Nafsiyah

Menguatkan Himmah Memperjuangkan Khilafah

Masa depan gemilang tidaklah dibangun dengan angan-angan. Tidak pula dengan diam berlepas tangan. Ia dijemput dengan perjuangan yang dilandasi keimanan. Digerakkan pemikiran dan tsaqâfah mustanîrah (cemerlang). Ditopang himmah ‘âliyyah (tekad yang tinggi). Ali bin Abi Thalib r.a. bertutur:

عُلُوُّ الهِمَّةِ مِن الإِيْمَانِ

Tingginya tekad adalah bagian dari keimanan.

 

Al-Himmah, menurut Abu Hilal al-‘Askari (w. 395 H) dalam Mu’jam al-Furûq al-Lughawiyyah (hlm. 558), menggambarkan besarnya al-hamm (tekad) terhadap sesuatu. Al-Hamm digambarkan al-‘Askari:

الفكر في إزالة المكروه واجتلاب المحبوب

Pemikiran untuk menghalau hal yang dibenci dan upaya keras mewujudkan apa yang dikehendaki.

 

Dengan demikian tekad yang tinggi memperjuangkan tegaknya Khilafah demi menegakkan Din Islam dalam kehidupan lahir dari pemikiran yang mendalam (‘amîq) nan cemerlang  (mustanîr), melekat pada diri mereka yang berkepribadian Islam (al-syakhshiyyah al-Islâmiyyah), dan terlahir dari pembinaan Islam (tatsqîf murakkazah). Bukan sekadar klaim. Sifat ini harus tampak nyata. Terejawantahkan dalam konsistensi terhadap aktivitas dakwah. Tetap berdiri menghadapi berbagai rintangan yang menghadang. Pantang mundur ke belakang. “Sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai.” Merealisasikan perintah-Nya:

فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ

Kemudian jika engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah (QS Ali ‘Imran [3]: 159).

 

Mencakup himmah menjemput nashruLlâh berupa terbitnya kembali fajar kebangkitan kaum Muslim, untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam dalam naungan Tâj al-Furûdh, Al-Khilâfah:

وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمۡ دِينَهُمُ ٱلَّذِي ٱرۡتَضَىٰ لَهُمۡ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعۡدِ خَوۡفِهِمۡ أَمۡنٗاۚ يَعۡبُدُونَنِي لَا يُشۡرِكُونَ بِي شَيۡ‍ٔٗاۚ ٥٥

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka dan akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutu-kan apapun dengan-Ku (QS an-Nur [24]: 55).

 

Dalam ayat yang agung ini, Allah SWT telah berjanji dengan janji pasti (wa’adaLlâh), sebagai kiasan (majâz) dari kalimat sumpah Allah yang disamarkan (al-yamîn al-mudhmar), karena hakikat maknanya: “Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, Demi Allah, Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi (dan seterusnya)” (lihat: Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân (VII/114)).

Lafal wa’ada yang diungkapkan dengan kata kerja lampau (al-fi’il al-mâdhi’) pun menunjukkan kepastian apa yang diinformasikan (qath’i). Allah tidak mungkin menyalahi janji-Nya (Lihat: QS ar-Rum [30]: 60).

Allah SWT telah berjanji menganugerahkan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih, yakni kedudukan agung. Menurut Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) dalam Mafâtîh al-Ghayb (XXIV/412), maknanya:

فَيَجْعَلَهُمُ الْخُلَفَاءَ وَالْغَالِبِيْنَ وَالْمَالِكِيْن

Dia menjadikan mereka sebagai para khalifah (al-khulafâ’), para penakluk (al-ghâlibîn) dan para penguasanya (al-mâlikîn).

 

Maka dari itu, tidak layak  mereka yang meyakini suatu kebenaran dikalahkan oleh mereka yang membela kebatilan. Bagaimana bisa? Padahal Allah SWt telah berfirman:

وَقُلۡ جَآءَ ٱلۡحَقُّ وَزَهَقَ ٱلۡبَٰطِلُۚ إِنَّ ٱلۡبَٰطِلَ كَانَ زَهُوقٗا ٨١

Katakanlah, “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sungguh yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap (QS al-Isra’ [17]: 81).

