Nisa

Perempuan Dalam Arus Moderasi Beragama

Penguatan moderasi beragama adalah satu dari lima program prioritas Kementerian Agama tahun 2020-2024. Penguatan Moderasi juga merupakan program nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024.  Wajar jika berbagai program moderasi ibarat cendawan subur di musim hujan; dilaksanakan oleh berbagai lembaga atau institusi, di berbagai tempat, dan menyasar semua kalangan termasuk perempuan.  Bahkan perempuan disebut-sebut sebagai pihak yang memiliki peran penting dalam moderasi beragama ini.

 

Program Global

Moderasi beragama merupakan program yang mengarah pada penguatan cara pandang, sikap dan praktik beragama jalan tengah (wasathiyah) dalam membangun harmoni dan kerukunan umat beragama. Program ini dianggap sebagai solusi antara dua kutub ekstremitas beragama, yaitu ekstremitas kanan yang tekstualis dan ultrakonservatif serta ekstremitas kiri yang liberal.

Dalam konteks agama Islam, moderasi Islam pertama kali diaruskan oleh Rand Corporation, lembaga thinktank Amerika Serikat.  Rand Corporation menggagas Muslim moderat sebagai sebuah strategi melawan Islam fundamentalis.

Rekomendasi tersebut tertuang dalam laporan riset pada tahun 2004 yang berjudul The Muslim World After 9/11. Rand Corporation membuat rekomendasi strategis untuk menghadapi kaum Muslim. Mereka meyakini bahwa kaum ekstremis harus juga diperangi secara kultural dan sosial.   Salah satu solusi yang ditawarkan dalam laporan tersebut adalah promosi jaringan Islam moderat.

Pada tahun 2007 Rand Corporation memberikan arahannya melalui Building Moderate Muslim Network. Rand Corporation  mendefinisikan Muslim moderat sebagai Muslim yang menyebarkan dimensi kunci budaya demokrasi. Dalam catatan kaki, disebutkan dimensi yang dimaksud mendukung demokrasi dan pengakuan internasional atas hak asasi manusia, kesetaraan gender dan kebebasan beribadah, menghargai keberagaman, menerima sumber hukum nonsektarian [non agama], menentang terorisme dan semua bentuk kekerasan.1

Mulailah bermunculan kampanye untuk menjadi Muslim moderat sesuai dengan rancangan Barat di berbagai negeri Muslim, termasuk di Indonesia.  Kampanye Islam moderat terus berlangsung hingga kini, bahkan semakin masif , intensif dan terstruktur; namun dengan sebutan yang berbeda, yaitu moderasi beragama.  Pada tahun 2019, Kemenag mengeluarkan panduan Moderasi Beragama untuk semua pemeluk agama di Indonesia.  Dalam panduan tersebut disebutkan moderat dalam beragama berarti percaya diri dengan esensi ajaran agama yang dipeluk, yang mengajarkan prinsip adil dan berimbang, tetapi berbagi kebenaran sejauh menyangkut tafsir agama. Namun, berbagai peristiwa yang terjadi meneguhkan hanya Islamlah yang disasar.

 

Menyasar Perempuan

Allisa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, menekankan pentingnya peran perempuan dalam kesuksesan konsep moderasi beragama. Hal ini terkait dengan multi-perannya sebagai pribadi, istri, ibu dan penggerak masyarakat dalam pelaksanaan moderasi beragama.2

Perempuan sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya akan membuat penerapan moderasi beragama berjalan efektif karena dimulai dari wilayah terkecil, yaitu keluarga.3 Dalam konteks moderasi Islam, pelibatan perempuan sangatlah strategis. Pasalnya, Muslim moderat menghormati hak-hak perempuan dengan mewujudkan kesetaraan gender. Karena itu kelompok perempuan pegiat kesetaraan gender  adalah mitra potensial. Apalagi perempuan dianggap sebagai pihak yang paling dikalahkan oleh fundamentalis Islam, bahkan dianggap paling tidak diuntungkan dalam penerapan syariah Islam yang kaku di berbagai tempat di Dunia Islam.

Isu hak perempuan merupakan medan pertempuran terbesar dalam perang gagasan yang terjadi di Dunia Islam. Promosi kesetaraan gender merupakan komponen penting setiap proyek untuk memberdayakan muslim moderat.4

Wajar jika penerimaan kesetaraan gender dengan semua turunannya merupakan kunci terwujudnya moderasi Islam.  Pada faktanya, banyak hukum-hukum Islam—yang merupakan pendapat ulama salaf mu’tabar—dianggap terlalu tekstual, kaku dan bahkan tidak relevan dengan situasi kekinian; dianggap bias gender, menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan tidak memenuhi hak dasar perempuan.  Islam bahkan dituduh melegitimasi kekerasan terhadap perempuan dan sumber intoleransi.  Tentu saja penilaian itu disandarkan pada tolok ukur Barat yang menjadi penggagasnya.

