Nafsiyah

Pertolongan Allah di Jalan Dakwah

Peristiwa thalab al-nushrah Rasulullah saw. kepada Bani Tsaqif di Tha’if, keteguhan beliau menempuh metode ini, juga tutur beliau kepada umatnya tentang semangat juang tanpa batas—saat keyakinan, kesabaran, ketawakalan berpadu dengan kesadaran politik beliau—membuahkan hasil. Kemudahan demi kemudahan menyertai kesulitan yang beliau hadapi dari perbuatan buruk Bani Tsaqif, Tha’if. Bahkan semua itu berbuah pertolongan dan kemenangan dari Allah.

Kenyataannya, penolakan penduduk Tha’if sedikit pun tak menyurutkan himmah Rasulullah saw. dalam berdakwah hingga pertolongan-Nya menyertai setiap langkah dakwah beliau. Tha’if, kota berjuluk bustân Makkah (kebunnya Makkah) ini menjadi saksi lahirnya dukungan lintas makhluk ciptaan Allah, dari bangsa manusia, bangsa jin hingga malaikat.

 

Ahlul Kitab Bangsa Jin dan Manusia Masuk Islam

Momentum agung dakwah Rasulullah saw. kepada penduduk Tha’if, mengisahkan jejak perjuangan tanpa kenal lelah dan penuh berkah. Keberkahannya membuahkan dukungan ke-Islam-an Ahlul Kitab Nasrani, Adas. Dalam kitab Sîrah Nûr al-Yaqîn dideskripsikan, dalam perjalanan pulang ke Makkah, Rasulullah saw. sempat beristirahat di sebuah tempat dekat kebun milik kedua tokoh Kafir Quraysyi, ’Utbah dan Syaibah putra Rabi’ah, Adas an-Nasrani, yang menjadi sahaya keduanya justru takjub setelah mendengar ucapan basmalah Rasulullah saw. Saat itu Rasulullah saw. membacakan ayat tentang kisah Yunus yang mengantarkan Adas pada Islam, setelah mengetahui asal-usul Adas dari Ninawa, negeri Nabi Yunus bin Matta a.s.

Bahkan bukan hanya itu, jika penduduk Tha’if angkuh menampik seruan dakwah, maka secercah harapan dari ke-Islam-an bangsa jin cukup menjadi tamparan keras bagi manusia-manusia yang angkuh ini. Bangsa Jin Nashibin—Jin Ahlul Kitab Yahudi dari Yaman—beriman,  lalu mendakwahkan Islam kepada kaumnya sesama Bangsa Jin (Lihat: QS al-Ahqaf [46]: 29-30; QS Al-Jin [72]: 1-2). Bukankah Allah menggambarkan bangsa jin menyimak al-Quran yang dibacakan Rasulullah saw. hingga mereka beriman? Bukan hanya beriman, bahkan mereka pun mendakwahkan Islam kepada sesama Bangsa Jin (mundzirîn). Allah pun menurunkan pertolongan-Nya, menguatkan himmah Rasulullah saw. dengan menurunkan Malaikat Jibril as. Ia mendatangi Rasulullah saw. dengan membawa perintah dari Allah, yang memerintahkan Jibril as. untuk melakukan apa yang diminta Rasulullah saw. atas penolakan keji orang-orang Tha’if. Alih-alih membalas keburukan mereka, Rasulullah saw. justru mendoakan kebaikan untuk mereka:

اللهمّ اهد قومي فإ نهم لا يعلمون

Ya Allah, tunjukilah kaumku, karena sungguh mereka kaum yang tidak mengetahui.

 

Apa yang terjadi? Pada akhirnya, Bani Tsaqif Tha’if kembali pada fitrahnya, Diin Al-Islaam. Kesulitan yang dihadapi dalam momentum Tha’if adalah jalan menuju kemudahan-kemudahan dari Allah.

Karena itu apa yang kita hadapi hari ini pun, yang dipandang sebagai kesulitan, bisa jadi merupakan kunci-kunci berbagai kemudahan, Mahabenar Allah Azza wa Jalla yang berfirman:

فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا  ٥ إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرٗا  ٦

Sungguh bersama suatu kesulitan ada kemudahan. Sungguh bersama suatu kesulitan ada kemudahan (QS al-Insyirâh [94]: 5-6).