 

Sikap seorang Mukmin, sebagaimana al-Imam al-Syafii (w. 204 H), adalah:

اِعرف الحقَّ لذِي الحقِّ # إذا حَقَّ له الحقّ

لا خيْرَ في مَنْ يُنْكِرُ الحقَّ # إذا حَقَّ له الحقُّ

 

Kenalilah kebenaran pada pemilik kebenaran

Jika benar bagi dia kebenaran

Tidak ada kebaikan pada diri orang yang mengingkari kebenaran

Jika benar bagi dia kebenaran

 

Kebenaran khabar ini pun diperjelas oleh Ash-Shâdiq al-Mashdûq Rasulullah saw. yang bersabda:

ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَة عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian (HR Ahmad dan al-Bazzar).

 

Hal ini diperjelas oleh hadis-hadis yang mengabarkan kemunculan Imam al-Mahdi dan Isa bin Maryam a.s. sebagai penguasa Islam (Khalifah) di akhir zaman. Salah satunya:

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَة حَتَّى تَمْتَلِيء الأَرْضُ ظُلْمًا وَعُدْوَاً، ثُمَّ يَخْرُجُ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِيْ أَوْ عِتْرَ تِي  فَيَمْلَؤُهَا قِسْطًا وَعَدْلا كَمَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا

Hari Kiamat tidak akan tiba, kecuali setelah bumi ini dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan. Kemudian keluarlah seorang lelaki dari kalangan keluargaku (Ahlul Bait) atau keturunanku. Lalu ia memenuhi dunia ini dengan keseimbangan dan keadilan, sebagaimana sebelumnya telah dipenuhi dengan kezaliman dan permusuhan (HR Ibn Hibban).

 

Imam as-Safaraini dalam Ad-Durrah al-Mudhiyyah, dinukil Al-Hafizh Abdullah bin Muhammad al-Ghumari (w. 1413 H) dalam Al-Mahdî al-Muntazhar (hlm. 10) bersenandung:

وما أتى في النص من أشراط # فكله حق بلا شطاط

منها الإمام الخاتم الفصيح# محمد المهدي والمسيح

Apa saja yang dinyatakan nas tentang tanda-tanda kiamat

Seluruhnya benar tanpa cacat

Di antaranya al-Imam penutup yang fasih

Muhammad al-Mahdî dan al-Masîh

 

Berkaca dari Keteladanan Pejuang Islam

Pakar sejarah, Taqiyuddin al-Muqrizi (w. 845 H), dalam kitab sîrah-nya, Imtâ’ al-Asmâ’ (IV/148), menuturkan: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara orang yang berakal, bahwa Muhammad saw adalah orang yang paling tinggi himmah-nya, paling berlimpah hikmah pengetahuannya…”

Al-Muqrizi lantas menggambarkan bahwa hal tersebut menjadi salah satu faktor penyokong keberhasilan dakwah Rasulullah saw. Bagaimana tidak? Merekalah generasi salaf yang tatkala ditakut-takuti justru semakin kokoh memperjuangkan Dîn Allâh:

ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ فَٱخۡشَوۡهُمۡ فَزَادَهُمۡ إِيمَٰنٗا وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ ١٧٣

(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang mengatakan kepada mereka, “Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Karena itu takutlah kalian kepada mereka!” Ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah (menjadi Penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik Pelindung.” (QS Ali ‘Imran [3]: 173).

 

Al-‘Allamah Muhammad Ali ash-Shabuni dalam Shafwah al-Tafâsîr (hlm. 224) menafsirkan ayat fazâdahum îmân[an], yakni: tidaklah teror yang menakut-nakuti ini menambah-nambah bagi orang beriman melainkan keimanan. Ini sejalan dengan hakikat di balik doa hasbunaLlâhu wa ni’mal wakîl, sebagai kalimat yang terucap pada lisan Ibrahim a.s. ketika ia dilemparkan kaum musyrik ke dalam gejolak api. Al-Hafizh al-Suyuthi (w. 911 H) menegaskan bahwa doa ini disunnahkan ketika menghadapi kesulitan dan perkara-perkara besar. Doa ini berjalan beriringan dengan amal nyata:

فَيَذۡهَبُ جُفَآءٗۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ فَيَمۡكُثُ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ كَذَٰلِكَ يَضۡرِبُ ٱللَّهُ ٱلۡأَمۡثَالَ ١٧

Buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada manusia akan tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat ragam perumpamaan (QS ar-Ra’d [13]: 17).

WaLlâhu a’lam bi ash-shawâb. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I; (Peneliti Balaghah al-Quran dan Hadits Nabawi)]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

twelve + 17 =

Back to top button