Iqtishadiyah

Konsesi dan Investasi Hanya Untuk Kepentingan Oligharki

Investasi memainkan peran penting dalam pertumbuhan ekonomi. Investasi dianggap sebagai salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan output ekonomi. Secara makro, investasi sering berasal dari surplus tabungan yang tersedia dalam masyarakat. Karena itu, untuk meningkatkan investasi, tingkat tabungan domestik masyarakat perlu ditingkatkan.

Namun, dalam situasi negara memiliki defisit tabungan atau ketidakmampuan untuk mendanai investasi dalam skala yang diinginkan, negara dapat mengundang modal asing. Dalam upaya untuk menarik investasi, pemerintah di negara-negara kapitalisme memberikan berbagai jenis insentif kepada para investor. Beberapa insentif tersebut meliputi insentif fiskal seperti pembebasan pajak, zona ekonomi khusus, perizinan yang mudah, dan pembebasan bea masuk dan pajak ekspor. Pemberian konsesi atau izin atas hak pengelolaan kepada para investor atas sumberdaya alam atau operasi bisnis tertentu juga merupakan strategi yang umum digunakan. Beberapa contoh konsesi tersebut adalah konsesi untuk pengelolaan tambang dan minyak bumi, pengelolaan hutan, serta pembangunan dan pengelolaan fasilitas umum seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, pembangkit listrik, dan pelayanan air dan air limbah.

Pemerintah Indonesia juga aktif memberikan insentif untuk mendorong investasi swasta, baik dalam maupun luar negeri. Salah satunya adalah pemberian konsesi penguasaan lahan kepada para investor di berbagai sektor seperti kehutanan, perkebunan dan pertambangan. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, masa HGU dapat berlangsung paling lama selama 35 tahun, dan dapat diperpanjang hingga 25 tahun, serta dapat diperbarui hingga 35 tahun. Pemberian konsesi ini sebagian besar merupakan kelanjutan dari model konsesi yang diterapkan pada masa penjajahan Belanda. Bahkan untuk menarik investasi di Ibukota Negara (IKN), Pemerintah bersama DPR telah menyetujui UU yang memberikan HGU kepada para investor hingga 190 tahun.

Di sektor pertambangan, Pemerintah telah memberikan berbagai keistimewaan investasi bagi para investor. Pada tahun 1967, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, yang mengatur pemberian konsesi tambang kepada pihak swasta. UU ini diinisiasi oleh kekosongan hukum ketika Freeport Sulphur Company (Freeport McMoRan) ingin berinvestasi pada tambang emas dan tembaga di Papua. Freeport kemudian mendapatkan konsesi selama 30 tahun, yang kemudian diperpanjang menjadi 50 tahun. Pada tahun 2020, Pemerintah dan DPR sepakat merevisi UU Minerba untuk memberikan perpanjangan usaha kepada beberapa perusahaan batubara raksasa swasta yang hampir habis masa konsesinya.

Pemerintah Indonesia juga mendorong investasi di sektor migas dengan memberikan konsesi pengelolaan migas kepada perusahaan swasta baik asing maupun domestik. Berdasarkan UU No. 22/2001, jangka waktu Kontrak Kerja Sama Migas dapat berlangsung paling lama selama 30 tahun, yang dapat diperpanjang hingga 20 tahun. Sejarah perusahaan migas di Indonesia dimulai pada masa penjajahan Belanda, yang memberikan konsesi kepada perusahaan minyak Belanda, Royal Dutch Shell, di Sanga-Sanga, Kalimantan Timur pada tahun 1897. Sejak saat itu, berbagai perusahaan asing seperti Petrochina, ConocoPhillips, Shell, Total Energies EP, dan ExxonMobil telah beroperasi di Indonesia.

