya terbatas tidak sampai kadar di mana jamaah atau komunitas memiliki keperluan di dalamnya, maka itu adalah rikâz. Apa yang bersifat asli (bukan buatan manusia) dan jamaah atau komunitas memiliki keperluan di dalamnya tidak merupakan rikâz. Itu merupakan milik umum. Adapun apa yang sifatnya asli (bukan buatan manusia) tetapi jamaah atau komunitas tidak memiliki keperluan di dalamnya, seperti tempat penambangan batu yang darinya dikeluarkan batu untuk bangunan dan lainnya maka bukan merupakan rikâz dan bukan pula milik umum. Itu masuk dalam kepemilikan individu. Kepemilikan rikâz dan pengeluaran seperlimanya hal itu telah ditetapkan di dalam hadis.”

Hadis-hadis di atas jelas menyatakan bahwa pengeluaran rikâz menjadikan rikâz yang dikeluarkan itu menjadi milik orang yang mengeluarkannya setelah seperlimanya dibayarkan ke Baitul Mal. Dengan begitu, mengeluarkan kandungan bumi atau rikâz menjadi salah satu sebab kepemilikan harta. Al-‘Allamah an-Nabhani rahimahulLâh menyatakan, “Dengan jenis aktivitas mengeluarkan apa yang ada di dalam bumi dengannya juga dikaitkan aktivitas mengeluarkan apa yang ada di udara, seperti mengekstrak oksigen dan ozon. Demikian pula mengeluarkan apa saja yang diciptakan oleh Allah yang dibolehkan oleh syariah dan dibolehkan untuk dimanfaatkan.”

WalLâh a’lam wa ahkam. [Yahya Abdurrahman]

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixteen − three =

Check Also
Close
Back to top button