Tegar Menghadapi Makar Di Jalan Dakwah
Dakwah, jalan terang-benderang. Sinarnya tak kan pernah padam. Dilalui oleh mereka yang bertekad baja. Meskipun kesulitan demi kesulitan dilalui bagaikan menggenggam bara. Bukankah kaum Muslim mendapati teladan terbaik para pengemban dakwah, Al-Mushthafa Rasulullah saw.?
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ
Kelak akan datang suatu masa kepada manusia. Saat itu orang yang bersabar (berpegang teguh) dengan agamanya di tengah-tengah mereka bagaikan orang yang menggenggam bara api (HR at-Tirmidzi).
Kalimat kal-qâbidh ‘alâ al-jamr merupakan bentuk tasybîh (penyerupaan). Mengumpama-kan kesulitan seorang beriman yang berpegang teguh di atas jalan Islam. Itu semua dijalani tanpa gusar terhadap celaan orang-orang tercela (lawmata lâ’im) (lihat: QS al-Maidah [5]: 54]. Ini sebagaimana terucap pada masa kini di balik stigma negatif “radikal” dari mereka yang terpedaya dunia. Namun demikian, pada akhirnya mereka meraih kemenangan karena pertolongan dan kebersamaan dengan-Nya:
إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَواْ وَّٱلَّذِينَ هُم مُّحۡسِنُونَ ١٢٨
Sungguh Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan (QS an-Nahl [16]: 128).
Ma’iyyatuLlâh (kebersamaan dengan Allah) inilah yang senantiasa dihadirkan oleh generasi as-salaf ash-shâlih tatkala mendakwahkan Islam di tengah berbagai kezaliman kaum kuffar dan munafik. Tiada yang menghentikan dakwah kecuali tiba masa menuju keharibaan-Nya. Mendekatkan diri kepada Allah, bersabar di atas jalan dakwah secara berjamaah meniti metode dakwah Rasulullah saw., juga senantiasa mengasah kesadaran politik (al-wa’y al-siyâsi), adalah kunci-kunci istiqamah di atas kebenaran menghadapi berbagai makar mereka yang terpedaya dunia.
Urgensi Kesadaran Politik
Syaikhuna ’Atha bin Khalil Abu ar-Rasytah, ketika menafsirkan QS al-Baqarah [2]: 104-105 dalam At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (hlm. 126-135), menggambarkan berbagai makar yang dilakoni para pemimpin kafir Qurays berdasarkan petunjuk ayat-ayat al-Quran. Hal ini mengisyaratkan urgensi mengasah kesadaran politik (al-wa’y al-siyâsi) menghadapi makar mereka yang merintangi jalan dakwah.
Syaikh Atha bin Khalil, misalnya, menggambarkan Al-Akhnas bin Syuraiq sebagai orang yang rusak dan melakukan kerusakan, seseorang yang banyak berdusta dan pemikiran yang rendah. Lalu Allah SWT menurunkan ayat mengenai dirinya dengan firman-Nya yang sangat terang-benderang menjelaskan mengenai kerusakan tabiat dan perbuatannya:
وَلَا تُطِعۡ كُلَّ حَلَّافٖ مَّهِينٍ ١٠ هَمَّازٖ مَّشَّآءِۢ بِنَمِيمٖ ١١ مَّنَّاعٖ لِّلۡخَيۡرِ مُعۡتَدٍ أَثِيمٍ ١٢ عُتُلِّۢ بَعۡدَ ذَٰلِكَ زَنِيمٍ ١٣
Janganlah kamu mengikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, banyak mencela, kesana kemari menghambur fitnah, banyak menghalangi perbuatan baik, melampaui batas lagi banyak dosa, kaku dan kasar serta terkenal kejahatannya (QS al-Qalam [68]: 10-13).
Syaikh ’Atha kemudian merinci:
Ayat-ayat ini, juga ayat-ayat lainnya, menjelaskan urgensi kesadaran politik guna memahami kekuatan yang berpengaruh merintangi jalan dakwah Islam; menyingkap konspirasi, kedengkian dan tabiatnya yang buruk, yang penuh dengan tipudaya dan makar; serta memahami hubungan mereka dengan para tokoh kekufuran yang memusuhi Islam dan kaum Muslim. Hal itu diperlukan agar menjadikan jalan dakwah terang-benderang di hadapan para pengemban dakwah. Dengan itu mereka mampu menghindari tipudaya di belakang mereka. Mereka mampu meneguhkan kaki-kaki mereka tanpa onak dan duri, dan tak dihinggapi kegelapan, hingga jalan tersebut mampu mereka tempuh. Pada saat yang sama, mereka melepaskan berbagai belenggu musuh dan menyingkap jatidiri corong-corong mereka hingga mencakup celah kelemahannya, bagaimana dan dari arah mana mereka datang.
Itu semua dilakukan demi menutup celah demi celah benteng pertahanan Islam. Imam al-Auza’i (w. 157 H) mengingatkan:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ إِلَّا وَهُوَ قَائِمٌ عَلَى ثَغْرَةٍ مِنْ ثُغَرِ الْإِسْلَامِ، فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَلَّا يُؤْتَى الْإِسْلَامُ مِنْ ثَغْرَتِهِ فَلْيَفْعَلْ
Tidaklah setiap Muslim itu kecuali ia harus berdiri di depan celah di antara celah-celah pertahanan Islam. Siapa saja yang mampu agar Islam tidak (dihancurkan) datang dari celah di depannya, lakukanlah.