Di sektor kehutanan, Pemerintah Indonesia juga memberikan konsesi kepada beberapa perusahaan untuk mengeksploitasi hutan-hutan dalam bentuk konsesi kebun kayu, konsesi penebangan kayu, dan/atau konsesi logging. Menurut Walhi dan Augri (2022), pada tahun 2022, konsesi logging mencakup area seluas 19 juta hektar. Sepuluh grup teratas menguasai 4,3 juta hektar, sementara luas alokasi kebun kayu mencapai 11,3 juta hektar pada tahun 2021. Beberapa perusahaan dominan termasuk Pemasok APP (Sinarmas Group) dengan luas 1,55 juta hektar, Tanoto Group (APRIL. TPL) dengan luas 1,14 juta hektar dan APP (Sinarmas Group) dengan luas 1,06 juta hektar.

Pemerintah juga melepaskan lahan hutan untuk industri perkebunan. Pada Juli 2022, total luas lahan konsesi yang diberikan oleh Pemerintah mencapai 8,6 juta hektar, dengan perkebunan sawit mendapat alokasi terbesar. Beberapa perusahaan besar yang mendapatkan lahan mencakup PTPN (585 ribu ha), Sime Darby (181 ribu ha), Royal Golden Eagle (166 ribu ha), Astra Agro Lestari (152 ribu ha), dan Sinar Mas (136 ribu ha) (Walhi dan Auriga, 2022).

 

Dampak Konsesi dan Investasi

Kehadiran investasi melalui berbagai insentif, termasuk dalam bentuk pemberian konsesi, telah mendorong pertumbuhan di masing-masing sektor, meningkatkan nilai tambah ekonomi, serta menciptakan lapangan kerja. Meskipun demikian, dampak dari investasi dan pemberian konsesi tersebut telah menciptakan dampak negatif. Di antaranya:

Pertama, menciptakan ketimpangan ekonomi yang luas. Sebagai contoh, total tanah yang diberikan pemerintah dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan yang mencapai 36,8 juta hektar, sebanyak 92 persen diberikan kepada korporasi, sementara yang diberikan kepada rakyat hanya 3,1 juta hektar atau sekitar 8% (Walhi dan Auriga, 2022).

Menurut Chancel et al. (2021), pada 2021, 1% persen penduduk terkaya Indonesia menguasai 29,4% total aset kekayaan, dan 10% penduduk terkaya menguasai 60,2% aset kekayaan di Indonesia.

Kedua, menyebabkan penguasaan sektor-sektor ekonomi hanya pada segelintir korporasi, seperti yang disebutkan di atas. Peran rakyat terpinggirkan. Hal ini juga menjadi penyebab tingginya tingkat kesenjangan di Indonesia, baik dari aspek konsumsi ataupun kepemilikan aset. Peran BUMN dan BUMD pada berbagai sektor, seperti pertambangan dan perkebunan, cenderung minimal dibandingkan pelaku swasta, termasuk asing.

Ketiga, keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya alam tersebut lebih banyak mengalir kepada swasta dibandingkan kepada negara. Dengan demikian, pendapatan negara menjadi tidak optimal karena hanya bersumber dari pajak dan non-pajak. Kondisi tersebut juga mengakibatkan terganggunya Neraca Pembayaran Indonesia. Ini terindikasi dari besarnya nilai transfer modal ke luar negeri yang merupakan pendapatan dari investor asing di Indonesia ke negara asal mereka. Pada tahun 2022, misalnya, nilainya mencapai USD 36 miliar atau sekitar Rp 558 triliun, atau lebih dari separuh surplus ekspor barang yang mencapai USD 62 miliar (Bank Indonesia, 2023).

Keempat, peningkatan harga pelayanan barang milik umum yang dikelola oleh swasta berdampak pada tereliminasinya sebagian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka. Pengelolaan infrastruktur dasar, seperti listrik, air dan gas kepada swasta menyebabkan harganya sering naik sehingga semakin sulit dijangkau khususnya kalangan menengah-bawah. Kenaikan harga akibat konsesi tersebut dapat dilihat pada konsesi jalan tol yang naik setiap tahun agar pemilik konsesi tetap untung. Kenaikan harga listrik kerap terjadi agar perusahaan swasta yang mendapatkan konsesi untuk memasok daya kepada PLN untuk dijual kepada konsumen tetap untung. Kondisi tersebut berdampak pada besarnya biaya listrik yang harus ditanggung rumah tangga dan pelaku usaha, khususnya segmen kelas menengah-bawah.

