Nafsiyah

’Ibâd Ar-Rahmân: Terdepan Dalam Kebenaran

Umat Islam adalah umat terbaik (QS Ali ’Imran [3]: 110). Kebaikannya mencakup sifat terdepan dalam kebaikan dan kebenaran. Hal itu tersurat nan tersirat dalam doa yang diajarkan dalam al-Quran; yang diperkenalkan sebagai doa ’Ibâd ar-Rahmân (hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih), dalam potongan doa (iqtibâs) dari al-Quran:

رَبَّنَا هَبۡ لَنَا مِنۡ أَزۡوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعۡيُنٖ وَٱجۡعَلۡنَا لِلۡمُتَّقِينَ إِمَامًا  ٧٤

Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi kaum yang bertakwa (QS al-Furqan [25]: 74).

 

Menariknya, potongan ayat di atas, bagian dari perincian sifat-sifat ‘Ibâd ar-Rahmân (hamba-hamba Allah yang shalih) yang mengandung petunjuk-petunjuk agung: Pertama, doa ini mengajarkan kedekatan dengan Allah. Artinya, seseorang wajib dekat dengan Allah, termasuk dalam perkara yang berkaitan dengan diri dan orang-orang terdekatnya. Doa ini harus dipanjatkan dengan qalbu yang khusyuk, dekat dengan Allah. Ini ditandai dengan lafal rabbanâ, yang tidak didahului oleh harf an-nidâ’ (semisal lafal: ). Demikian sebagaimana diuraikan Prof. Dr. Aiman Amin ’Abdul Ghani dalam Al-Kâfî fî al-Balâghah.

Kedua, doa ini mengajarkan sifat peduli, mengajak sebanyak-banyaknya orang dalam doa yang penuh dengan kebaikan. Ini ditandai dengan bentuk nahnu (kami) yang disisipkan dalam kata-kata ganti dalam doa, bukan lagi berbicara anâ (keakuan). Ini menegasikan egosentrisme pada keshalihan diri sendiri. Doa agar diri, keluarga bahkan masyarakat bahagia dengan ketaatan pada-Nya. Ini sebagaimana diuraikan Syaikh Ali ash-Shabuni dalam Shafwat al-Tafâsîr (II/340): “Maknanya: Jadikanlah kebahagiaan dan kesenangan untuk kami, pada istri-istri dan anak-anak, dengan berpegang teguh senantiasa menaati-Mu dan beramal untuk meraih keridhaan-Mu.”

Ketiga, Doa ini mengajarkan mulianya cita-cita yang tinggi (‘uluww al-himmah), menjadi insan terdepan dalam kebenaran. Ini karena lafal “imâm[an]” menunjukkan pribadi yang diikuti. Ada ma’mûm di belakangnya yang meneladani ketakwaannya kepada Allah. Syaikh Ali ash-Shabuni mengungkapkan: Maknanya, agar Allah menjadikan kita teladan yang diikuti oleh orang-orang yang bertakwa; golongan yang mengajak pada kebenaran; golongan yang menunjuki orang-orang yang mencari jalan petunjuk. Ibn ’Abbas ra. dalam atsar-nya menyifati:

أئمة يقتدى بنا في الخير

“Para pemimpin yang diikuti dalam kebaikan.”

 

Menariknya, dalam doa ini terkandung qashr (pengkhususan), bahwa kita hanya meminta dijadikan teladan terdepan bagi kaum yang bertakwa, bukan teladan keburukan bagi kaum yang durhaka dengan kedurhakaannya.

Tingginya cita-cita dan upaya (himmah) itu sendiri menjadi ciri tingginya keimanan. Dalam atsar-nya Ali bin Abi Thalib ra. bertutur:

عُلُوُّ الهِمَّةِ مِن الإِيْماَنِ

“Tingginya cita-cita adalah bagian dari keimanan.”

 

Merekalah golongan yang Allah sifati dalam ayat lanjutan:

أُوْلَٰٓئِكَ يُجۡزَوۡنَ ٱلۡغُرۡفَةَ بِمَا صَبَرُواْ وَيُلَقَّوۡنَ فِيهَا تَحِيَّةٗ وَسَلَٰمًا  ٧٥ خَٰلِدِينَ فِيهَاۚ حَسُنَتۡ مُسۡتَقَرّٗا وَمُقَامٗا  ٧٦

Mereka itulah orang yang diganjar dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya. Surga itulah sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman (QS al-Furqan [25]: 75-76).

 

Maknanya, mereka yang disifati dengan sifat-sifat mulia ‘Ibâd ar-Rahmân menggapai derajat yang tinggi, karena kesabaran mereka menjalankan syariah Allah. Mereka mendapati penghormatan dan ucapan selamat dari para malaikat yang mulia. Demikian sebagaimana firman-Nya:

وَأَزۡوَٰجِهِمۡ وَذُرِّيَّٰتِهِمۡۖ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ يَدۡخُلُونَ عَلَيۡهِم مِّن كُلِّ بَابٖ  ٢٣

(yaitu) Surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang shalih dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak-cucunya. Para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu (QS al-Ra’d [13]: 23).

