Mengatur, Bukan Di Atur
Pada 25 September lalu, saya hadir sebagai pembicara dalam diskusi online yang diselenggarakan oleh PKAD (Pusat Kajian dan Analisis Data) dengan tajuk Ponpes-Ponpes Menggugat dan Menolak UU Pesantren? Hadir juga KH. Thoha Kholili, pimpinan Ponpes Al-Muntaha Bangkalan Madura, KH. Moch. Thamrin Ali – Sekjen PB KKNU 1926, KH. Badrudin Subky – pimpinan Pondok Pesantren Tahfidz & Tafsir Al-Badar Bogor, KH. Thoha Yusuf Zakariya – pimpinan Ponpes Al-Ishlah Bondowoso, Dr. Habib Zainal Abidin Bilfaqih M.Pd. – tokoh Forum Peduli Bangsa Jejaring Pesantren, Lora Nurul Jamal Habaib S.H. – Ponpes Mambaul Ulum Bondowoso dan Ahmad Khozinudin S.H. – Advokat, Aktivis Gerakan Islam.
Dalam forum tersebut diungkap sejumlah kritik terhadap UU Nomer 13 Tahun 2019 tentang Pesantren tersebut, yang sudah melahirkan turunan berupa Perpres tentang Dana Abadi Pesantren, bahkan khusus di Propinsi Jawa Timur sudah dibuatkan Perdanya. Pada intinya, kritik-kritik tersebut berpangkal pada gagasan filosofis tentang wajibnya pesantren mengadopsi Islam moderat sebagaimana jelas tertulis dalam Pasal 3: Pesantren diselenggarakan dengan tujuan: a. membentuk individu yang unggul di berbagai bidang yang memahami dan mengamalkan nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli ilmu agama yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, tolong-menolong, seimbang, dan moderat; b. membentuk pemahaman agama dan keberagamaan yang moderat dan cinta tanah air serta membentuk perilaku yang mendorong terciptanya kerukunan hidup beragama.
Pertanyaan kritisnya: pemahaman dan keberagamaan Islam moderat serta Muslim moderat seperti apa yang dimaksud? Bila kita menjadi Muslim yang kaffah, yang bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya, seperti yang diperintahkan Allah, apakah itu moderat? Bila bukan, lalu yang seperti itu disebut apa, dan yang moderat itu seperti apa?
++++
Risalah Islam diturunkan Allah melalui Baginda Rasulullah Muhammad saw., sebagaimana disebut dalam QS al-Baqarah ayat 213, tak lain guna mengatur kehidupan manusia. Manusia dan kehidupan ini diciptakan Allah. Allah pula yang menurunkan risalah-Nya agar manusia menjalani hidup dan kehidupannya mengikuti apa yang Dia kehendaki. Tentu agar manusia mendapatkan rahmat atau kebaikan dalam kehidupannya itu.
Oleh karena itu, melalui QS al-Baqarah 208 dan QS Ali Imran 102, manusia diminta menjadi Muslim secara kaffah, dengan bertakwa kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya. Mengenai perintah menjadi Muslim yang kaffah, Imam Ibnu Katsir menjelaskan, Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang beriman kepada-Nya, membenarkan Rasul-Nya masuk ke semua simpul dan syariah Islam serta mengamalkan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Lebih dari itu, melalui QS ash-Shaff ayat 14, kita bahkan diminta untuk menjadi penolong (agama) Allah.
Jadi, kita diperintahkan untuk mengambil Islam dan syariahnya secara keseluruhan. Islam datang untuk mengatur hidup manusia, bukan untuk diatur. Begitulah semestinya seorang Muslim mengambil Islam dan syariahnya secara kaffah, bertakwa dengan sebenar-benarnya, menjalankan semua yang diperintahkan semaksimal kemampuan dan meninggalkan apa yang dilarang, serta menolong dan membela agama-Nya. Jika Muslim semacam ini dianggap bukan sosok Muslim moderat atau malah disebut muslim radikal, garis keras, fundamentalis atau sebutan stigmatik lainnya, maka jelas ada maksud buruk di balik sebutan-sebutan itu.
Apa sih yang dimaksud Islam moderat? Menurut para penganjurnya, moderat diambil dari kata wasathiyah, satu istilah yang memang ada di dalam al-Quran. Persisnya di QS Baqarah ayat 143. Ayat ini menurut mereka adalah anjuran untuk menjadi Muslim wasathiyah, dengan mengambil Islam wasathiyah atau Islam moderat.