Kelima, pemberian konsesi kepada perusahaan swasta termasuk asing juga mendorong peningkatan kerusakan lingkungan. Alasannya, perusahaan-perusahaan swasta berdiri untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Tanggung jawab para direksi dan komisaris kepada pemegang saham, bukan kepada rakyat. Akibatnya, menjadi jamak berbagai aksi korporasi mereka sebesar-besarnya untuk mendapatkan profit, meskipun berdampak negatif bagi pihak lain, seperti pencemaran air, udara, dan tanah, yang memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Perusahaan-perusahaan tambang batubara dan timah di Indonesia, misalnya, membiarkan lubang-lubang tambang mereka terbengkalai tanpa melakukan reklamasi. Eksploitasi yang dilakukan perusahaan tambang nikel telah mengakibatkan kerusakan lingkungan di sekitar tambang. Banjir menjadi sering terjadi. Air sungai dan laut menjadi keruh sehingga penduduk kesulitan mendapatkan air bersih dan kesulitan untuk menangkap ikan yang menjadi mata pencaharian mereka.

Keenam, pemberian konsesi kepada perusahaan negara-negara asing juga berdampak pada pembengkakan utang pemerintah sehingga anggaran lebih banyak tersedot untuk membayar cicilan dan bunga ketimbang untuk membangun negara. Dalam banyak kasus, pembangunan proyek-proyek Pemerintah didanai lewat utang dari negara-negara kreditur dan konsesi kepada negara pengutang. Akibatnya, utang negara semakin menumpuk, sementara proyek dikuasai oleh negara kreditur. Contoh ini terlihat pada pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung. Pemerintah tidak hanya harus membayar utang dengan bunga mahal dari Cina, tapi konstruksi dan bahan bakunya juga berasal dari negara itu.

 

Investasi dalam Islam

Dalam perspektif Islam, pilar ekonomi terdiri dari aspek kepemilikan, pengembangan dan distribusi. Investasi sendiri merupakan bagian dari proses pengembangan harta selain konsumsi. Seluruh kegiatan ini harus sesuai dengan hukum syariah, termasuk investasi.

Dalam konteks investasi, sumber pendanaan harus berasal dari sumber-sumber yang sah. Oleh karena itu, investasi tidak boleh dibiayai oleh sumber-sumber yang ilegal, seperti saham dan pendanaan ribawi. Dari segi objek investasi, jenis investasi harus sesuai dengan kategori kepemilikan objek investasi. Investor swasta hanya dapat berinvestasi di sektor-sektor yang masuk dalam kepemilikan individu. Kepemilikan individu mencakup sektor-sektor yang bukan kepemilikan umum atau negara, serta melibatkan investasi pada aktivitas yang tidak dilarang menurut syariah, seperti jasa keuangan kapitalistik, termasuk perbankan ribawi, koperasi, asuransi, dan perseroan terbatas.

Barang-barang yang termasuk dalam kepemilikan umum mencakup sumberdaya alam yang jumlahnya melimpah seperti migas, mineral (seperti emas, tembaga, bauksit, dan nikel), batubara, dan sektor kehutanan. Barang-barang yang termasuk kepemilikan negara mencakup harta kharaj dan fai, serta bangunan-bangunan yang menjadi milik negara, seperti gedung-gedung pemerintahan. Pelaku usaha swasta dapat berinvestasi di sektor-sektor seperti pertanian, pertambangan dalam skala kecil, industri manufaktur, dan jasa-jasa yang halal.

