Catatan Dakwah

War In Mind

Hukum memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan kita adalah fardhu ‘ain bagi setiap orang Islam, sekalipun itu orang Islam yang fakir. Hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid. Hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.

(Fatwa Jihad KH Hasyim Asy’ari)

++++

 

Tahu bahwa Belanda akan masuk lagi ke Indonesia dengan membonceng pasukan sekutu, Bung Karno menjumpai KH Hasyim Asy’ari meminta pendapatnya, apa yang harus dilakukan. Dijawab, harus dilawan. Apa namanya perlawanan itu? Jihad. Lalu pada 17 September 1945, Kyai Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad, seperti tersebut di atas.

Selanjutnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama,  sebagaimana ditulis Agus Sunyoto dalam buku Fatwa dan Resolusi Jihad: Sejarah Perang Rakyat Semesta di Surabaya 10 November 1945, mengundang konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura hadir pada tanggal 21 Oktober 1945 di kantor Pengurus Besar Ansor Nahdlatul Ulama (PB ANO atau sekarang disebut Gerakan Pemuda Ansor) di Jalan Bubutan Vl/Z Surabaya. Malam hari 21 Oktober 1945, KH Hasyim Asy’ari, menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita, dalam jihad mempertahankan tanah air dari penjajahan.

Lalu pada 22 Oktober 1945, dalam rapat pleno yang dipimpin KH Abdul Wahab Chasbullah diambil keputusan tentang Jihad fi Sabilillah yang diserukan kepada umat Islam, dan Resolusi Jihad fi Sabilillah yang disampaikan kepada Pemerintah. Rapat itu ditutup dengan pidato KH Hasyim Asy’ari yang pada intinya menekankan untuk jangan sampai ada dari kalangan umat Islam yang tidak mau berjihad mempertahankan kemerdekaan atau malah-memecah pendirian umat yang sudah bulat ini.

Resolusi Jihad inilah yang kemudian menggerakkan ratusan ribu pemuda, khususnya di daerah Surabaya dan sekitarnya di bawah pimpinan Bung Tomo bersemangat melawan Belanda, berpuncak dirobeknya bendera merah putih biru di Hotel Oranye, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan, 10 November.

++++

 

Pelajaran apa yang bisa dipetik dari lahirnya fatwa jihad itu? Pentingnya mind set atau cara berpikir islami. KH Hasyim Asy’ari telah menunjukkan bagaimana seorang Muslim haruslah selalu berpikir dan bertindak berdasar ajaran Islam. Islam tidak membolehkan seseorang menzalimi orang lain, tetapi juga tidak boleh membiarkan diri dizalimi; apalagi dijajah, dikuasai dan dieksploitasi. KH Hasyim Asy’ari juga menunjukkan bahwa jihad adalah ajaran Islam sebagai bentuk dari perlawanan terhadap kezaliman itu.

Cara pandang islami mestinya harus selalu dipakai oleh setiap Muslim di dalam memandang setiap persoalan dan mencari solusi atas berbagai persoalan itu, termasuk  soal krisis Palestina. Dengan cara pandang yang benar, insya Allah akan didapat solusi yang benar.

Jika menggunakan cara pandang Islam, nyatalah bahwa masalah utama krisis Palestina adalah pendudukan Israel atas wilayah Palestina. Inilah yang disebut sebagai qaadhiyah wujuud (problem eksistensi). Bermula  pada 1897 dari gagasan Theodor Herzl, bapak Zionis Internasional, yang menginginkan berdirinya negara Yahudi. Dalam pikirannya, semua penindasan terhadap bangsa Yahudi, seperti yang ia lihat pada peristiwa Dreyfus di tahun 1894, akan bisa diakhiri jika orang Yahudi memiliki negara sendiri. Ditambah dengan doktrin tentang Tanah Terjanji. Seolah Tuhan telah menyerahkan wilayah Palestina dan sebagian Mesir, sebagian Syria dan Libanon, yang membentang dari Sungai Nil di Mesir hingga Sungai Euphrat di Irak untuk mereka.

Dari awal mereka menyadari bahwa Palestina bukanlah tanah tak bertuan. Wilayah itu ada di dalam kekuasaan Khilafah Utsmani. Melalui Theodor Herzl, mereka kemudian mencoba meminta wilayah itu kepada Khalifah, Sultan Abdul Hamid II, tetapi ditolak mentah-mentah. Akhirnya, mereka sampai pada kesimpulan, bahwa cita-cita  negara Yahudi hanya mungkin bisa diwujudkan jika pelindung wilayah itu, yakni Khilafah Utsmani, dihancurkan lebih dulu. Itulah yang kemudian mereka lakukan, dan berhasil pada 1924.

Setelah keruntuhan Khilafah Utsmani, mulailah eksodus besar-besaran komunitas Yahudi dari berbagai wilayah di dunia ke Palestina. Puncaknya pada 1948, atas sokongan Inggris dan PBB, negara Israel dideklarasikan. Jadi, selama Israel masih ada, dan menjajah wilayah Palestina, selama itu pula persoalan Palestina akan terus muncul.

