Iqtishadiyah

Di Balik Anjloknya Lira

Perang dagang antara Turki dan Amerika Serikat sempat menjadi perbincangan para ekonom dunia. Salah satu isu yang menjadi pemicu perang dagang tersebut adalah seorang pastor AS yang dituduh melakukan kegiatan mata-mata dan aktivitas teror terkait kudeta gagal di Turki sekitar dua tahun lalu. Pastor ini mengaku tidak bersalah terhadap tuduhan-tuduhan itu. AS lalu mengenakan sanksi ekonomi dengan menaikkan tarif impor baja dan alumunium. AS pun mengancam akan melakukan lebih banyak sanksi. Akibatnya, mata uang Lira terus mengalami gejolak pelemahan terhadap Dolar Amerika Serikat (AS). Pelemahan mata uang ini telah terjadi sejak awal tahun 2018. Seperti dikutip CNBC.com, Senin (13/8/2018), pelemahan mata uang Turki ini bahkan telah mencapai 66% sejak awal tahun 2018. Lira mencapai rekor terendah 6,51 perDolar pada Jumat pekan lalu.

Presiden Erdogan melancarkan serangan balik dengan menyatakan akan memboikot seluruh barang elektronik buatan Amerika Serikat. “Jika Amerika Serikat memiliki iPhone, akan kita ganti dengan Samsung dari Korea Selatan yang banyak di pasaran atau kita membeli Vestel buatan dalam negeri.”

Erdogan juga menyeru seluruh rakyat Turki menjual simpanan emas, Dolar atau Euro yang mereka pegang untuk ditukarkan ke mata uang nasional, Lira. Saat ini, Lira melemah hingga kurang lebih 45 persen dari mata uang asing. Menurut Erdogan, pelemahan itu disebabkan Turki menjadi sasaran perang dagang oleh Amerika Serikat. “Kita akan lawan Amerika Serikat. Seluruh perusahaan atau pengusaha jangan ramai-ramai memburu Dolar agar mata uang kita kuat,” desak Erdogan kepada para pengusaha Turki.

Betulkah penyebab melemahnya Lira terhadap Dolar adalah karena perang dagang Turki Amerika? Mampukah Turki melawan Amerika dalam perang dagang ini?

 

Fluktuasi Nilai Lira

Ketika Kekhilafahan Turki Ustmani hancur tahun 1924, Turki Sekuler mengganti mata uang emas dan perak dengan mata uang kertas yang disebut dengan Lira. Pada Tahun 1927 ditetapkan Lira dengan kurs sekitar 1 Dolar. Mulailah cerita terpuruknya mata uang Turki. Krisis Tahun 1933 menyebabkan penurunan nilai Lira turun 50 % sehingga satu Dolar menjadi setara dua Lira. Puncaknya krisis dan keterpurukan Lira terjadi tahu 2001. Waktu itu Lira terpuruk begitu dalam sampai satu Dolar menjadi sekitar 1.650.000. Peristiwa ini menyebabkan pemerintahan Ajawed yang pro Inggris jatuh dan dilanjutkan Pemilu 2002 dengan kemenangan Erdogan.

Pemerintahan Erdogan membentuk pemerintahan dengan dukungan Amerika. Salah satu kebijakan fenomalnya di bidang moneter adalah melakukan redenominasi pada tahun 2005. Melalui redenomiasi yang disetujui oleh Parlemen dengan memangkas enam angka nol dimulai dari 1/1/2005. Akhirnya, satu Dolar setara 1,79 Lira.

Akan tetapi, hal itu tidak bertahan lama. Sejak tahun 2013, Lira mulai kembali terpuruk. Tercatat Lira terpuruk selama sembilan bulan sampai awal tahun 2014. Lira kehilangan 30% nilainya.

Keterpurukan Lira itu tidak berhenti hingga hari ini. Pemerintahan Erdogan telah berupaya membatasi keterpurukan itu dan menjaga kestabilan kurs Lira tetapi tidak mampu. Lira mulai terpuruk secara mencolok sejak awal tahun ini. Hingga pertengahan tahun 2018, Lira telah kehilangan sekira 21% dari nilainya pada awal tahun lalu.

Pada 26 Juli tahun 2018, krisis muncul ke permukaan secara mencolok. Hal itu ketika Trump dan wakilnya Mike Pence mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap Turki jika tidak segera melepaskan Pastur Brunson, Kemudian Lira makin menurun pada akhir bulan Juli lalu. Kurs Lira menjadi satu Dolar senilai 4,91 Lira (Sky News Arabic, 24/7/2018).

