Nafsiyah

Bersegera Menegakkan Islam

Islam adalah risalah paripurna yang Allah SWT anugerahkan kepada umat manusia melalui Rasul-Nya yang mulia. Islam menuntun hamba-hamba-Nya berjalan lurus di atas jalan-Nya. Kesempurnaan Islam telah Allah SWT tegaskan dalam al-Quran:

وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ وَبُشۡرَىٰ لِلۡمُسۡلِمِينَ ٨٩

Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk dan rahmat serta kabar gembira bagi kaum Muslim (QS an-Nahl [16]: 89).

 

Kesempurnaan Islam ini dipraktikkan secara sempurna oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat. Mewujud dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat. Mencakup sunnah fi’liyyah dan qawliyyah Baginda Rasulullah saw. dan Khulafur Rasyidin. Mereka menegakkan institusi kekuasaan Islam (Ad-Dawlah al-Islâmiyyah) untuk menegakkan Islam dalam kehidupan. Daulah Islam berdiri kokoh di atas asas akidah Islam dan ditopang oleh bangunan syariah Islam. Daulah Islam pun menjalankan politik Islam (al-siyâsah al-syar’iyyah) dalam dan luar negeri. Karena itu relevan jika Imam al-Ghazali (w. 505 H) dalam Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd (hlm. 128) pun menyifati agama dan kekuasaan sebagai saudara kembar. Ini sejalan dengan prinsip yang diutarakan Imam asy-Syathibi (w. 790 H) dalam Al-I’tishâm (hlm. 49), “Telah pasti bahwa Nabi saw. tidaklah wafat hingga menjelaskan segala hal yang dibutuhkan berkenaan dengan urusan agama dan dunia. Tidak ada dari kalangan Ahlus Sunnah yang menyelisihi hal ini.”

Karena itu menjadi tuntunan sekaligus tuntutan bersegera menegakkan Islam dalam kehidupan. Tidak bertahap (tadarruj). Ini berdasarkan hujjah: Pertama, Allah SWT memerintahkan orang beriman menegakkan Islam secara total (lihat QS al-Baqarah [2]: 208). Sebaliknya, Allah SWT melarang manusia mengambil sebagian isi al-Kitab dan mengabaikan sebagian lainnya; memilah dan memilih sesuai hawa nafsu. Ini seperti perbuatan terlaknat kaum Yahudi:

أَفَتُؤۡمِنُونَ بِبَعۡضِ ٱلۡكِتَٰبِ وَتَكۡفُرُونَ بِبَعۡضٖۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفۡعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمۡ إِلَّا خِزۡيٞ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلۡعَذَابِۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ ٨٥

Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab (Taurat) dan mengingkari sebagian yang lain? Tidak ada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan ke dalam siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat (QS al-Baqarah [2]: 85).

 

Syaikh ’Atha bin Khalil Abu al-Rasytah dalam At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (hlm. 107-108) menjelaskan bahwa ungkapan “afatu’minûna bi ba’dh al-kitâb wa takfurûna bi ba’dh,” dalam ilmu balaghah, merupakan pengingkaran bernada pertanyaan (at-istifhâm al-inkâri) atas perbuatan buruk mereka yang diancam dengan kehinaan di dunia serta azab yang amat keras di akhirat. Azab ini diungkapkan dengan gaya superlatif (at-tafdhîl: asyadd al-’adzâb), yang secara khusus dijadikan sebagai balasan atas keburukan tersebut. Azab ini pun diungkapkan dengan uslub al-qashr (pengkhususan), yang menegaskan ancaman di dalamnya, lalu dipertegas dengan pernyataan bahwa Allah takkan pernah lengah atas keburukan mereka.

Tidak boleh syariah islam diambil sebagian dan diabaikan sebagian lainnya, lalu digantikan dengan keyakinan dan aturan jahiliah. Misal: keyakinan manusia berdaulat menetapkan aturan, aturan jahiliah yang melegalkan praktik ekonomi ribawi dalam paradigma Demokrasi-Kapitalisme,dll. Ini menunjukkan pula sikap tercela yang diperingatkan Allah SWT:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ ٢٧

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya (QS al-Anfal [8]: 27).

 

Imam al-Baidhawi (w. 685 H) dalam tafsirnya (hlm. 47) menjelaskan maksud ayat di atas, yakni dengan menunda-nunda berbagai kefardhuan bahkan kesunnahan.

