Siyasah Dakwah

Peran Umat Islam Dalam Perjuangan Di Indonesia

Sejarah ditulis oleh para pemenang. Ungkapan ini disampaikan oleh mantan Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill. Ini rupanya cukup tepat untuk menggambarkan kondisi umat Islam di negeri ini. Umat Islam di negeri ini dimarjinalisasi. Perannya terpinggirkan dalam sejarah bangsa. Sedikit sekali anak bangsa yang memahami peran besar Islam di negeri ini dalam usaha-usaha kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia. Mereka memahami bahwa Pangeran Diponegoro melawan Belanda karena tanahnya diserobot, rakyat Aceh berperang dengan Belanda karena persaingan ekonomi, Budi Utomolah organisasi penggerak kebangkitan nasional dan bukan Syarikat Islam yang justru hadir lebih dulu dibandingkan Budi Utomo. Juga dimunculkan wacana ke tengah publik bahwa tidak ada hubungan Indonesia dengan Daulah Khilafah. Daulah Khilafah tidak memiliki peran apapun dalam usaha membangkitkan serta memerdekakan Indonesia dari belenggu penjajahan.

Wacana ini tentu sangat menyesatkan umat. Akibatnya, umat Islam mengalami krisis kepercayaan diri. Gejala ini timbul karena mereka merasa tidak memiliki kontribusi apapun dalam sejarah perjuangan di negeri ini. Umat Islam di negeri ini juga akan minder ketika bergabung dengan umat Islam secara global. Sebabnya, mereka merasa sejarah mereka tidak terhubung dengan sejarah agung peradaban Islam. Pada akhirnya umat Islam di negeri ini akan mudah melepas identitas keislamannya. Mereka bahkan ada yang melawan pemikiran dan ideologi Islam. Sebbabnya, mereka merasa Islam tidak memberikan apapun bagi Indonesia.

Tentu hal ini sangat berbahaya bagi kelangsungan Islam dan kaum Muslim di negeri ini. Juga sangat berbahaya bagi kelangsungan Indonesia sendiri. Padahal terbukti bahwa sebenarnya Islamlah yang menjadi ruh utama dalam perjuangan melawan tiap-tiap bentuk penjajahan di negeri ini.

 

Islam Menjaga Nusantara

Sejatinya Islam hadir di wilayah Nusantara ini tepat setelah peradaban Islam lahir di Jazirah Arab. Pasalnya, jalur perdagangan laut antara Nusantara dan Timur Tengah telah terjalin jauh sebelum Islam datang. Konon komoditas-komoditas Nusantara sudah dikenal di Timur Tengah sejak zaman Fir’aun Mesir. Pelaut-pelaut Nusantara juga telah berani melayari jalur Samudra Hindia dan bahkan berkoloni di kawasan pesisir Afrika Timur dan Jazirah Arab. Ketika Islam hadir, dakwah ini juga menyentuh koloni-koloni pelaut Nusantara di Jazirah Arab ini. Kaum yang dikenal sebagai Zababijah ini digunakan jasanya oleh Sayidina Umar bin al-Khaththab ra. semasa beliau menjabat sebagai khalifah dan membangun Baitul Mal. Kaum Zababijah yang telah memeluk Islam ini dikenal sebagai penjaga Baitul Mal, gerbang kota dan sipir tahanan. Mereka dikenal pemberani, jago beladiri dan mampu menyelam di lautan dengan pakaian lengkap.

Dakwah Islam ke Nusantara secara resmi tercatat pada Diwan Kekhilafahan masa Bani Umayah. Ibnu Jahiz mencatat surat dari Maharaja Zabaj atau Sribuza kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Ibnu Tighribirdi mencatat surat dari Maharaja yang sama kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Zabaj atau Sribuza dalam catatan kedua penulis tersebut adalah Kerajaan Sriwijaya yang ketika itu berkuasa di wilayah Sumatra. Raja yang menulis surat kepada dua pemimpin Daulah Islam tersebut diperkirakan adalah Maharaja Sri Indrawarman.