Untuk menangani krisis dengan Washington, Ankara segera mengirim delegasi diketuai oleh Wakil Menteri Luar Negeri Turki pada 7 Agustus untuk bernegosiasi dengan Menlu Amerika untuk membahas krisis Pendeta Brunson. Perundingan kedua pihak tidak mencapai hasil. Begitu delegasi Turki memulai perjalanan kembali ke Turki pada 9 Agustus 2018, Trump menyiramkan minyak ke api dalam tweet-nya di akun Twitter-nya pada Jumat 10 Agustus 2018. Trump mengumumkan kenaikan cukai baja dan aluminium dari Turki. Cukai aluminium dinaikkan menjadi 20% dan baja 50%. Akibatnya, Lira terpuruk lagi. Lira terpuruk mencapai rekor baru 7,24 Lira per satu Dolar dalam transaksi pagi di Asia dan Pasifik. Mata uang Turki, Lira, kehilangan sekira 40% nilainya sejak awal tahun.

Selama satu minggu kedua Agustus saja, Lira kehilangan 20% nilainya terhadap Dolar. Trump menambahkan, “Saya mengeluarkan perintah untuk melipatgandakan cukai baja dan aluminium.” (https://arabi21.com, 10/8/2018).

 

Fundamental Ekonomi dan Perang Dagang

Krisis moneter yang terjadi di Turki saat ini sebenarnya adalah perpaduan antara fundamental ekonomi Turki yang rapuh karena pembangunan ekonomi berbasis utang ribawi dan kepentingan politik dagang Amerika untuk melemahkan nilai tukar Euro. Lira dijadikan alat untuk menekan nilai Euro.

 

Fundamental Ekonomi Rapuh

Pertumbuhan ekonomi Turki sempat mendapat pujian karena menjadi salah satu negara tercepat pertumbuhannya sempat menembus 7,4 persen pada tahun 2017. Namun, saat ini Turki menghadapi situasi yang mengarah pada krisis ekonomi. Kondisi ini sebenarnya bukan hal yang aneh. Pertumbuhan ekonomi Turki yang sering mendapat pujian terutama dari tokoh-tokoh Islam di Indonesia ternyata bertumpu pada ekonomi kapitalis. Di antaranya utang ribawi. Jumlah utang besar, terutama sektor swasta, selama sepuluh tahun terakhir. Menurut data Kementerian Keuangan Turki, per September 2017 total utang luar negeri Turki mencapai 438 miliar Dolar. Beban bunga atau riba tahun 2017 mencapai 11 miliar dan 43 miliar tahun 2018. Bahkan kwartal pertama tahun 2018 naik lagi menjadi 466,1 miliar Dolar (Anadolu Agency, 29/6/2018).

Sebagian utang tersebut memang berasal dari sektor swasta, tetapi digunakan untuk membiayai proyek proyek pemerintah. Ini dilakukan Erdogan selama sepuluh tahun terakhir guna mengurangi utang Pemerintah. Erdogan menawarkan proyek-proyek ini kepada sektor swasta yang berutang dari luar negeri untuk menjalankannya. Hal ini sebagai strategi politik supaya Pemerintah bisa terus berbangga dengan sedikitnya utang luar negeri Pemerintah. Faktanya, walaupun utang swasta, hal ini berpengaruh terhadap ekonomi nasional sehigga inflasi di Turki tahun 2017 mencapai 10,1%.

Hal ini diperparah dengan defisit neraca perdagangan karena terlalu banyak impor dibandingkan ekspor hingga meningkat hingga mencapai 37,5% dibandingkan dengan tahun lalu. Nilainya mencapai 77,06 miliar Dolar selama tahun 2017. Nilai ekspor Turki mencapai 157,1 miliar Dolar. Impornya 234,156 miliar Dolar Amerika tahun 2017 (Televisi dan Radio Turki, 3/8/2018).

Kondisi ini memperparah inflasi sehingga inflasi saat ini menjadi 16% dibandingkan dengan tahun lalu yang 10%. Tentu ini tidak sesuai dengan target Bank Sentral Turki yang menargetkan tingkat inflasi sebesar 5% agar mencapai standar Eropa.

Utang dan defisi neraca perdagangan ini mungkin menjadi landasan bagi lembaga pemeringkat rating untuk menurunkan rating Turki sehingga membuat kondisi ekonomi Turki makin memburuk. Lembaga pemeringkat Moody mengatakan, “Pelemahan kronis mata uang Turki memiliki dampak negatif terhadap rating utang negara dan menjadi masalah untuk ekonomi.” Moody juga menyebutkan rendahnya cadangan devisa Turki” (Reuters, 14/4/2018).