Sebaliknya, apa yang menimpa mereka yang merintangi jalan dakwah? Satu kata: kebinasaan.
Ibrah
Banyak pelajaran di balik kisah umat-umat terdahulu yang membangkang dan merintangi jalan dakwah. Kaum ’Ad, misalnya. Mereka adalah kaum Nabiyullah Hud as. Mereka diajak beribadah kepada Allah, namun mereka ingkar. Akhirnya, mereka dilaknat dunia-akhirat dan binasa:
وَتِلۡكَ عَادٞۖ جَحَدُواْ بَِٔايَٰتِ رَبِّهِمۡ وَعَصَوۡاْ رُسُلَهُۥ وَٱتَّبَعُوٓاْ أَمۡرَ كُلِّ جَبَّارٍ عَنِيدٖ ٥٩ وَأُتۡبِعُواْ فِي هَٰذِهِ ٱلدُّنۡيَا لَعۡنَةٗ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ أَلَآ إِنَّ عَادٗا كَفَرُواْ رَبَّهُمۡۗ أَلَا بُعۡدٗا لِّعَادٖ قَوۡمِ هُودٖ ٦٠
Itulah (kisah) kaum ‘Ad yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Tuhan mereka dan mendurhakai para rasul Allah. Mereka menuruti perintah semua penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang (kebenaran). Mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini dan (begitu pula) di Hari Kiamat. Ingatlah, sungguh kaum ‘Ad itu kafir kepada Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum ‘Ad, (yaitu) kaum Hud itu (QS Hud [11]: 60).
Perhatikan, Allah SWT menginformasikan dalam ayat ini, bahwa salah satu sebab kebinasaan mereka adalah memenuhi syahwat rezim-rezim yang bertindak sewenang-wenang dan menentang kebenaran yang dibawa oleh para rasul-Nya. Mereka binasa. Padahal mereka digambarkan sebagai kaum perkasa:
أَلَمۡ تَرَ كَيۡفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ ٦ إِرَمَ ذَاتِ ٱلۡعِمَادِ ٧ ٱلَّتِي لَمۡ يُخۡلَقۡ مِثۡلُهَا فِي ٱلۡبِلَٰدِ ٨
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ’Ad? (Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain (QS al-Fajr [89]: 6-8).
Begitu pula nasib yang menimpa kaum Tsamud dan Fir’aun. Kekuasaan yang fana tak bisa menyelamatkan mereka dari akibat perbuatan buruk mereka sendiri.
Bukankah pelajaran dari para penentang dakwah Rasulullah saw. dan para sahabat pun cukup menjadi pelajaran? Bagaimana nasib tragis menimpa mereka. Tak hanya di akhirat. Di dunia pun bahkan terhina. Bukankah jelas nasib akhir dari Abu Lahab, Abu Jahal, Walid bin al-Mughirah, Al-Akhnas bin Syuraiq, ’Uqbah bin Abi Muith? Bukan kaum Mukmin pembela Din Allah yang harus gentar, melainkan mereka yang memusuhi Din-Nya. Mereka hakikatnya mengibarkan bendera permusuhan kepada Zat Yang Menggenggam setiap hembusan nafas mereka:
وَمَكَرُواْ وَمَكَرَ ٱللَّهُۖ وَٱللَّهُ خَيۡرُ ٱلۡمَٰكِرِينَ ٥٤
Kaum kafir itu membuat tipudaya. Allah pun membalas tipudaya mereka itu. Allah adalah sebaik-baik Pembalas tipudaya (QS Ali Imran [3]: 54).
وَمَكَرُواْ مَكۡرٗا وَمَكَرۡنَا مَكۡرٗا وَهُمۡ لَا يَشۡعُرُونَ ٥٠ فَٱنظُرۡ كَيۡفَ كَانَ عَٰقِبَةُ مَكۡرِهِمۡ أَنَّا دَمَّرۡنَٰهُمۡ وَقَوۡمَهُمۡ أَجۡمَعِينَ ٥١
Mereka merencanakan makar dengan sungguh-sungguh. Kami pun merencanakan makar, sedangkan mereka tidak menyadari. Perhatikanlah, bagaimana akibat makar mereka itu, Kami membinasakan mereka dan kaum mereka semuanya (QS an-Naml [27]: 50-51).
Syaikh Mahmud bin Abdurrahim Shafi (w. 1376 H) dalam Al-Jadwal fî I’râb al-Qur’ân al-Karîm (XIX/184), menegaskan bahwa frasa makraLlâh adalah kiasan yang dipinjam (majâz al-isti’ârah) untuk menggambarkan perbuatan Allah membinasakan mereka dari sisi yang tidak mereka sadari. Diungkapkan dengan istilah makar, sebagai istilah yang sepadan dengan perbuatan mereka. Lantas, kekuasaan semu apa yang bisa diandalkan untuk menjegal dakwah Islam? Itu semua “istidrâj” (penurun derajat) belaka.
WaLlâhu a’lam bi ash-shawâb. [Irfan Abu Naveed, M.Pd.I]