Nafsiyah

Akhlak Pengemban Dakwah: Lantang Bicara Benar

Generasi kaum Muslim adalah generasi pejuang. Dalam tubuh mereka mengalir DNA perjuangan. Kisah perjalanan hidup para pendahulu mereka adalah kisah-kisah heroik penuh perjuangan yang nyata. Bukan isapan jempol belaka. Allah SWT mengisyaratkan eksistensi mereka:

وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيّٖ قَٰتَلَ مَعَهُۥ رِبِّيُّونَ كَثِيرٞ فَمَا وَهَنُواْ لِمَآ أَصَابَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَمَا ضَعُفُواْ وَمَا ٱسۡتَكَانُواْۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٤٦

Berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut mereka yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar (QS Ali ’Imran [3]: 146).

 

Bagi mereka: Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai. Sekali berjuang pantang mundur ke belakang. Prof. Dr. Muhammad Ali al-Shabuni dalam Shafwat at-Tafâsîr (hlm. 212) secara apik menggambarkan betapa banyak para nabi yang berjihad meninggikan kalimat Allah. Para ulama rabbani dan ahli ibadah shalih berjuang membersamai para nabi ini hingga diantaranya mendapati kematian yang dinantikan (syahid). Namun, tempaan kematian dan luka-luka tidak mengendorkan semangat mereka, melemahkan tekad di dada, tidak pula membuat mereka tunduk dan melemah di hadapan musuh, hingga meraih predikat: walLâhu yuhibbu ash-shâbirûn (Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang bersabar). Ini menunjukkan keridhaan-Nya kepada mereka yang disifati dalam ayat ini.

Frasa sabîlilLâh dalam ayat ini menunjukkan bahwa apa yang mereka perjuangkan adalah Din Allah sendiri. Bukan selainnya. Digambarkan dalam bentuk idhâfah (kalimat penautan), menautkan lafal sabîl kepada lafal agung, lafzh al-jalâlah, yakni Allah itu sendiri. Ini menunjukkan kekhususan di dalamnya (ma’rifat). Tidak samar dan tidak bisa disamakan dengan jalan-jalan kebatilan.

Penyair terkemuka Ahmad Syauqi bersenandung:

فخذوا العلمَ على أعلامِهِ * واطلبوا الحكمة عِندَ الحكماء

Ambillah ilmu itu dari ahlinya/carilah hikmah dari para hukama

 

Kita mendapati hikmah pada lisan salah seorang Sahabat yang mulia, Ja’far bin Abu Thalib ra, tatkala ia dan kaum Muslim bersama beliau di Habasyah (Ethiopia) dihadapkan pada situasi sulit, akibat provokasi ‘Amr bin al-‘Ash (di masa jahiliah) yang membujuk Najasyi, Penguasa Habasyah ketika itu, agar mengembalikan mereka kepada Kafir Quraisyi. Apa yang terjadi? Bukan sikap lemah yang tampak. Bukan lisan penjilat yang terucap. Yang ada adalah sikap lantang menyuarakan kebenaran tanpa takut celaan orang-orang yang terpedaya. Bukan turun dari langit begitu saja, akhlak agung ini buah dari kesungguhan Rasulullah saw. membina mereka. Hasilnya, Islam berkilau indah menghiasi sikap dan lisan para Sahabatnya, mengkristal dalam jiwa-jiwa mereka—radhiyallahu ‘anhum. Islam, mabda’ (ideologi kehidupan) yang wajib mendarah daging dalam diri setiap pengembannya. Ja’far bin Abu Thalib ra. lantang berbicara:

 

Wahai Raja, kami dulu adalah kaum jahiliah. Kami menyembah berhala dan memakan bangkai. Kami melakukan perbuatan-perbuatan keji. Kami memutuskan ikatan persaudaraan. Kami berbuat buruk kepada tetangga. Orang yang kuat di antara kami bertindak sewenang-wenang kepada orang yang lemahnya. Kami terus-menerus dalam kondisi demikian hingga Allah mengutus kepada kami seorang utusan-Nya dari golongan kami sendiri. Kami mengenal dengan baik nasabnya, kejujurannya, sifat amanahnya serta keterpeliharaan dirinya. Ia menyeru kami kepada Allah untuk mentauhidkan-Nya semata, menyembah-Nya dan berlepas diri dari apa yang telah kami dan orangtua kami perbuat dulu berupa penyembahan terhadap selain-Nya, yakni kepada bebatuan dan patung-patung (berhala). Rasul itu memerintahkan kami untuk jujur, menyampaikan amanah, menyambung ikatan persaudaraan, berbuat baik kepada tetangga. Ia melarang kami melakukan keharaman, menumpahkan darah, melakukan perbuatan keji, berdusta, memakan harta anak yatim serta menuduh wanita baik-baik berbuat zina. Ia pun memerintahkan kami beribadah kepada Allâh semata, tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun; memerintahkan kami untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat dan  melaksanakan shaum. Lalu  Islam semakin berkembang hingga kami pun membenarkan dan mengimaninya, mengikuti wahyu yang turun kepada dirinya. Lalu kami beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

 

Dalam pernyataan di atas, Ja’far ra. memberikan gambaran kuatnya Islam mengubah keyakinan, pemikiran dan perasaan mereka hingga berbuah sikap yang jelas memisahkan kebenaran dan kebatilan tanpa kompromi. Islam membawa perubahan visioner pada diri pengembannya. Prinsipnya, Islam harga mati, tanpa Islam segala sesuatu mati harga!

Perhatikan, setiap mutiara yang keluar dari lisan Ja’far, yang menunjukkan keteguhannya terhadap keimanan dan keislamannya. Hakikatnya hal demikian menggambarkan apa yang telah Allah SWT gambarkan dalam firman-Nya:

ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ فَٱخۡشَوۡهُمۡ فَزَادَهُمۡ إِيمَٰنٗا وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ ١٧٣

“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, “Sungguh manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Karena itu takutlah kepada mereka.” Namun,  perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.”  (QS Ali Imran [3]: 173).

 

Merekalah, sebagaimana diutarakan al-Imam Ibn Baththal, pewaris para nabi (waratsat al-anbiyâ’) yang mewarisi apa yang Allah SWT firmankan:

ثُمَّ أَوۡرَثۡنَا ٱلۡكِتَٰبَ ٱلَّذِينَ ٱصۡطَفَيۡنَا مِنۡ عِبَادِنَاۖ ٣٢

Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami (QS Fathir [35]: 32).

 

Rasulullah saw. menggambarkan akhlak pengemban dakwah seperti ini akan senantiasa ada hingga akhir zaman. Ia menjadi motivasi untuk istiqamah di jalan dakwah, menghiasi diri dengan akhlak da’i sejati:

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَائِمَةً بِأَمْرِ اللهِ، لا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ، أَوْ خَالَفَهُمْ، حَتَّى يَأْتيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ عَلَى النَّاسِ

Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang tegak di atas perintah Allah. Tidak membahayakan mereka siapapun yang mencela mereka atau menyelisihi mereka. Lalu tiba keputusan Allah dan mereka meraih kemenangan atas manusia (HR Muslim dan Ahmad).

 

WalLâh al-Musta’ân. [Irfan Abu Naveed; [Peneliti Balaghah al-Quran & Hadits Nabawi]]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

17 + 7 =

Back to top button