Kedua, nas-nas al-Quran dan as-Sunnah mendorong kaum Muslim untuk bersegera menunaikan amal shalih, yakni menegakkan akidah dan syariah Islam dalam kehidupan. Al-Hafizh an-Nawawi asy-Syafii (w. 676 H) bahkan menyusun bahasan khusus, “Bersegera Melaksanakan Amal Kebaikan,” dalam Riyâdh ash-Shâlihîn (hlm. 63) dengan dalil:

۞وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ

Bersegeralah kalian meraih ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk kaum yang bertakwa (QS Ali Imran [3]: 133).

 

Ayat ini mengandung kiasan (al-majâz al-mursal bi al-’alâqah al-musabbabiyyah). Di sini Allah SWT memerintahkan hamba-Nya untuk bersegera meraih ampunan-Nya. Yang dimaksud adalah bersegera melakukan amal shalih yang membuahkan ampunan-Nya, sebagaimana perintah berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqû al-khayrât) (lihat QS al-Baqarah [2]: 148). Ini berdasarkan petunjuk (qarînah) sabda Rasulullah saw.:

بَادِرُوا ِبالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِينَه بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا

Bersegeralah kalian melakukan amal shalih. Akan ada suatu masa ketika muncul berbagai fitnah seperti potongan malam gelap gulita. Saat itu seseorang beriman pada waktu pagi dan kafir pada sorenya; beriman pada waktu sore dan kafir pada paginya. Dia menjual agamanya dengan harga dunia (HR Muslim dan Ahmad).

 

Dr. Mushthafa Dib al-Bugha menuturkan, di antara faidah hadis ini adalah kewajiban berpegang teguh pada Islam, dorongan bersegera melakukan amal shalih sebelum tibanya berbagai hambatan, yang bahayanya diserupakan (tasybîh) dengan potongan malam gelap gulita. Di dalamnya terdapat banyak bahaya (binatang buas, kejahatan manusia) hingga bisa menjerumuskan seseorang menjual agama demi harga dunia yang fana. Itu semua menunjukkan urgensi bersegera menegakkan Din Islam dalam kehidupan.

Ketiga, teladan salafunâ ash-shâlih, Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Beliau menerapkan hukum Islam secara tegas—tidak berkompromi dan tidak bertahap—terhadap  mereka yang murtad karena mengingkari dan menolak kewajiban zakat. Qabishah ra. berkata:

هُمُ الْمُرْتَدُّونَ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى عَهْدِ أَبي بَكْرٍ فَقَاتَلَهُمْ أَبُو بَكرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ

Mereka (para penolak zakat) adalah kaum yang murtad. Mereka murtad pada masa Khalifah Abu Bakar ra. Karena itu beliau memerangi mereka (HR al-Bukhari).

 

Bahkan Umar bin al-Khaththab ra. yang sebelumnya tak setuju akhirnya membenarkan dan bersaksi:

فَوَ اللهِ، مَا هُوَ إِلاَّ أَنْ رَأَيْتُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ شَرَحَ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ لِلْقِتَالِ، فَعَرَفْتُ أَنَّهُ الْحَقُّ

Demi Allah, tidaklah dirinya, kecuali aku menyaksikan Allah ‘Azza wa Jalla telah melapangkan hati Abu Bakar untuk berperang (memerangi para penolak zakat) hingga aku mengetahui bahwa ia benar (HR Muttafaqun ’alayh).

 

Kebijakan ini disepakati oleh para Sahabat. Ini menjadi dalil atas kewajiban bersegera menegakkan Islam. Tidak kompromistis. Tidak bertahap (tadarruj). Ini sebagaimana diuraikan Dr. ’Athiyyah ’Adlan dalam artikel Majalah Al-Bayân (2015), “Tahkîm asy-Syarî’ah, at-Tadarruj Lâ at-Taswîf”.

 

Khatimah

Dalil-dalil al-Quran, as-Sunnah serta atsar salafuna ash-shalih di atas terang-benderang menuntut dan menuntun kaum beriman agar bersegera menegakkan Islam dalam kehidupan dalam naungan Khilafah Islam, menjemput keridhaan Allah ’Azza wa Jalla, mengundang turunnya berkah dari langit dan bumi. Tiada yang celaka kecuali mereka yang berpaling dari-Nya:

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا

Siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas datang kepada dia petunjuk dan mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman, Kami membiarkan dia leluasa dengan kesesatannya. Kemudian Kami menyeret dia ke dalam Neraka Jahanam. Neraka Jahanam itu tempat kembali yang paling buruk (QS an-Nisâ’ [4]: 115).

 

Wa biLlâhi at-tawfîq. Irfan Abu Naveed, M.Pd.I; (Penulis Buku Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjamaah) []

Irfan Abu Naveed, M.Pd.I; (Penulis Buku Menggugah Nafsiyyah Dakwah Berjamaah)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × 2 =

Back to top button