Iqtishadiyah

Krisis Energi Uni Eropa

Inflasi Uni Eropa terus menanjak sejak akhir tahun lalu. Menurut perkiraan Komisi Uni Eropa, inflasi di kawasan negara pengguna mata uang Euro (Eurozone)  mencapai 10 persen pada September 2022. Di beberapa negara anggota Uni Eropa, inflasinya di atas 15 persen seperti Polandia, Czech, Bulgari, Latvia, Lithuania dan Estonia. Memang di beberapa negara, seperti Luxemburg, Norwegia dan Prancis masih di bawah 7 persen. Penyumbang terbesar melambungnya inflasi di Uni Eropa adalah harga energi yang naik sangat tinggi. Pada bulan September inflasi energi mencapai 40 persen. sementara itu, inflasi makanan sebesar 12 persen (Eurostat, 2022a).

Tingginya harga energi disebabkan oleh masih tingginya harga minyak mentah dan gas di pasar internasional. Invasi Rusia ke Ukraina telah menyebabkan negara-negara Barat menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Salah satunya adalah mengurangi impor energi dari negara itu. Padahal selama ini merupakan sumber utama impor energi Uni Eropa.

Pada tahun 2020,  impor minyak mentah Uni Eropa berasal dari Rusia (29%), Amerika Serikat (9%), Norwegia (8%), Arab Saudi dan Inggris (keduanya 7%) serta Kazakhstan dan Nigeria (keduanya 6%). Kemudian,  impor gas alam Uni Eropa terbesar berasal dari Rusia (43%), Norwegia (21%), Aljazair (8%) dan Qatar (5%). Lebih dari setengah bahan bakar fosil padat (sebagian besar batubara) impor berasal dari Rusia (54%), diikuti oleh Amerika Serikat (16%) dan Australia (14%) (European Commission, 2022).

Rusia juga telah mengurangi pasokan ke Uni Eropa berupa penghentian aliran gas melalui jalur Nord Stream 1, yang melintasi Laut Baltik hingga Jerman. Sebanyak 26 persen aliran gas ke Uni Eropa melalui pipa gas dibangun oleh Gazprom dan beberapa perusahaan energi Eropa. Mereka kemudian membangun Nord Stream 2 untuk meningkatkan kapasitas pengiriman gas ke Eropa. Namun, meskipun telah tuntas dipasang, aliran gas dari pipa itu belum berjalan terutama akibat invasi Rusia ke Ukraina. Belakangan kedua pipa tersebut bocor dengan dugaan sabotase.

Permintaan energi selama musim dingin, yang berkisar antara Desember hingga Februari,  akan meningkatkan permintaan gas dan listrik secara signifikan. Kondisi tersebut juga berpotensi mengerek harga energi lebih tinggi. Ditambah lagi, musim kemarau mengakibatkan pasokan listrik pembangkit listrik tenaga nuklir di berbagai negara anggota menurun akibat  kurangnya air pendingin yang tersedia. Pembangkit  listrik tenaga air juga turun.

Meskipun Uni Eropa telah menggalakkan penggunaan energi terbarukan, ketergantungan pada energi fosil masih sangat tinggi. Sebagai gambaran, menurut Eurostat (2022b), komposisi energi Uni Eropa tahun 2020 adalah  adalah minyak bumi (33%), gas alam (24%), energi terbarukan (18%), nuklir (13%), dan energi fosil solid, terutama dalam bentuk batubara (10%). Liberalisasi sektor migas dan listrik di Uni Eropa seperti Inggris, Swedia, Jerman dan Prancis, menyebabkan produsen mentransfer harga pasar langsung kepada konsumen.

Mahalnya harga energi tersebut berdampak luas bagi masyarakat dan pemerintah Uni Eropa.  Biaya pengeluaran rumah tangga, bisnis dan industri untuk energi membengkak. Beberapa restoran mengalami kenaikan biaya listrik sebesar 750 persen sejak awal tahun. Karena itu sebagian konsumen energi  mengurangi penggunaan energinya antara lima hingga 10 persen.  Di Paris, misalnya, pemerintah memutuskan untuk memadamkan fasilitas penerangan umum  lebih awal  dari biasanya.