 

Syaikh ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah dalam Al-Taysîr fî Ushûl al-Tafsîr (hlm. 91), saat  menjelaskan ayat ini, menuturkan bahwa satu kesulitan tak akan mampu menundukkan dua kemudahan sekaligus. Pasalnya, lafal yusr[an] (kemudahan) dalam bentuk ism naakirah merupakan jenis kemudahan lain di luar lafal yusr[an] (kemudahan) yang diulang pada ayat berikutnya. Karena ism naakirah berfaedah pada keragaman jenis, ia mengisyaratkan bahwa pengulangan lafal yusr[an] dalam ayat ini menegaskan keragaman bentuk kemudahan itu sendiri. Sebaliknya, lafal al-‘usr dalam bentuk ism ma’rifat menunjukkan bahwa lafal al-‘usr pada ayat pertama dan kedua, adalah jenis al-‘usr yang sama, yakni suatu kesulitan itu sendiri.

Menariknya, Allah SWT menyandingkan kesulitan (al-‘usr) senantiasa disertai oleh kemudahan (yusr[an]), ditandai lafal ma’a, “sungguh bersama suatu kesulitan itu ada kemudahan”. Huruf inna dan pengulangan (al-tikrâr) menegaskan kebenaran informasi yang dikandung dalam ayat ini; menafikan adanya keraguan.

Bukan hanya itu, kata al-’usr, Allah ungkapkan dalam bentuk kata benda spesifik (ma’rifat dengan alif lam), dan kata yusr Allah ungkapkan dalam bentuk kata benda non-spesifik (naakirah tanpa alif lam), ini menunjukkan konotasi bahwa kesulitan itu sifatnya terbatas, sedangkan kemudahan dari Allah itu luas, bentuk dan jumlahnya. Kesulitan yang dihadapi Rasulullah saw. di Thaif, misalnya, diiringi dengan pertolongan Allah di balik ke-Islam-an Adas dan Jin Nashibin, diikuti peristiwa agung Al-Isrâ’ wa al-Mi’râj, hingga meraih nushrah berhijrah ke Yastrib (Al-Madînah al-Munawwarah).

 

Teguh Menetapi Jalan Rasulullah saw.

Peta perjalanan dakwah Rasulullah saw. dan para Sahabat dengan ragam tantangan yang mereka hadapi adalah peta perjalanan dakwah yang juga akan dihadapi oleh para peniti jalan agung ini. Tidak ada jalan kebaikan yang menyampaikan kepada tujuan, melainkan dengan menetapi langkah demi langkah jalan ini. Jalan berakidah, beramal syariah dan bergerak dalam dakwah yang telah digariskan Rasulullah saw. adalah jalan lurus yang wajib diikuti:

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ  ١٥٣

(Yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus. Ikutilah ia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian Allah perintahkan agar kalian bertakwa (QS al-An’am [6]: 153).

 

Betapa meruginya kaum yang duduk-duduk berdiam diri, berpangku tangan, menunggu pertolongan turun dari langit. Padahal Rasulullah saw. telah beramal, menggariskan jalan dakwah bagi umatnya, dan memberikan sebaik-baiknya keteladanan. Untaian bait syair salah seorang sahabat menggambarkan semangat beramal, ketika bekerja bersama Rasulullah saw. membangun masjid pada awal tegaknya peradaban Islam di Madinah:

لَئِنْ قَعَدْنَا وَالنَّبِيُّ يَعْمَلُ *

لَذَاكَ مِنَّا الْعَمَلُ الْمُضَلّلُ

Jika kita duduk-duduk saja, saat Nabi saw. sibuk bekerja/Sungguh itu perbuatan sesat-menyesatkan

 

Memperjuangkan tegaknya kehidupan Islam pasti berbuah kebaikan di dunia dan akhirat. Karena itu tiada celah bagi kaum Muslim pejuang untuk mundur ke belakang, hatta ketika tantangan menjegal di depan mata:

وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيّٖ قَٰتَلَ مَعَهُۥ رِبِّيُّونَ كَثِيرٞ فَمَا وَهَنُواْ لِمَآ أَصَابَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَمَا ضَعُفُواْ وَمَا ٱسۡتَكَانُواْۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلصَّٰبِرِينَ  ١٤٦

Berapa banyak nabi yang berperang bersama sejumlah besar dari pengikut-(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar (QS Ali ’Imran [3]: 146).

 

WalLaahu a’lam bi ash-shawwaab. [Irfan Abu Naveed]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seventeen − twelve =

Back to top button