Tafsir

Penghuni Surga dan Penghuni Neraka

كُلُّ نَفۡسِۢ بِمَا كَسَبَتۡ رَهِينَةٌ ٣٨  إِلَّآ أَصۡحَٰبَ ٱلۡيَمِينِ ٣٩ فِي جَنَّٰتٖ يَتَسَآءَلُونَ ٤٠  عَنِ ٱلۡمُجۡرِمِينَ ٤١

Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dia lakukan, kecuali golongan kanan; yang berada di dalam surga. Mereka saling menanyakan. Tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa.  (QS al-Muddatstsir [74]: 38-41).

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

كُلُّ نَفۡسِۢ بِمَا كَسَبَتۡ رَهِينَةٌ ٣٨

Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dia lakukan.

 

Ayat ini diawali dengan kata كُلُّ (setiap). Kata tersebut bermakna جَمِيْع (semua, seluruh, setiap, masing-masing). Menunjukkan makna الشُّمول والاستغراق والتَّمام (keseluruhan, mencakup segala sesuatu, dan secara total) bagi individu yang disandarkan kepadanya atau bagian-bagiannya.1

Menurut Abu al-Abbas, selain bermakna al-istighrâ (mencakup segala sesuatu), kata kullu kadang juga bermakna al-katsîr (kebanyakan), seperti terkandung dalam QS al-Ahqaf [46]: 25.2

Penjelasan senada juga disampaikan oleh Ibnu al-‘Atsir. Kata kullu digunakan untuk menyebut sesuatu secara keseluruhan, namun juga digunakan dengan makna ba’dh (sebagian).3

Kata nafs (jiwa) yang dimaksud ayat ini adalah al-insân (manusia). Dengan demikian kata kullu nafs[in] berarti kullu insâ (setiap manusia).4 Secara lahiriah bermakna umum, yakni semua jiwa.5 Akan tetapi, jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, mengingat ayat ini  menjadi bayân (penjelasan) kepada pendengar tentang kesudahan dari pilihan manusia dalam firman Allah SWT لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّر ([yaitu] bagi siapa di antara kalian yang ingin maju atau mundur), maka yang dimaksud nafs adalah orang-orang yang secara khusus telah mendapatkan peringatan. Ini termasuk kata yang bersifat umum yang dimaksudkan adalah khusus dengan adanya qarînah. 6

Al-Harari dan Ismail al-Istanbuli juga mengatakan bahwa makna kullu nafs dalam ayat ini adalah semua manusia dan jin yang mukallaf.7

Kata  merupakan mashdariyyah. Makna kata al-kasb adalah apa yang diusahakan oleh manusia untuk mendapatkan manfaat dan menghasilkan keberuntungan. Dalam al-Quran, kata tersebut juga untuk menyebut perbuatan baik dan buruk.8

Menurut Ibnu ‘Asyur, makna huruf al-bâ` adalah li al-mushâhabah (menunjukkan kebersamaan), bukan li as-sababiyyah (menyatakan sebab).9 Namun, menurut sebagian mufassir lainnya bermakna sebab. Yang dimaksud dengan mâ kasaba adalah perbuatan buruk. Karena itu dalam sebagian kitab tafsir disebutkan: “Disebabkan oleh perbuatan buruk yang mereka lakukan.”10

Menurut ayat ini, semua manusia yang mukallaf dengan amalnya itu rahînah (ditahan, digadaikan). Menurut Mahmud Shafi, kata  merupakan bentuk muannats (kata benda perempuan) dari kata رَهِين (yang tergadai, tertahan).11 Kata tersebut merupakan kata sifat dengan wazan فَعِيل yang bermakna maf’ûl, sehingga makna kata رَهِين adalah مَرْهُوْن (yang tergadai, tertahan).

Menurut para ulama lainnya, kata رَهِينَةٌ dalam ayat ini merupakan ism al-mashdar yang bermakna الرَّهْنُ (gadaian), seperti halnya kata الشَتِيْمَة yang bermakna الشَّتْم (cacian, makian).12

Meskipun berbeda jenis kata bendanya, tetapi maknanya tidak berbeda. Sebab, kata ar-rahn yang merupakan mashdar tersebut juga bermakna maf’ûl. Hal ini sebagaimana dijelaskan al-Raghib al-Asfahani bahwa pengertian ar-rahn (gadai) adalah sesuatu atau benda yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan untuk utang).