Sebagai respon dari tingginya harga energi tersebut, pada 30 September 2022, Sekretaris Jenderal Uni Eropa telah mengusulkan peraturan mengenai intervensi darurat untuk mengatasi mahalnya harga energi tersebut. Di antaranya adalah  memperkenalkan penghematan daya dengan target wajib 5% selama jam sibuk dan pengurangan 10% sukarela dalam permintaan listrik secara keseluruhan; membatasi pendapatan pembangkit listrik yang tidak menggunakan gas untuk menghasilkan listrik, seperti tenaga surya, angin, nuklir, tenaga air, dan lignit;  mengenakan pajak atas  keuntungan surplus yang dihasilkan oleh perusahaan bahan bakar fosil (minyak mentah, gas, batu bara, dan kilang) hingga  33% (Council of the European Union, 2022).

Sebelumnya, sejak awal invasi Rusia ke Ukraina, negara-negara anggota Uni Eropa telah melakukan beberapa langkah untuk mengatasi krisis energi tersebut. Beberapa pemerintah Eropa, misalnya, membantu membayar biaya energi masyarakat,  membantu perusahaan energi membeli lebih banyak gas sehingga mereka dapat memenuhi permintaan mereka. Beberapa negara juga telah mengalihkan pasokan  gas mereka yang sebelumnya dari Rusia ke Norwegia, Azerbaijan dan LNG yang berasal dari Amerika Serikat.

Di sisi lain, kenaikan inflasi yang sangat tinggi tersebut berpotensi mendorong kembali European Central Bank (ECB)  menaikkan suku bunga acuannya pada bulan Oktober. Dalam dua pertemuan sebelumnya, ECB telah menaikkan suku bunga dengan total 125 basis poin. Kenaikan itu merupakan yang paling tinggi dalam sejarah bank sentral tersebut.  Pengetatan moneter tersebut tak ayal berpotensi mendorong kawasan itu masuk ke jurang resesi, sebagaimana pengalaman di negara-negara kapitalisme lainnya.

Celakanya, pada saat harga gas meningkat tajam tersebut, perusahaan-perusahan migas, termasuk yang berbasis di Eropa, mencatatkan laba fantastis. Dalam laporan pendapatan kuartal kedua tahun ini, seperti yang dikutip oleh Tharoor (2022), British Petroleum  membukukan laba bersih senilai $8,5 miliar, rejeki nomplok terbesar dalam 14 tahun. Laba bersih ExxonMobil bahkan lebih besar lagi, yakni sebesar $17,9 miliar, laba terbesar sepanjang sejarahnya. Perusahaan AS Chevron, Shell yang berbasis di London, dan Total Energies di Prancis juga mencatat laba yang luar biasa. Secara keseluruhan, lima perusahaan besar ini menghasilkan $55 miliar pada kuartal kedua tahun ini. Nilai itu setara dengan Rp 825 triliun. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antَnio Guterres bahkan menganggap kondisi tersebut sebagai sesuatu yang menjijikkan.  “Tidak bermoral bagi perusahaan minyak dan gas untuk membuat rekor keuntungan dari krisis energi ini, di punggung orang-orang termiskin dan biaya besar bagi iklim,” kata Guterres.

 

Membangun Ketahanan Energi 

Krisis energi di Uni Eropa  tersebut semestinya menjadi pelajaran bagi negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia, untuk menjadi negara yang mandiri dalam memasok kebutuhan energinya. Pasalnya, energi dan pangan telah menjadi alat politik untuk mempengaruhi sikap negara lain. Dalam sebuah kutipan yang dinisbatkan kepada Henry Kissinger, mantan menteri luar negeri AS, dikatakan, “Who controls the food supply controls the people; who controls the energy can control whole continents; who controls money can control the world.” (Siapa yang mengontrol pangan maka akan mengontrol manusia. Siapa yang mengontrol energi maka akan mengontrol seluruh daratan. Siapa yang mengontrol uang akan mengontrol dunia) (Warnock,  2010).