Akhirnya, Moody menurunkan rating Turki dari BA1 menjadi BA2 pada 13/3/2018. Lembaga Pemeringkat lainnya, Standard & Poors, mengikuti jejak Moodys pada tanggal 2/5/2018 menurunkan rating Turki dari BB menjadi BB-. Lembaga ini mengatakan, “Penurunan rating merujuk pada kekhawatiran kami terkait terpuruknya outlook inflasi, penurunan jangka panjang kurs dan volatilitas mata uang Turki.” (Reuters, 2/5/2018).

Hal itu membuat para kreditur takut memberikan utang tambahan kepada Turki dan berikutnya para kreditur itu menuntut pembayaran kembali utang yang telah diberikan. Kondisi ini semakin meningkatkan permintaan terhadap semua mata uang kuat dari pasar untuk membayar utang sehingga kurs Lira makin terpuruk.

 

Perang Dolar vs Euro

Penguatan nilai Euro terhadap Dolar membuat Amerika Serikat merasa khawatir. Karena itu Pemerintahan Donal Trump terus berupaya untuk melemahkan nilai Euro dan menguatkan Dolar. Beberapa langkah yang pernah dilakukan Trump di antaranya: Pertama, memanfaatkan penurunan suku bunga di zona Euro dan kenaikan suku bunga di Amerika untuk mendorong modal bermigrasi dari Eropa ke Amerika untuk mendapatkan bunga yang tinggi. Amerika memprediksi perpindahan dana akan menurunkan Euro terhadap Dolar. Namun, hasilnya tidak seperti yang mereka inginkan. Sebaliknya, Euro terus menguat terhadap Dolar. Hal itu karena Bank Sentral Eropa memulai langkah-langkah efektif untuk mengetatkan kebijakan moneter dan menurunkan atau menghentikan pembelian obligasi, dalam apa yang disebut monetery easing. Hal itu menyebabkan perpindahan dana dari Amerika Serikat ke Eropa dan Asia untuk mencari imbal balik yang lebih baik atas investasi. Dengan demikian langkah ini gagal menguatkan Dolar.

Kedua, Trump sengaja menurunkan impor dan meningkatkan ekspor untuk menyeimbangkan neraca perdagangan untuk pihaknya sehingga menguatkan Dolar. Trump lalu menetapkan cukai atas beberapa komoditas impor (www.dw.com, 31/5/2018).

Kedua upaya tersebut gagal menguatkan Dolar terhadap Euro.

Kemudian Trump menemukan strategi berharga, yaitu membuat Lira Turki terpuruk. Dengan meningkatkan tekanan terhadap Lira Turki, itu bisa berdampak terhadap Euro. Kondisi ini diharapkan memukul pasar keuangan di Eropa dengan memicu kepanikan di pasar keuangan Eropa. Ini karena intensifnya transaksi keuangan antara Eropa dan Turki. Pasalnya, mayoritas investasi di Turki adalah investasi Eropa.

Total pertukaran perdagangan Turki yang terbesar adalah dengan Eropa. Mencapai 160 miliar Dolar tahun 2017. Kedua pihak (Turki dan Uni Eropa) mulai memperbarui perjanjian kesatuan cukai yang ditandatangani tahun 1995 dengan tujuan meningkatkan transaksi perdagangan menjadi 200 miliar Dolar dalam satu setengah tahun. Lalu dalam lima tahun ditingkatkan lagi agar mencapai 500 miliar Dolar. Hal itu sesuai dengan apa yang diumumkan oleh Menteri Perekonomian Turki Nihat Zeybekci (Middle East, 29/9/2017).

Adapun total transaksi perdagangan antara Turki dan Amerika sebesar 18,7 miliar Dolar. Ditambah ekspor Amerika ke Turki sebesar 7,2 miliar selama 11 bulan pada masa Trump (Anadolu Agency, 21/1/2018).

Atas dasar itu, keguncangan apapun dalam perekonomian Turki dan berikutnya pada Lira Turki akan memicu kepanikan kuat dalam perekonomian Eropa. Kepanikan finansial ini terjadi sesuai dengan yang diprediksi. Hal ini terbukti, Bank Sentral Eropa semakin khawatir tentang eksposur bank zona Euro ke Turki, terutama bank Prancis BNP Paribas, bank Spanyol BPA dan UniCredit Italia. Ketiga bank ini memiliki operasi besar di Turki. Saham ketiga bank tersebut turun sekitar 3%. Jadi Eropa telah terpengaruh oleh apa yang terjadi di Turki. Hal ini karena investasi Eropa di Turki dan utang Turki kepada Eropa serta volume perdagangan antara kedua pihak.