 

Renungan: Golongan Penjegal Dakwah Bakal Binasa

Karakter ’Ibâd ar-Rahmân yang mulia, berbeda dengan karakter mereka yang terpedaya dengan dunia. Mereka tuli dan buta ketika diperingatkan Allah dengan ayat-ayat-Nya. Allah menyifati ’Ibâd ar-Rahmân:

وَٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُواْ بِ‍َٔايَٰتِ رَبِّهِمۡ لَمۡ يَخِرُّواْ عَلَيۡهَا صُمّٗا وَعُمۡيَانٗا  ٧٣

(’Ibâd ar-Rahmân) adalah orang-orang yang jika diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta  (QS al-Furqan [25]: 73).

 

Menafsirkan ayat ini, Syaikh Ali al-Shabuni dalam Shafwat at-Tafâsîr (II/340) menjelaskan: Maknanya,  jika telah diperingatkan dengan ayat-ayat al-Quran, dan dimunculkan rasa takut dengannya, maka mereka tak akan berpaling darinya. Mereka mendengarkan dengan seksama dan qalbu yang peka. Adapun golongan yang tuli dan buta dari peringatan-Nya, jelasnya menggambarkan sifat-sifat kaum yang durhaka, di antaranya al-’Ash bin Wa’il dan Abu al-Asyad bin Kaldah.

Al-’Ash bin Wa’il la’natulLaahi ’alayhi, ketika ditagih hutang oleh Khabbab bin al-Art ra., malah berbicara mengolok-olok, dengan berkata, “Demi Tuhan. Aku tidak akan membayarmu sebelum kamu kafir kepada Muhammad.” Lalu Khabbab berkata, “Tidak. Demi Allah. Aku tidak akan kafir kepada Muhammad saw. sampai kamu mati pun, kemudian kamu dibangkitkan.” Al-’Ash bin Wail mengatakan, “Kalau demikian, biarlah saya mati, lalu saya dibangkitkan dan kamu datang kepadaku, karena saat itu aku mempunyai harta dan anak, dan aku akan membayarmu.”

Kemudian turunlah ayat:

أَفَرَءَيۡتَ ٱلَّذِي كَفَرَ بِئَايَٰتِنَا وَقَالَ لَأُوتَيَنَّ مَالٗا وَوَلَدًا  ٧٧ أَطَّلَعَ ٱلۡغَيۡبَ أَمِ ٱتَّخَذَ عِندَ ٱلرَّحۡمَٰنِ عَهۡدٗا  ٧٨ كَلَّاۚ سَنَكۡتُبُ مَا يَقُولُ وَنَمُدُّ لَهُۥ مِنَ ٱلۡعَذَابِ مَدّٗا  ٧٩

Apakah kamu telah melihat orang yang kafir pada ayat-ayat Kami dan ia mengatakan, “Pasti aku akan diberi harta dan anak.” Adakah ia melihat yang ghaib atau ia telah membuat perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pemurah? Sekali-kali tidak. Kami akan menulis apa yang ia katakan. Benar-benar Kami akan memperpanjang azab untuk dirinya (QS Maryam [19]: 77-79).

 

Jangankan di akhirat, di dunia saja ia mati dalam kebinasaan, dengan penyakit mematikan.

Adapun Abu al-Asyad bin Kaldah adalah orang angkuh. Dia mengaku mengeluarkan harta yang banyak untuk memusuhi Rasulullah saw. Dia berkata dengan riya’ dan sum’ah: “Aku telah mengeluarkan harta yang sangat banyak untuk memusuhi Muhammad saw.”

Apakah harta bendanya tersebut membuahkan kebaikan? Tidak. Justru Allah menyifati pengakuannya—yang mengeluarkan harta—dengan sifat menghancurkan harta secara sia-sia:

يَقُولُ أَهۡلَكۡتُ مَالٗا لُّبَدًا  ٦

Dia mengatakan, “Aku telah menghabiskan harta yang banyak.” (QS al-Balad [90]: 6).

 

Menariknya, Imam Syihabuddin al-Alusi (w. 1342 H) dalam tafsirnya (XXX/136) menjelaskan: “Tujuan dari perkataannya itu bahwa harta yang ia keluarkan untuk pamer dan sum’ah, dimana perbuatan mengeluarkan harta diungkapkan (dalam ayat) dengan ihlâk (merusak harta), untuk menonjolkan tidak adanya kepedulian (pada harta), dan bahwa ia tidak melakukan demikian demi mengharapkan manfaat, seakan-akan ia menjadikan harta benda yang banyak itu hilang.” Hilang tak bernilai karena tidak meninggalkan jejak kebaikan. Mahabenar Allah Yang berfirman:

فَأَمَّا ٱلزَّبَدُ فَيَذۡهَبُ جُفَآءٗۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ فَيَمۡكُثُ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ كَذَٰلِكَ يَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ  ١٧

Buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada manusia akan tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (QS ar-Ra’d [13]: 17).

 

WalLaahu a’lam bi ash-shawaab. [Irfan Abu Naveed]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 × 3 =

Back to top button