Oleh karena itu, Khilafah Islam, sistem pemerintahan yang berbasis akidah Islam dan menjadikan syariah Islam sebagai aturannya, akan mengelola energi sebagai sesuai dengan aturan Islam berdasarkan ijtihad Khalifah yang ditujukan untuk kemuliaan Islam, kemaslahatan negara dan umat Islam.

Beberapa bentuk kebijakan strategis yang dapat dilakukan, antara lain, sebagai berikut:

Pertama, pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumber energi fosil, seperti migas dan batubara, harus diserahkan kepada negara sebagaimana yang telah diatur di dalam Islam. Pengelolaan tersebut mencakup produksi, pengilangan dan distribusinya, termasuk di dalamnya kepemilikan infrastrukturnya. Dengan demikian penetapan harga dapat dikontrol langsung oleh negara. Pendapatan negara dari ekspor energi akan sangat besar ketika harga di pasar internasional mengalami lonjakan. Negara juga dapat mengendalikan penggunaan produksi, seperti mengutamakan pemenuhan konsumsi energi domestik dibandingkan dengan melakukan ekspor.  Adapun pendistribusian akan diserahkan kepada ijtihad Khalifah dengan memperhatikan kemaslahatan umat, apakah didistribusikan secara gratis, berdasarkan biaya produksinya, mengikuti harga pasar, atau dalam bentuk uang tunai (Zallum, 2004: 75).

Memang beberapa negara yang kaya cadangan minyak memiliki saham mayoritas atas perusahaan-perusahaan energi mereka. Namun, sebagian besar pendapatan perusahaan itu mereka   simpan ke lembaga investasi yang mereka bentuk (sovereign wealth fund) untuk diinvestasikan ke berbagai objek investasi, yang sebagian besar di dalam bentuk portofolio pasar modal di negara-negara maju, seperti surat utang AS dan saham perusahaan-perusahaan teknologi.  Negara Islam tentu tidak akan melakukan hal itu. Sebabnya, harta itu merupakan milik publik dan haram diinvestasikan pada objek-objek yang batil seperti saham, surat berharga, apalagi hal itu semakin memperkuat negara-negara daarul kufr. Sebaliknya, pendapatan tersebut akan digunakan untuk sebesar-besarnya untuk rakyat. Sebagiannya dapat diproteksi untuk kepentingan negara, seperti untuk membiayai jihad fi sabilillah, termasuk di dalamnya pengembangan industri militer yang membutuhkan anggaran besar.

Kedua, memperkuat investasi ekosistem infrastruktur energi fosil (minyak bumi, gas, dan batubara), baik dari sisi hulu, pengolahan, penyimpanan maupun distribusi. Di negara-negara maju mereka memiliki cadangan darurat energi khususnya minyak dan gas, yang relatif besar untuk menyimpan cadangan minyak dan energi mereka. Dengan demikian mereka masih bisa bertahan dalam beberapa waktu ketika terjadi disrupsi pasokan energi.

Mengingat cadangan energi fosil terus menipis, Negara Islam juga perlu melakukan diversifikasi sumber energi dengan mengembangkan energi nuklir, baik yang berasal dari uranium dan thorium maupun energi terbarukan, seperti surya, hidro, panas bumi, angin dan biomassa. Selain itu, investasi pengembangan industri manufaktur yang berhubungan dengan energi, seperti industri panel surya (photovoltaic) dan industri petrokimia, dilakukan untuk menghilangkan ketergantungan impor dan bahkan menjadi salah satu sumber penerimaan devisa.