Saat ini memang tengah berjalan sebuah proyek besar yang disebut moderasi agama dengan sasaran utamanya Islam dan umat Islam. Proyek ini bertujuan untuk menancapkan paham tertentu yang disebut Islam moderat dan menjadikan kaum Muslim menjadi Muslim moderat. Program ini menyasar para guru agama, mahasiswa, kaum milenial hingga kalangan pesantren, sebagaimana terlihat nyata pada UU Pesantren yang disebut di atas.
Proyek ini tidak datang tiba-tiba. Barat menilai, setelah runtuhnya komunisme, tantangan mendatang bagi hegemoni Barat adalah Islam. Untuk tidak menjadi ancaman, Dunia Islam harus dibuat ramah terhadap demokrasi dan modernitas serta mematuhi aturan-aturan internasional untuk menciptakan perdamaian global. Semua rencana ini terbaca sangat nyata dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Rand Corporation pada tahun 2007, berjudul Building Moderate Muslim Network. Di situ dijelaskan juga karakteristik Muslim moderat, yakni Muslim yang menyebarluaskan dimensi-dimensi kunci peradaban demokrasi, termasuk di dalamnya gagasan tentang HAM, kesetaraan gender, pluralisme; menerima sumber-sumber hukum non-sektarian.
Ringkasnya, Islam moderat adalah pemahaman Islam yang disesuaikan dengan pemikiran, pemahaman dan peradaban Barat. Dengan demikian Muslim moderat adalah sosok Muslim yang menerima, mengadopsi, menyebarkan dan menjalankan pemahaman Islam ala Barat.
Benarkah wasathiyah maknanya adalah moderat? Imam ath-Thabari menjelaskan kata al-wasath bermakna adil (al-‘adlu). Abu Said al-Khudri ra. menuturkan hadis dalam Shahih Bukhari, bahwa Nabi saw. pernah bersabda tentang firman Allah SWT: wa kadzalika ja’alnakum ummat[an] wasatha. Beliau berkata, “(Yakni) yang adil.”
Selain bermakna adil, menurut Mahmud Syaltut dalam kitab tafsirnya, ummat[an] wasath[an] juga berarti umat pilihan.
Jadi makna umat Islam sebagai umat[an] wasath[an] adalah umat yang adil. Adil artinya menempatkan sesuatu pada tempat semestinya, yakni sesuai syariah.
Untuk menjadi umat[an] wasath[an], umat Islam tidak boleh melampaui batas, dengan misalnya abai terhadap syariah atau malah membuat hukum sendiri, menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Untuk menjadi umat[an] wasath[an], umat Islam justru harus mengambil dan menerapkan totalitas syariah Islam. Bukan malah mengabaikan syariah.
++++
Jadi jelaslah bahwa adopsi terhadap apa yang disebut Islam moderat berarti secara langsung ingin mengatakan bahwa hanya jenis Islam tertentu yang bisa diterima, dan ada jenis Islam lain yang harus ditolak, meski itu adalah Islam yang benar.
Jelas pula, memaksa umat Islam, para ustadz, kiai dan santri di pesantren, juga para dosen, pegawai negeri, anggota polisi, tentara dan lainnya menjadi Muslim moderat dengan memeluk Islam moderat, berarti juga telah secara sengaja hendak membelah umat Islam menjadi dua, yang moderat dan yang tidak moderat, kemudian memperhadap-hadapkan antara keduanya. Ini adalah politik belah bambu ala penjajah, yang harus ditolak karena akan membawa negara ini pada pertikaian antar warga bangsa yang tiada habisnya.
Semua tindakan itu secara nyata telah menempatkan Islam bukan sebagai agama yang mengatur, tetapi menjadi obyek yang boleh diatur-atur sekehendak hatinya. Tindakan ini jelas telah melampaui kedudukan manusia sebagai hamba Allah. Semestinya manusia tunduk dan patuh pada risalah-Nya, bukan malah mengatur-atur risalah mana yang bisa diterima dan mana yang tidak bisa diterima. Tahu apa manusia hingga berani-beraninya mengatur-ngatur Allah, yang telah memberi mereka nyawa dan segala yang ada?! [H. Muhammad Ismail Yusanto]