Kata ar-rihân juga memiliki makna serupa, hanya saja dikhususkan dalam hal yang sangat penting atau berisiko. Keduanya merupakan bentuk mashdar.13

Dengan demikian dua kata tersebut, yakni مَرْهُوْن dan رَّهْنُ, maknanya tidak berbeda. Ini pula yang diterangkan Syihabuddin al-Alusi dan Abu Su’ud yang mengatakan bahwa ar-rahînah di sini merupakan mashdar dan bermakna ar-rahn. Menurut mereka, makna ayat ini adalah: مرهونة عند لله تعالى بكسبها (yang tergadai di sisi Allah SWT dengan amalnya).14 Penafsiran serupa juga disampaikan al-Baidhawi.15

Dengan demikian ayat ini memberitakan bahwa semua manusia yang mukallaf itu tertahan secara permanen di sisi Allah SWT dengan taklif yang Dia tetapkan. Jika mukallaf itu menunaikan apa yang diwajibkan atas dirinya, Allah SWT melepas dan membebaskan dirinya. Apabila tidak dilakukan, jiwa tersebut tegadai dan tertahan disisi Allah SWT.16

Pengertian demikian semakin jelas ketika dikaitkan dengan ayat sesudahnya. Dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman:

إِلَّآ أَصۡحَٰبَ ٱلۡيَمِينِ ٣٩

…kecuali golongan kanan.

 

Huruf إِلَّا  adalah adât al-istitsnâ‘ (partikel untuk mengecualikan). Dengan demikian kata yang berada sesudahnya, yakni: أَصْحَابَ الْيَمِينِ (golongan kanan) menjadi al-mustasnâ (perkara yang diperkecualikan).17 Itu artinya, semua orang tergadai oleh amalnya kecuali ‘golongan kanan’. Mereka tidak termasuk yang orang yang tergadaikan oleh amalnya. Demikian penjelasan para mufassir.18

Qatadah berkata, “Semua manusia digantung kecuali golongan kanan.”19 Menurut al-Baghawi, hal itu disebabkan karena mereka tidak tergadai oleh dosa-dosa mereka di neraka. Mereka diampuni Allah SWT.20

Menurut asy-Syaukani, mereka (golongan kanan) tidak tergadai oleh dosa-dosa mereka, melainkan mereka dibebaskan karena telah mengerjakan amal kebaikan.21

Az-Zamakhsyari berkata, “Setiap jiwa tergadai oleh amalnya di sisi Allah SWT serta tidak terbebas, kecuali golongan kanan. Sebabnya, mereka membebaskan leher mereka dengan amal kebaikan yang mereka lakukan, sebagaimana orang yang menggadaikan dapat membebaskan barangnya dengan menunaikan kewajibannya.”22

Dengan demikian ayat ini mengecualikan orang yang terlepas lehernya. Mereka adalah ashhâb al-yamîn. Hanya saja terdapat perbedaan di antara para mufassir tentang siapa yang dimaksud dengan ashhâb al-yamîn (golongan kanan).

Menurut Ibnu Abbas, yaitu kaum Mukmin.23 Menurut al-Hasan dan Ibnu Kaisan, mereka adalah kaum Muslim yang mukhlis.24 Menurut riwayat Ibnu al-Mundzir juga pendapat Ibnu Abbas, mereka melepaskan leher mereka dengan kebaikan yang mereka kerjakan sebagaimana orang yang menggadaikan barang membebaskan barang gadaiannya dengan menunaikan agama.25

Al-Harari mengatakan, mereka adalah kaum Mukmin yang mengerjakan amal salih. Mereka telah membebaskan leher mereka dengan amal kebaikan mereka sebagaimana penggadai dapat menebus barang gadaiannya dengan menunaikan agama.26

Al-Kalbi mengatakan bahwa mereka adalah yang yang berpegang teguh pada janji Nabi Adam as.27 Menurut al-Baghawi, ini merupakan pendapat Muqatil.28

Menurut riwayat lainnya, Muqatil menafsirkannya sebagai orang-orang yang diberikan kitab catatan amal  dengan tangan kanan. Mereka tidak tergadai di neraka karena dosa-dosa mereka.29

Semua penafsiran itu masih berdekatan. Intinya, ashhâb al-yamîn (golongan kanan) adalah para  mukallaf yang menjalankan taklif-taklif hukum dari Allah SWT sehingga mereka terbebas dari neraka. Memang mereka bukan tanpa kesalahan sama sekali. Akan tetapi, keimanan dan kebaikan amal yang dikerjakan selama di dunia membuat mereka mendapatkan ampunan Allah SWT. Mereka pun tidak dihisab kecuali dengan hisâb yasîr (penghitungan yang ringan) sebagaimana diberitakan dalam QS al-Insyiqaq.