Ketiga, menyatukan potensi produksi energi negeri-negeri Muslim untuk mempengaruhi pasar global. Negeri-negeri Muslim memiliki potensi energi yang sangat besar. Berdasarkan data SESRIC (OKI) dan EIA, potensi cadangan minyak mentah negara-negara OKI per 2020 sebesar 1,01 triliun barel atau 65% dari total cadangan dunia yang mencapai 1,55 triliun barrel. Adapun total cadangan gas dunia pada 2020 sebesar 7.257 total cubic feet (tcf), dan sekitar 4.137 tcf atau 57% berada di negara-negara Muslim. Dengan penyatuan negeri-negeri Muslim dalam satu institusi global, yakni Khilafah Islam, maka pasokan global dapat dikontrol oleh kaum Muslim.

Kondisi tersebut juga dapat menjadi posisi tawar politik yang efektif sekaligus sarana dakwah terhadap negara-negara lain. Sebagai contoh, pada tahun 1973, ketika anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak Arab (OAPEC) yang dipimpin oleh Arab Saudi mengembargo ekspor minyak ke negara-negara yang telah mendukung Israel selama Perang Yom Kippur, yaitu Kanada, Jepang, Belanda, Inggris dan Amerika Serikat. Harga minyak mentah naik 300% dari  US$3 perbarrel  menjadi hampir $12 perbarel. Dampaknya, negara-negara tersebut mengalami krisis energi dan ekonomi yang cukup parah (“1973 Oil Crisis,” 2022).

Keempat, menjadikan komoditas energi sebagai salah satu sumber pendapatan emas dan perak yang menjadi asas standar moneter atau mata utang negara Khilafah. Menurut  Rasytah (1990), kepemilikan Khilafah atas cadangan energi yang melimpah dan dibutuhkan negara-negara di dunia akan menjadi salah satu sumber penerimaan ekspor yang dapat disyaratkan untuk dibayar dengan emas dan perak atau komoditas tertentu, atau mata uang tertentu yang dibutuhkan untuk mengimpor barang dan jasa yang dibutuhkan oleh negara Khilafah. Negara juga dapat mencegah ekspor komoditas tersebut kecuali dibayar dengan emas sehingga cadangan emas mencukupi untuk membackup mata uang yang beredar di dalam negeri.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Muis]

 

Referensi:

1973 oil crisis. (2022, 17 September). Di Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/1973_oil_crisis#Impact_on_United_States

Council of the European Union. (2022, 29 September). Proposal for a COUNCIL REGULATION on an emergency intervention to address high energy prices. Diakses 9 Oktober 2022, https://www.consilium.europa.eu/media/59318/st12999-en22.pdf

European Commission (n.d.). From where do we import energy. Diakses 9 Oktober 2022, https://ec.europa.eu/eurostat/cache/infographs/energy/bloc-2c.html

Eurostat. (2022a, 30 September). HICP – monthly data (annual rate of change). https://ec.europa.eu/eurostat/databrowser/view/PRC_HICP_MANR__custom_423086/bookmark/table?lang=en&bookmarkId=6f2a5933-7185-4e78-b8eb-3f93c1436a24

Eurostat .(2022b, February).  Energy statistics – an overview. Diakses 9 Oktober 2022, https://ec.europa.eu/eurostat/statistics-explained/index.php?title=Energy_statistics_-_an_overview#Gross_available_energy

Rasytah. A.A.(1990, 26 Juni). al-Azamat al-iqtshadiyyah: waqiuha wa mu’alajatuha min wijhati nadhri al-Islam [Presentasi Makalah]. Al-markaz al-thaqafi al-mulky, Amman, Yordania. https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/resources/hizb-resources/download/15565_a1ecf5209577701d7a8f381ca83d5f0d.html

Tharoor, Ishaan (2022, 8 Augustus). Amid world crises, ‘grotesque greed’ wins out. Washington Post. Diakses 9 Oktober 2022, https://www.washingtonpost.com/world/2022/08/08/oil-companies-profits-inflation/

Warnock, F. (2010). Two myths about the US dollar. Capital Flows Quarterly.

Zallum, A.Q. (2004). Al-Amwal fi daulah al-khilafah. Cet.Ketiga. Beirut: Darul Ummah.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

11 + 11 =

Back to top button