Dengan cara pandang ini, tidak bisa tidak, kita harus membela Palestina. Mengapa? Pertama: Masalah Palestina adalah masalah umat Islam se-dunia, karena terkait dengan aqidah Islam. Palestina tidak bisa dilepaskan dari Yerusalem, Masjidil Aqsha, peristiwa Isra’ Mi’raj dan kenabian Muhammad saw.

Kedua: Masalah Palestina menyangkut tanah milik kaum Muslim (tanah wakaf/tanah kharajiyah) yang telah dirampas oleh kaum Yahudi atas dukungan Inggris dan PBB.

Ketiga: Mereka di Palestina adalah saudara kita. Kita adalah satu. Bagai satu tubuh. Derita mereka adalah derita kita. Ciri Muslim sejati adalah kepedulian terhadap keadaan sesama Muslim. Allah akan membantu kita sepanjang kita senantiasa membantu saudara-saudara kita. Jika ada Muslim yang justru membela Israel, maka pantas dipertanyakan keislaman mereka.

Jadi, solusi tuntasnya adalah entitas penjajah Yahudi itu harus 100 persen hengkang dari Palestina. Usir mereka semua dari wilayah Palestina dengan jihad. Mengapa harus jihad? Karena jihad, itulah bahasa yang orang-orang Yahudi kenal. Sudah tak terhitung banyaknya perundingan damai dilakukan, tetapi hasilnya nol besar. Mereka tetap saja merangsek masuk ke wilayah Palestina. Mereka memang tidak ingin berdamai sampai cita-cita Israel Raya terwujud.

Jihad jelas perlu kekuatan senjata. Langkah logisnya adalah tentara yang ada di lebih dari 50 negeri Muslim ini dikirim ke Palestina untuk melancarkan jihad itu. Andai masing-masing negeri Muslim mengirim 10 batalion saja, sudah terkumpul lebih dari 500 batalion yang dengan semangat jihad tentu akan menggetarkan kekuatan zionis di sana.

Lalu apa kaitannya dengan Khilafah? Sejarah membuktikan, sepanjang Khilafah masih ada, wilayah Palestina terlindungi. Ketika Khilafah tidak ada itulah penjajahan di sana bisa berlangsung. Jangan lagi tidak ada, saat Khilafah lemah saja, Palestina sempat dikuasai hampir 100 tahun oleh tentara Salib.

Karena itu tegaknya kembali Khilafah akan memastikan wilayah yang sangat istimewa bagi umat Islam sedunia itu bisa dikuasai kembali. Ketika Khilafah tegak, jihad bisa dilakukan dengan lebih baik. Dengan potensi tentara dan perlengkapan militer yang dimiliki oleh umat Islam sedunia yang berhasil disatukan oleh Khilafah, tak sulit menyelesaikan persoalan Paletina dengan tuntas.

Harus ditolak solusi dua negara (two state solution) karena itu artinya kita berdamai dengan Zionis Israel. Berdamai dengan mereka sama saja dengan  mengakui eksistensi penjajah yang telah perampas tanah kaum Muslim. Hal itu bertentangan dengan ketentuan syariah yang menyatakan tidak boleh berdamai dengan perampas negeri Muslim, juga dengan Perjanjian Umariyah yang melarang keberadaan Yahudi di al-Quds,  yang dikuatkan oleh keputusan muktamar di al- Quds 26 Januari 1935 dan fatwa ulama al-Azhar tahun 1957.

Bagaimana dengan saran agar penduduk Palestina hijrah ke negeri yang aman? Menarik menyimak kata penduduk di sana, “Bumi Palestina adalah tanah yang diberkati Allah. Erat terkait dengan Islam, dengan masjidil Aqsha, dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Kami sudah ditakdirkan ada di sini. Mengapa kami harus pergi? Kami akan di sini dan terus di sini untuk menjaga negeri yang diberkahi ini. Jika kami pergi, senanglah zionis Yahudi, tak perlu susah payah menguasi wilayah ini. Karena itu kami akan terus di sini. Dengan perang ini, Palestina menjadi bumi jihad. Jika  karena tekad kami menjaga negeri ini kami harus mati, insya Allah itu adalah mati syahid. Syahid adalah setinggi-tinggi derajat kematian yang ganjarannya adalah surga Allah.  Adakah kematian yang lebih mulia ketimbang mati syahid?”

Nyatalah, Perang Palestina bukan hanya ada di sana, tetapi juga ada di dalam pikiran (war in mind). Salah satu satu faktor penting memenangkan perang di lapangan adalah memenangkan perang dalam pikiran sekian banyak manusia di muka bumi ini, yang tidak sedikit telah terpengaruh oleh berbagai narasi pro Israel. Dari sana muncul keberpihakan dan pembelaan. Salah dalam pikiran akan salah pula tindakan atau pembelaan.

Alhasil, penting terus menggaungkan cara pandang yang benar. Itulah cara pandang berdasar Islam, termasuk dalam menyikapi krisis Palestina.

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [HM Ismail Yusanto]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

fifteen − 15 =

Check Also
Close
Back to top button