Karena itu, jika pabrik memproduksi barang-barang haram seperti minuman keras atau makanan yang mengandung babi, maka pabrik tersebut dianggap haram. Demikian pula jika pabrik memproduksi barang-barang tambang yang merupakan milik umum, maka pabrik tersebut juga dianggap sebagai barang milik umum. Ketentuan ini juga didasarkan pada kaidah:

اَلْمَصْنَعُ يَأْخُذُ حُكْمَ الْمَدَّةِ الَّتي يَصْنَعُهَا

Pabrik itu hukumnya mengikuti hukum barang yang diproduksi/dihasilkan.

 

Adapun investasi asing secara langsung (Foreign Direct Investment) untuk membangun industri manufaktur, pertanian atau perdagangan perlu dicermati. Jika investasi tersebut menjadi jalan untuk memperluas pengaruh orang-orang atau negara kafir atas negara Islam, maka ia adalah haram. Hal ini sejalan dengan kaidah fikih: ‘sarana menuju yang haram adalah juga haram.

Namun, jika eksploitasi tersebut tidak mengarah pada perluasan pengaruh negara-negara kafir atau mengarah pada kerusakan (dharar), seperti mengungkapkan potensi dan rahasia ekonomi kaum Muslim, melakukan pemborosan kekayaan mereka dan mengalirkan ke luar negeri, menghambat revolusi industri mereka, atau memperkuat musuh mereka, maka dalam kasus tersebut dapat dianggap halal, sebagaimana halnya pinjaman lain yang tidak menyebabkan kerusakan (Ilan, 1998). Ini pun dengan catatan bukan pada sektor terlarang, seperti pertambangan yang merupakan barang milik umum.

Dalam kenyataannya, investasi dan konsesi di negara-negara Muslim yang diberikan kepada perusahaan asing dalam mengelola kekayaan alam (seperti Aramco di Arab Saudi dan Shell di Kuwait) dan perusahaan asing lainnya yang beroperasi di negara-negara Muslim lainnya yang kaya akan mineral seperti fosfat, uranium, dan tembaga, justru merugikan umat Muslim. Pasalnya, para investor tersebut menetapkan syarat-syarat yang merugikan umat Muslim. Oleh karena itu, investasi dan konsesi semacam itu jelas haram karena merusak kedaulatan negara Islam dan memberikan kekuasaan kepada negara kafir atas negeri umat Muslim, yang jelas-jelas haram (Shadiq, 2009).

Karena itu Negara Islam akan mengoptimalkan investasi dari dalam negeri agar mampu menjadi negara yang mandiri dan bebas dari intervensi asing. Untuk pembiayaan proyek-proyek pemerintah, misalnya, negara dapat mengoptimalkan Baitul Mal, penarikan pajak secara syar’i, pinjaman dari warga negara, percepatan pembayaran zakat, dan penjualan atau penyewaan sebagian harta negara (bukan harta milik umum) kepada penduduk.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab [Muis]

 

Referensi:

Bank Indonesia (2023). Neraca Pembayaran Indonesia Tw-II. https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan/Documents/NPI_Tw-II_2023.pdf

Chancel, L., Piketty, T., Saez, E., Zucman, G. et al. (2021).  World Inequality Report 2022, World Inequality Lab wir2022.wid.world

Ilan, Muhammad  (Abu Musa) (1998). Siyaasah Tamwil Al-Mashari’. Majallah Al-Waie (Arab) No. 135 – Rabi’ Al-Thani 1419 H (August 1998 M). https://www.al-waie.org/archives/article/7376

Shadiq, Abu (27 Oktober 2009). Syarh Mawad al-Nizam al-Iqtisadi Fi al-Islam Syarh al-Maddah (165) Min Mashru’ Dustur Daulat al-Khilafah ( Mansyurat Hizb Al-Tahrir). https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/radio-broadcast/radioarchive/3780.html

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga Nusantara (2022). Indonesia Tanah Air Siapa: Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi. Jakarta, Indonesia.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

four + 17 =

Back to top button