Pada kisaran Abad IX hingga XII Masehi, Islam telah tersebar di Nusantara, khususnya di bandar-bandar perdagangan di Pulau Sumatra, Jawa dan Maluku. Pulau-pulau inilah yang menghasilkan komoditas dagang terkemuka seperti kapur barus, lada, beras, cendana, gaharu dan terutama rempah-rempah. Di bandar-bandar tersebut, komunitas Islam terbentuk baik akibat hubungan ekonomi maupun perkawinan. Lambat-laun terbentuklah institusi-intitusi pemerintahan Islam khususnya di wilayah Sumatra dan Maluku.

Semakin massifnya dakwah Islam pada masa Mamluk dan Utsmaniyah ke wilayah Nusantara membawa dampak semakin cepatnya konversi keagamaan di wilayah ini. Ini berdampak semakin banyak hadirnya kesultanan-kesultanan Islam yang menggantikan kedudukan kerajaan Hindu dan Budha di Nusantara. Kesultanan Samudra Pasai dan kemudian diteruskan oleh Aceh Darussalam di ujung barat Sumatra menjadi ujung tombak dakwah ke pelosok Nusantara. Samudra Pasai, Aceh, ditambah Malaka menjadi termpat persinggahan dai-dai dan para mualim yang akan berdakwah ke pusat pemerintahan Majapahit di Jawa bagian Tengah dan Timur. Majapahit yang mengalami kemunduran dengan cepat digantikan oleh Kesultanan Demak yang kelahirannya diasasi oleh para ulama yang dikenal sebagai Walisongo. Berakhirnya Majapahit membuka kesempatan akan lahirnya Kesultanan Islam di dua pertiga Nusantara. Kurang dari satu abad, pada abad XIV, Islam telah menjadi agama resmi Kesultanan yang hadir mulai dari Aceh di barat hingga Tidore.Kesultanan ini memerintah sebagian pulau Papua di timur, dari Kesultanan Sulu di kepulauan Filipina di Utara hingga Kesultanan Bima di Kepulauan Nusa Tenggara di selatan.

Hadirnya Islam di Nusantara membawa berkah yang luar biasa. Seabad setelah Nusantara berhasil diislamkan, datanglah para penjelajah Eropa yang tidak hanya berniat untuk berdagang, tetapi juga ingin menjarah kekayaan alam Nusantara, menduduki wilayahnya, serta menumpas habis penghuni aslinya. Penjajahan Eropa di Nusantara dimotori oleh Portugis yang berhasil melemahkan Samudra Pasai dan menduduki Malaka. Tindakan Portugis ini dijawab dengan penggalangan jihad yang dimotori oleh Demak, Cirebon, Palembang, Aceh, Makassar dan Ternate. Tercatat hingga tiga kali ekspedisi jihad diberangkatkan ke Malaka. Melalui Aceh dikirimlah utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan kepada Khalifah Sulaiman al-Qanuni. Ekspedisi Utsmani dikirim ke Nusantara berupa para ahli senjata berat, khususnya pembuat meriam. Hasilnya, Portugis bisa diusir di Malaka, juga digagalkan ketika hendak mendarat ke Jawa melalui Sunda Kalapa, serta bisa dihancurkan di Maluku melalui tangan Kesultanan Ternate.