Berdasarkan grafik terakhir dari The Bank for International Settlements (BIS), utang yang diberikan oleh bank-bank Eropa ke Turki mencapai 224 miliar Dolar (sekitar 200 miliar Euro). Mayoritasnya piutang milik bank-bank Spanyol. Bank-bank itu khawatir paparannya terhadap krisis di Turki. Saham-saham sebagian bank Eropa telah menurun 10-20 persen seiring dengan terpuruknya Lira disebabkan piutang bank-bank itu di Turki (Sky News, 31/5/2018).

Hal lain yang semakin membuat Uni Eropa panik adalah keterlambatan membayar utangnya akibat nilai Lira menurun. Para investor Turki berutang ke bank-bank Spanyol senilai 82,3 miliar Dolar, ke bank-bank Prancis senilai 38,4 miliar Dolar, dan ke bank Italia 17 miliar Dolar dalam campuran mata uang lokal dan asing. Dari sini alarm tanda bahaya berbunyi keras di Eropa. Bank-bank Spanyol BBVA, UniCredit Italia dan korporasi Prancis BNP Paribas telah kehilangan nilai sahamnya (https://www.ft.com/content/51311230-9be7-11e8-9702-5946bae86e6d).

Berbagai laporan mengindikasikan bahwa korporasi-korporasi besar Turki berutang lebih dari 220 miliar Dolar. Korporasi-korporasi itu mengajukan permintaan kepada Pemerintah untuk perlindungan dari kreditur setelah terpuruknya Lira. Di antara korporasi itu adalah Doًu‏ Group yang dijalankan oleh miliarder Frit Shahenk yang meminta kepada bank-bank untuk merestrukturisasi utang dengan mata uang asing senilai miliaran Dolar. Beberapa estimasi menyebutkan, total utang yang diminta untuk direstrukturisasi mencapai 20 miliar Dolar.

Hal yang sama diumumkan oleh Federasi Kamar Dagang dan Industri Jerman, bahwa setar 6.500 korporasi Jerman yang ada di Turki terdampak oleh kodisi ketidakmenentuan yang melanda perekonomian Turki. Federasi juga mengindikasikan bahwa korporasi-korporasi Jerman mulai memalingkan perhatian dari rencana menggelontorkan investasi baru di pasar Turki (www.lebanon24.com, 13/8/2018).

Akhirnya harapan Trump terwujud. Kurs Dolar AS menguat terhadap mata uang lainnya. Di antaranya Euro. Kecemasan pasar tentang eksposur bank bank Eropa ke Turki juga menekan Euro sehingga Euro menyentuh angka 1,1365 Dolar AS pada Senin (13/8) terendah sejak Juli 2017.

 

Penutup

Peraih Hadiah Nobel Ekonomi Paul Krugman pernah menyebutkan adanya ketidakadilan dalam sistem mata uang dunia. Saat negara lain harus berjuang dengan fluktuasi nilai tukar yang selalu bergejolak, AS menjadi satu-satunya negara yang tidak pernah terimbas karena mata uang yang mereka pergunakan ialah Dolar AS. Krugman menunjuk banyak negara akhirnya menjadi korban dari gejolak nilai tukar. Salah satunya ia sebut pengalaman Indonesia pada krisis keuangan 1997. Utang Indonesia yang sebelumnya masih di bawah 60 persen dari produk domestik bruto tiba-tiba melonjak menjadi 170 persen dari PDB hanya karena penurunan nilai mata uang yang tajam dalam beberapa bulan.

Pernyataan Krugman tersebut semakin menegaskan bahwa sistem moneter kertas (fiat money) sebenarnya merupakan alat penjajahan yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk mempengaruhi kondisi ekonomi sebuah negara. Itulah mengapa Amerika membatalkan Bretton Woods System melalui Dekrit Presiden Nixon pada tanggal 15 Agustus 1971. Isinya antara lain, USD tidak lagi dijamin dengan emas dan tetap memaksakan dolar menjadi mata uang internasional untuk cadangan devisa negara-negara di dunia.

Karena itu sudah saatnya negeri negeri Muslim untuk menghentikan dominasi Dolar dan uang kuat lainnya. Berpindah ke sistem moneter emas dan perak sehingga tercipta keadilan dalam perdagangan dunia. Kembalinya mata uang dinar-dirham hanya bisa dilakukan oleh negara yang kuat yang menerapkan syariah Islam dan mampu untuk menghadapi negara, institusi dan regulasi global yang berdasarkan kapitalis. Negara itu tidak lain adalah Negara Khilafah Rasyidah Islamiyah yang sedang diperjuangkan oleh sebagian umat Islam saat ini. [MAN/LM, dari berbagai sumber]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ten + eight =

Back to top button