Dalam kacamata Barat, perempuan memiliki hak dasar yang harus dipenuhi.  Dalam  International Conference on Population and Development, yang diadakan pada tahun 1994, ditetapkan adanya hak reproduksi dan seksual, yang kemudian dikuatkan dalam aksi koalisi generasi kesetaraan baru-baru ini dalam istilah bodily autonomi—hak otonomi untuk memperlakukan tubuhnya—termasuk hak untuk melakukan aborsi dan memilih orientasi seksualnya. Kemudian Beijing Platform for Action (BPfA) yang dideklarasikan tahun 1995, menyebutkan secara rinci hak dasar perempuan, yang mencakup hak sipil, budaya, ekonomi, politik dan sosial, termasuk hak untuk mengembangkan diri.

Oleh karena itu, aturan Islam tentang kewajiban perempuan Muslimah untuk taat pada suami, termasuk dalam memenuhi hasrat suami dipandang sebagai relasi kuasa laki-laki atas perempuan, dianggap memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dikategorikan perkosaan dalam pernikahan. Lalu kewajiban menggunakan busana Muslimah dianggap sebagai pembatasan atas hak tubuh perempuan.  Adapun ketetapan Islam bahwa laki-laki adalah kepala rumah tangga, perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh anak dianggap sebagai subordinasi perempuan.   Demikian halnya aturan Islam yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, seperti bagian waris perempuan separuh bagian laki-laki, adanya kewajiban masa ‘iddah bagi perempuan, juga larangan perempuan menjadi penguasa, dianggap sebagai aturan yang bias gender dan merugikan perempuan.  Barat bahkan berdalih persoalan perempuan akan dapat terselesaikan ketika kepemimpinan berada di tangan perempuan. Lalu  didoronglah perempuan menjadi kepala daerah bahkan kepala negara. Barat juga mengklaim partisipasi kerja perempuan yang sama seperti laki-laki, akan meningkatkan kesejahteraan perempuan dan dunia.

Perbedaan cara pandang ini terus dijadikan sebagai sasaran empuk untuk memoderasi aturan syariah Islam.   Bahkan Barat sengaja menggunakan tangan-tangan kaum Muslim sendiri—yang sekular dan moderat—untuk melawan kaum Muslim yang berpandangan lurus yang disebut oleh Barat sebagai ‘fundamentalis’, radikal atau militan.  Inilah yang direkomendasikan oleh Rand Corporation dalam membangun jaringan Islam moderat di negeri-negeri Muslim.

Kaum Muslim yang terjebak dan teracuni ide ini lalu mengembangkan metode tafsir yang bertentangan dengan kaidah ushul fikh yang baku.  Alhasil, keluarlah pendapat-pendapat yang memberikan wajah moderasi Islam, yang bertentangan dengan aturan Islam yang lurus.  Padahal sejatinya moderasi Islam justru makin menjauhkan kaum Muslim dari aturan-aturan Allah, bahkan mengingkari kemuliaan syariah-Nya.

 

Aturan terbaik

Allah SWT telah menurunkan aturan terbaik untuk manusia.  Rasulullah saw. telah mewariskan pedoman dasar untuk memahami aturan Allah SWT, yang dijadikan pedoman hidup kaum muslimin setelahnya.  Islam sudah memiliki metode penafsiran yang baku, sebagaimana telah dipraktikkan generasi Sahabat. Demikian pula para mujtahid telah melakukan ijtihad mengikuti kaidah ushul fikih yang shahih dalam menafsirkan hukum-hukum Allah.

Landasan keimanan yang kuat akan membimbing kaum Muslim senantiasa berada pada pemahaman yang shahih. Dengan demikian syariah Islam akan senantiasa sesuai dengan perkembangan jaman dan mampu menjadi solusi persoalan umat manusia termasuk perempuan.  Islam  memberikan aturan terbaik untuk kemuliaan perempuan dunia akherat.  Islam telah menetapkan berbagai hukum untuk manusia dalam sifatnya sebagai manusia.  Islam juga menetapkan hukum-hukum  khusus sesuai dengan jenisnya, laki-laki maupun perempuan.  Perbedaan hukum ini bukanlah menjadikan perempuan lebih rendah, karena dalam Islam kemuliaan manusia terletak pada ketakwaannya kepada Allah.

Kaum Muslim harus senantiasa waspada akan tipu daya orang kafir.   Kesadaran politik umat termasuk muslimah harus terus dikuatkan agar tidak terjebak pada racun berbalut madu moderasi. Muslimah memiliki peran besar dalam membangun peradaban Islam dan Islam sudah menetapkan jalan sahih untuk berkiprah dalam kehidupan dunia. Keridhaan Allah menanti dirinya selama dia istiqamah di jalan Allah meski dianggap radikal.  Apalagi Allah SWT sudah mengingatkan dalam QS Al Baqarah ayat 120 bahwa musuh Islam akan senantiasa berusaha untuk memperdaya kaum Muslim.

WalLahu a’lam bi ash-shawwab. [Arum Harjanti]

 

Catatan kaki:

       Building Moderate Muslim Network, 2007, Rand Corporation

2        https://ppim.uinjkt.ac.id/2020/08/15/gusdurian-perempuan-aktor-penting-moderasi-beragama/

3        https://mubadalah.id/peran-perempuan-dalam-mewujudkan-moderasi-beragama/

       Building Moderate Muslim Network, 2007, Rand Corporation

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 − 3 =

Back to top button