Setelah hengkangnya Portugis, datanglah Belanda melalui serikat dagang Hindia Timur-nya (VOC). Belanda dengan licik menghancurkan dan menguasai sedikit demi sedikit kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara. Abad Keenam Belas hingga pertengahan Abad Kesembilan Belas Masehi merupakan era jihad fi sabilillah di pelosok Nusantara. Hubungan yang telah terjalin erat pusat Kekhilafahan di Turki menjadikan Belanda menghadapi perlawanan berat dari institusi pemerintahan Islam dan umat Islam di seluruh Nusantara. Jaringan penghubung Nusantara dengan Khilafah dimotori oleh utusan langsung Kesultanan, para ulama yang belajar di Haramain (Makkah dan Madinah), serta jaringan para sayyid dari Hadramaut Yaman. Mereka banyak berdagang serta memiliki usaha di Nusantara. Kedekatan jaringan ini dengan Kekhilafahan menciptakan lahirnya semangat jihad dan persatuan Islam di kalangan kaum Muslim di Nusantara. Perlawanan di Jawa bagian Tengah-Selatan, misalnya, sejak era Perang Palihan Nagara di era Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwana I) hingga Perang Jawa yang dikobarkan dan dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, didukung para ulama yang memiliki hubungan dengan Madrasah Haramain juga para sayyid Hadrami. Begitu pula perlawanan di Makassar, Banten, Palembang, Banjar, juga di Kesultanan Kedah dan Fattani. Perlawanan-perlawanan tersebut melibatkan para ulama Haramain dan sayyid Hadrami untuk menjadi penghubung kepada Khalifah.

Pada masa Sultan Abdul Hamid II menduduki kursi Kekhilafahan Utsmaniyah (1876 – 1909), beliau berupaya menghambat sedemikian rupa penjajahan Belanda di Nusantara. Beliau mengirim pasukan ekspedisi untuk membantu Kesultanan Aceh Darussalam yang tengah diinvasi oleh Belanda. Beliau juga mendirikan Konsulat Utsmani di Singapura dan Batavia untuk membantu penggalangan perlawanan terhadap Belanda. Pada masa ini ada salah satu tokoh terkemuka di Batavia yang menjadi salah satu motor jaringan perlawanan dan kebangkitan nasional di Hindia Timur atau yang kemudian dikenal sebagai Indonesia. Tokoh tersebut bernama Sayyid Abdullah bin Alwi al-Attas. Ia adalah seorang pengusaha keturunan Hadrami yang sangat terkemuka di Batavia. Keluarganya konon pernah menjadi duta Utsmani di Kesultanan Mughal India dan membantu kesultanan tersebut melawan penjajah Inggris. Beliau sendiri merupakan menantu Sayyid Abdul Aziz al-Musawi, konsul pertama Utsmani di Batavia. Sayyid Abdullah konon menghibahkan rumah mertuanya sebagai kantor Konsulat Utsmani di Batavia. Terkenal sebagai pendukung gerakan Pan Islamisme yang digaungkan oleh Sultan Abdul Hamid II, Sayyid Abdullah juga dikenal dekat dengan Sayid Jamaluddin al-Afghani dan Syaikh Yusuf an-Nabhani yang merupakan dua ulama terkemuka di era itu.

Di Batavia, Sayid Abdullah menjadi penyokong Jamiatul Khair, organisasi sosial dan pendidikan Islam modern pertama di Indonesia. Jamiatul Khair dianggap sebagai pelopor kemerdekaan Indonesia. Pasalnya, di madrasahnya pada tahun 1903, Muhammad Amin Bey, konsul Utsmani berpidato tentang keharaman kaum Muslim Hindia Timur untuk tunduk di hadapan pemerintahan kufur Belanda. Ketika wafat, Sayyid Abdullah menyumbangkan 30 ribu koleksi bukunya kepada Madrasah Jamiatul Khair.

Sayyid Abdullah juga membantu Mas Tirto Adhisuryo dan HOS Tjokroaminoto menerbitkan surat kabar yang menggugah kesadaran untuk bangkit dan merdeka dari kolonial Belanda. Beliau juga membantu secara finansial H. Samanhudi dan KH Ahmad Dahlan ketika mereka berdua mengembangkan Sarekat Dagang Islam dan Muhammadiyyah. Kekhilafahan Utsmaniyah, meskipun pada akhirnya hilang dari muka bumi, mewariskan kepada tokoh-tokoh dan organisasi Muslim di Indonesia sebuah pencerahan dan visi memerdekakan Indonesia dari kolonial Belanda. Sebuah cita melahirkan sebuah negeri yang merdeka yang disatukan dan diasasi oleh syariah Islam. Sayang, cita-cita tersebut membuahkan pengkhianatan dari pihak-pihak yang tidak ingin Islam tegak dan memakmurkan negeri ini.