Penafsiran lain diberikan oleh Ali bin Abi Thalib ra. dan Ibnu Umar ra. bahwa mereka adalah anak-anak kecil orang Muslim.30  Menurut al-Farra‘, pendapat ini lebih mendekati kebenaran. Alasannya, anak-anak belum mendapatkan dosa yang membuat mereka tergadai. Allah SWT menyebutkan sifat mereka dalam ayat sesudahnya: Mereka saling menanyakan,  tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, “Apa yang menyebabkan kalian masuk ke dalam (neraka) Saqar?” (ayat 40-42). Ini tepat dikaitkan dengan anak-anak. Sebabnya, mereka tidak mengetahui tentang dosa sehingga mereka menanyakan hal itu.

Dalam riwayat lainnya, Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka adalah para malaikat.31 Dua penafsiran terakhir, yakni anak-anak kaum Muslim dan para malaikat, ini memiliki kesamaan. Mereka sama-sama tidak dihisab karena tidak mendapat taklif. Karena itu mereka benar-benar terbebas dan tidak tertahan oleh amalnya yang buruk. Hanya saja, sebagaimana dikatakan al-Alusi, penyebutan kata an-nafs untuk malaikat tidak dikenal. Mereka pun tidak disifati dengan al-kasb (perbuatan, perolehan) sebagaimana disebutkan secara tekstual sebelumnya dan sesuai konteksnya, sehingga yang dimaksud adalah sekelompok mukallaf yang mengerjakan kebajikan. 32

Kemudian Allah SWT berfirman:

فِي جَنَّٰتٖ يَتَسَآءَلُونَ ٤٠  عَنِ ٱلۡمُجۡرِمِينَ ٤١

…yang berada di dalam surga. Mereka saling menanyakan tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa.

 

Menurut ayat ini, golongan kanan itu berada di jannât (surga-surga). Tempat tinggal kaum yang bertakwa. Ketika berada di surga mereka diberitakan: يَتَسَاءَلُونَ (mereka saling bertanya). Secara bahasa, kata dengan wazan al-tafâ’ul, bermakna adanya perbuatan yang dilakukan antara dua pihak. Dengan demikian maknanya: Sebagian orang dari golongan kanan itu bertanya kepada sebagian lainnya tentang al-mujrimîn (orang-orang yang berdosa).33

Bisa juga wazan tersebut juga bermakna takrîr al-fi’l. Artinya, masing-masing dari mereka banyak bertanya dan berulang-ulang atau menunjukkan banyaknya pertanyaan karena banyaknya orang yang bertanya.34

Tentang dengan siapa ashhâb al-yamîn itu bertanya, ada beberapa penjelasan. Sebagian mengatakan bahwa mereka bertanya langsung kepada orang-orang berdosa. Huruf عَن merupakan zâidah (tambahan) sehingga maknanya: يَسْأَلُونَ الْمُجْرِمِ (mereka bertanya kepada orang-orang yang berdosa).35 

Sebagian lainnya mengatakan bahwa saling tanya itu terjadi di antara sesama golongan kanan. Sebagian mereka bertanya kepada sebagian lainnya tentang keadaan orang-orang yang berdosa.36 Adapun nasib al-mujrimûn menjadi objek pembicaraan dan pertanyaan mereka.

Jika demikian maknanya, kalimat yang muncul adalah: مَا سَلَكَهُمْ فِي سَقَرَ ؟  (apa yang menyebabkan mereka masuk Neraka Saqar).

