Nisa

Khilafah Menjamin Pemenuhan Hak Perempuan

Banyak pihak menganggap syariah Islam, apalagi jika ditegakkan dalam Khilafah, bakal merampas kemerdekaan perempuan. Persepsi sumir itu muncul dari ketidaktahuan terhadap keunggulan syariah Islam. Ini seiring kampanye islamofobia di seluruh dunia yang diikuti keengganan untuk lebih memahami Islam. Padahal sebagai din yang sempurna, jika diterapkan secara kaffah, Islam akan membawa rahmat bagi seluruh alam, termasuk bagi perempuan. Tentu prasyarat mendasarnya harus terpenuhi, yakni dirikan dulu Khilafah Islamiyah sebagai institusi pelaksana syariah.

Keunggulan syariah Islam yang diciptakan Allah SWT tidak hanya sebagai solusi atas semua problem akut manusia, namun juga bersifat preventif.  Mencegah tersebar luasnya kerusakan, termasuk kerusakan yang menimpa perempuan dan anak.  Islam menempatkan perempuan dalam posisi mulia, melindungi kehormatannya.  Anak pun dinaungi oleh sistem kehidupan yang sehat.  Jaminan tersebut terealisasi jika Islam diimplementasikan secara sistemik; persenyawaan antara sistem politik, ekonomi, sosial kemasyarakatan, sanksi, media, pendidikan hingga pelayanan umum.

Kesempurnaan Islam memadukan unsur penjagaan kehormatan dan keamanan perempuan tanpa mengurangi pemenuhan hak dan kewajibannya. Berbeda dengan ideologi kapitalis sekularis yang tak berhenti mengaruskan kesetaraan gender (karena sejarah panjang diskriminasi perempuan di Barat), Islam tak membutuhkan hal itu.  Pasalnya, Allah SWT telah memberikan hak bagi perempuan tanpa harus diminta. Allah SWT berfirman:

وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ

Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf (QS al-Baqarah [2]: 228).

 

Demikian pula ketegasan Rasulullah saw. yang disampaikan dalam khutbah Haji Wada’, “Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan perempuan. Sungguh kalian telah mengambil mereka dengan amanah Allah…Mereka memiliki hak atas kalian untuk mendapatkan rezeki dan pakaian (nafkah) menurut cara yang makruf.” (HR Muslim).

Pemenuhan hak tersebut menjadikan perempuan tidak perlu mencari hak politik karena syariah memperbolehkan mereka aktif dalam berpolitik.  Mereka boleh memilih pemimpin yang mereka kehendaki. Mereka boleh menjadi wakil kaumnya dalam Majelis Umat. Mereka boleh menjadi anggota parpol demi menjalankan kewajiban amar makruf nahi mungkar.  Aspirasi politik perempuan biasa dipenuhi syariah. Rasulullah saw., misalnya, memenuhi ‘protes’ perempuan tentang pendidikan atau aduan tentang suami yang pelit dalam nafkah.

Pemenuhan hak ekonomi terjadi melalui mekanisme jaminan negara bagi seluruh rakyat atas kebutuhan primer dan komunal.  Dalam lingkup keluarga, syariah juga menimpakan kewajiban menafkahi perempuan kepada ayah, wali ataupun suaminya.  Karena itu dalam sistem Islam tidak dikenal istilah breadwinner (tulang punggung ekonomi) bagi perempuan sebagaimana kenyataan di jagad Kapitalisme.  Negara yang abai—sekalipun  berlabel welfare state—mengharuskan rakyatnya, termasuk janda atau perempuan miskin, untuk menyewa rumah, membayar ongkos air bersih, energi, pendidikan, transportasi dan asuransi kesehatan, selain memenuhi sendiri kebutuhan pangannya.  Akhirnya, tak ada jalan lain untuk membayar semua pengeluaran kecuali dengan bekerja.  Bahkan jika mereka memiliki wali dalam keluarga besarnya, tak serta-merta terbebas dari menanggung beban nafkah, karena walinya pun terbelit masalah sistemis kapitalistik.

Realitas inilah yang sering menjadi awal masalah yang menimpa perempuan.  Acapkali mereka tak punya daya untuk memilih pekerjaan.  Bahkan di tempat kerja yang ‘nyaman’, mereka tak lepas dari ancaman kejahatan.  Pelecehan seksual bisa muncul di tempat kerja, di kendaraan umum, apalagi di tempat sunyi yang harus dilalui perempuan ketika menjalankan aktivitasnya.  Ironinya, kehidupan sekular kapitalistik yang miskin taqwaLlah membuat para pelindung perempuan tak mampu menjalankan peran perlindungannya. Mereka bahkan bisa turut menyumbang kekerasan yang terjadi di ranah domestik.

Pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (P2TP2A) dan Komnas Perempuan mencatat peningkatan kasus kekerasan pada perempuan sebesar 75 persen sejak pandemi COVID-19.  Khusus kekerasan seksual, sampai Agustus 2020, terjadi 4.898 kasus1. Karena itulah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengeluh, 75 tahun sudah Indonesia merdeka. Namun, perempuan dan anak Indonesia masih belum merdeka.

Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2018 (SNPHAR 2018) yang dilakukan Kemen PPPA menunjukkan 2 dari 3 anak dan remaja perempuan dan laki-laki pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.2 Padahal negara merasa telah melindungi dengan legislasi UU No.17/2016 tentang Perlindungan Anak. UU memberikan pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual melalui tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan pengumunan identitas pelaku. Nyatanya, pelecehan seksual terhadap anak-anak terus saja terjadi, bahkan di tempat yang dianggap aman.  Seperti pelecehan yang dilakukan Kepala Seksi Liturgi terhadap anak-anak putra altar di Paroki Santo Herkulanus, Depok yang terjadi sejak 2014.3

Di dalam sistem Islam, pencegahan kekerasan seksual dilakukan secara simultan.  Hal ini kembali pada sifat Khilafah penegak hukum syariah.  Pondasi mendasar yang dibangun negara dalam menerapkan semua sistem, termasuk dalam institusi terkecil (keluarga) adalah pembentukan keimanan yang kuat dan keterikatan dengan hukum syariah. Pilar ketakwaan individual ini menjadi penopang negara selain kontrol masyarakat dan kewenangan negara.  Semua pilar merujuk pada pemahaman, standar dan ketundukan yang bersumberkan al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas.

Pondasi tersebutlah yang ‘mengawal’ implementasi semua sistem dalam negara.  Karena itu untuk mencegah kekerasan yang menimpa perempuan dan anak, sistem pendidikan berbasis akidah Islam menjadi wahana pembentuk kepribadian Islam. Dengan itu seorang laki-laki tidak akan menyalahgunakan posisi qawwam yang diberikan syariah untuk dirinya. Perempuan pun pandai menempatkan posisinya sebagai pihak yang harus selalu mendapatkan izin suami atau walinya.  Keduanya juga memahami hak dan kewajiban masing-masing sesuai syariah yang mengatur kehidupan privat dan domestik, tanpa menganggap itu sebagai beban.

Sistem tersebut berpadu dengan sistem sosial kemasyarakatan yang mencegah interaksi di antara anggota masyarakat yang bakal menimbulkan masalah.  Kehidupan jama’ah terpisah, di sekolah hingga layanan publik.  Hal ini menjadikan perempuan terlindungi. Mereka pun tercegah dari jenis pekerjaan yang menonjolkan aspek feminitas, bukan profesionalitasnya.

Demikian pula aspek i’lamiyah (media dan informasi). Ia memiliki fungsi strategis untuk membangun masyarakat Islam yang kokoh. Karena itulah, dalam Khilafah, tidak akan dijumpai informasi atau media massa yang merusak iman dan akhlak masyarakat.  Hal ini menjadi jaminan perlindungan perempuan dan anak dari eksploitasi media sebagaimana yang dilakukan masyarakat kapitalis.

Sistem sanksi juga ditegakkan sebagai zawajir (pencegah) agar kejahatan tidak merajalela.  Ketakwaan aparatur negara menjamin kepastian penegakan hukum. Pasalnya, posisi hukkam (penguasa), qadhi (hakim) ataupun polisi diadakan demi menjamin ketaatan pada Allah.  Bukan demi mengamankan kedudukan penguasa atau pihak tertentu. Ini sebagaimana sistem demokrasi yang membuat kasus kekerasan seksual tidak sampai ke ranah hukum, namun hanya diselesaikan secara kekeluargaan.

Demikianlah berbagai perangkat komprehensif yang disediakan Khilafah Islamiyah demi memenuhi hak perempuan.  Tanpa meminta, mereka telah mendapatkan hak-hak mereka secara otomatis karena Allah SWT telah menjamin pemenuhan hak-hak mereka ketika syariah Islam dilaksanakan secara kaffah.  Karena itu perempuan yang hidup dalam naungan Khilafah, Muslim ataupun dzimni, tak memerlukan segala tipudaya yang ditawarkan para pegiat kesetaraan gender.  Mereka sendiri mengakui butuh waktu 257 tahun agar terwujud kesetaraan gender. Itu pun hanya dalam bidang ekonomi.4

Oleh sebab itu, menjadi sangat penting bagi perempuan untuk memiliki kesadaran politik, yakni berjuang mewujudkan Khilafah Islamiyah, sebagai sistem terbaik.  Sistem paripurna yang tidak hanya memberikan solusi hakiki atas permasalahan perempuan, namun juga bakal memberi rahmat bagi seluruh alam. [PJS- Pratma Julia Sunjandari]

 

Daftar Pustaka

Ibnu Khaldun, Mukaddimah, Pustaka Al Kautsar 2017

Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi Indonesia, 2005

  1. Jeje Zaenudin, Metode dan Strategi Penerapan Syariat Islam di Indonesia, 2015

 

Catatan kaki:

1 https://news.detik.com/berita/d-5088344/kasus-kekerasan-perempuan-naik-75-selama-pandemi-corona

2 https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2849/harapan-merdeka-seutuhnya-dari-kekerasan-seksual-bagi-perempuan-dan-anak-di-indonesia

3 https://haluan.co/article/pedofil-dan-predator-seks-dalam-gereja-katolik-

4 https://www.weforum.org/our-impact/gender-gap-accelerators

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

4 × five =

Back to top button