Sejak proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, penjajah melalui agennya dengan licik berhasil menghapuskan tujuh kata pada dasar negara Indonesia. Berikutnya, ketika Belanda sepenuhnya telah angkat kaki dari Indonesia, pihak penjajah memasang gerakan komunis untuk menyibukkan umat. Gerakan Komunis menguras banyak tenaga umat Islam di negeri ini sehingga mereka dengan mudah didepak oleh kalangan Sekular-Kristen yang menyokong Orde Baru. Selama 32 tahun masa Orde Baru, Islam dan umatnya mengalami marjinalisasi di negeri sendiri. Umat Islam dibuat minder dan rendah diri oleh Orde Baru. Sejarah kegemilangannya dihapuskan dari buku-buku sejarah sehingga umat Islam kehilangan jatidirinya.

 

Dakwah Hari Ini

Dunia Islam kembali menggeliat pada paruh akhir Abad Kedua Puluh Masehi. Para intelektual Islam dan ulama mencoba menggali kembali warisan peradaban Islam. Gerakan ini hingga menyentuh ranah politik dan berakibat tergulingnya beberapa diktator di negeri-negeri Muslim. Tumbangnya Orde Baru pada 1998 memicu kebebasan berpikir dan berserikat di negeri ini yang pada akhirnya memunculkan kembali ide Islam Politik dan penegakan syariah Islam dalam ranah negara. Kesadaran untuk berislam pada akhir-akhir ini menjadi tren budaya utama di negeri ini.

Kondisi ini mirip dengan gambaran Sunan Kalijaga tentang masa akhir Majapahit dan digubah dalam syair Lir Ilir, yaitu ketika masyarakat bangkit dan bergairah untuk menerapkan Islam dan menuntut penguasa untuk menerapkan syariah Islam sebagai asas utama dalam bernegara. Kondisi ini menjadi pemuncak dakwah, namun jangan melenakan para pengemban dakwah dan kaum Muslim.

Kondisi seperti ini juga meniscayakan benturan besar dengan pihak-pihak yang membenci tegaknya Islam. Ini seperti kondisi pada masa-masa akhir dakwah Rasulullah Muhammad saw. di Makkah yang penuh dengan siksaan, boikot, hingga ancaman bunuh. Mengahadapi hal ini, kaum Muslim, terkhusus para pengemban dakwah harus tetap tabah menghadapi gelombang penentangan yang pasti dilakukan oleh pihak-pihak yang membenci cahaya Islam. Para pengemban dakwah tidak boleh putus asa. Juga tidak boleh terpancing ketika menghadapi provokasi para pembenci Islam yang menggunakan segala cara untuk merusak dakwah yang bergulir kencang.

Untuk hal itu, kaum Muslim khususnya para pengemban dakwah harus berjalan pada rel dakwah intelektual. Mereka tidak boleh berhenti belajar, berliterasi, dan bertafakur untuk mengevaluasi langkah dakwahnya. Belajar dan berliterasi akan membuka wawasan tentang dinamika masyarakat, sejarahnya, juga tsaqafah Islam. Melalui aktivitas ini, para pengemban dakwah tidak akan mudah takjub pada hal-hal yang melenakan cita-citanya. Mereka juga akan melebur untuk belajar bersama dengan masyarakat serta mendidik dan memimpin masyarakat dengan kemuliaan Islam. Tentu hal ini juga ditopang dengan taqarrub Ilallah. Dengan itu dakwah kokoh seperti karang di samudera dan membumi karena kesadaran bahwa diri ini hanyalah hamba dan sekadar menjadi wasilah bagi tegaknya kemuliaan Islam di dunia.

WalLahu’alam bi ash-shawab. [Nur Fajarudin, M.P; (Pegiat Komunitas Literasi Islam)]

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

five + 20 =

Back to top button