Oleh karena itu, jika dimaknai demikian, maka peristiwa saling tanya di antara sesama mereka itu terjadi pada awalnya.  Setelah mereka melihat orang-orang yang berdosa, lantas bertanya kepada mereka:  Apa yang menyebabkan kalian masuk ke dalam (Neraka) Saqar?37

Dengan demikian, tetap terjadi percakapan antara penghuni surga dan penghuni neraka. Ibnu Katsir berkata, “Mereka bertanya kepada orang-orang yang berdosa itu. Ketika itu mereka sendiri berada di kamar-kamar surga yang tinggi, sedangkan orang-orang yang ditanyai berada di dasar neraka.”38

Penjelasan senada juga disampaikan oleh asy-Syaukani dan lain-lain.39

Menurut Abdurrahman as-Sa’di, setelah para penghuni surga itu mendapatkan semua yang diminta dan telah sempurna mendapatkan ketenangan dan ketenteraman, mereka saling berhadapan sambil bertanya dan terlibat pembicaraan. Mereka pun bertanya tentang orang yang berdosa, yakni tentang keadaan dan yang menimpa mereka. Apakah mereka mendapatkan apa yang dijanjikan Allah SWT kepada mereka? Sebagian mereka berkata kepada yang lain, “Maukah kamu melihat orang-orang yang berdosa itu?” Mereka pun melihatnya berada di tengah neraka.40

Pendapat lainnya mengatakan bahwa kaum  Mukmin itu bertanya kepada para malaikat tentang kerabat mereka. Lalu beberapa malaikat bertanya kepada orang-orang musyrik dan mengatakan: “Apa yang memasukkan kalian ke neraka.” 41

Ada pula yang menerangkan bahwa yang bertanya itu adalah anak-anak. Pendapat ini disampaikan al-Farra’. Ayat ini, katanya, menguatkan penafsiran bahwa yang dengan ashhâb al-yamîn adalah anak-anak. Mereka bertanya disebabkan karena mereka tidak mengenal dosa. Kemudian diberitakan tentang jawaban penghuni neraka kepada mereka.42

WalLâh a‘lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, vol. 3 (tt: ‘Alam al-Kitab, 2008), 1952

2        Abu al-Abbas, al-Mishbâh al-Munîr, vol. 3 (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, tt), 538

3        Murtadha al-Zabidi, Tâj al-‘Arûs, vol. 30 (tt: Dar al-Hidayah, tt), 339

4        Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29 (Tunisia: al-Dar al-Tunisyiyyah, 1984), 324

5        Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10 (Beirut: Dar al-Fikr,  1420 H), 337

6        Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 324

7        al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30 (Beirut: Dar Thawq al-Najah, 2001), 410; Ismail al-Istambuli, Rûh al-Bayân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 239

8        al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân, 710

9        Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 324

10      al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 410; Ismail al-Istambuli, Rûh al-Bayân, vol. 10, 239

11      Mahmud Shafi, al-Jadwâl fî I’râb al-Qur‘ân, vol. 29 (Damaskus: Dar al-Rasyid, 1998), 160

12      al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 654.  al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabiy, 1420 H), 71; al-Syaukani, Fath al-adîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 399; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964), 86

13      al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar a-Qalam, 1992), 367

14      al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 146; Abu S’ud, Irsyâd al-‘Aql al-Salîm  ilâ Mayâza al-Qur`ân al-Karîm, vol. 9 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabiyy, tt), 61

15      al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihsya al-Turats al-‘Arabi, 1998), 345

16      al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 410; Ismail al-Istambuli, Rûh al-Bayân, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 239

17      al-Da’as, I’râb al-Qur‘ân, vol. 3 (Damaskus: Dar al-Munir, 2004), 401

18      Lihat al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2000), 35; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 86

19      al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 8 (tt: Dar Thayyah, 1997), 272

20      al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 8, 272

21      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399

22      al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 654

23      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 714-715

24      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 87. Lihat juga al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 8, 273

25      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 87. Lihat juga al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 8, 273

26      al-Harari, Tafsir Hadâ’iq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 410

27      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 714-715

28      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 715. Lihat juga al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 8, 273

29      Lihat al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 87

30      al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 35; al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 8, 273

31      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 715; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 86; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399

32      al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 146

33      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 325

34      Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 325

35      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 715

36      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 715

37      al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 30, 715

38      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azhîm, vol. 8, 273

39      al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399

40      al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahman, 897

41      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 87; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399

42      al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 87; al-Syaukani, Fat-h al-adîr, vol. 5, 399

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

sixteen − 2 =

Back to top button