Nisa

BPJS Kesehatan: Pemerintah Pertaruhkan Nyawa Publik

Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nsional (SJSN) dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berikut sejumlah peraturan turunannya dibuat untuk melegalkan dan menginstitusikan pandangan batil neoliberalisme,  khususnya tentang kesehatan dan fungsi negara.  Kesehatan tak lebih dari jasa yang harus dikomersilkan dan negara regulator bagi kepentingan korporasi dalam hal ini BPJS Kesehatan.

Beban penderitaan masyarakat yang semakin berat terungkap pada sejumlah aksi oleh berbagai elemen masyarakat, seperti para buruh.1 Tak hanya itu, cukup mudah disaksikan keluarga yang kesulitan mengakses pelayanan kesehatan.  Bahkan nyawa publik yang harus dilindungi negara justru dipertaruhkan di ruang fasilitas kesehatan. Tidak sedikit keluarga, ibu dan anak yang jadi korban. Sakit bertambah parah bahkan nyawa melayang sia-sia.  Krisis pelayanan kesehatan di depan mata.

 

Negara Lalai dan Zalim

Berdasarkan Pasal 14 UU  No 24/2011 tentang BPJS Kesehatan, semua penduduk Indonesia diwajibkan, dipaksa menjadi peserta asuransi kesehatan wajib BPJS Kesehatan, khususnya sejak Januari 2019. Ini sebagaimnana ditetapkan oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2018 (PerPres RI No 82/2018) tentang Jaminan Kesehatan  Pasal 17.

Bahkan bayi baru lahir pun diwajibkan dan disanksi jika tidak didaftarkan.  BPJS Kesehatan diberi hak dan kewenangan menagih langsung kepada penunggak premi apapun alasannya.  Hal ini berdasarkan PerPres RI No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan Pasal 43.

Sehubungan dengan itu, BPJS Kesehatan akan menagih  melalui debt collector dari kalangan relawan kader JKN. Demikian dinyatakan Kepala Humas BPJS Kesehatan Muhammad Iqbal.2

Jumlah premi yang wajib disetorkan bagi kebanyakan masyarakat lumayan memberatkan,3 ditambah sejumlah ketentuan lain. Seperti pembayaran satu vitual accounts, yakni pembayaran bersifat akumulatif atas seluruh total tagihan satu keluarga. Ini sesuai PerPres RI No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan Pasal 41. Demikian juga ketentuan pembayaran auto debet.

Meski demikian, kenaikan berkala sudah ditetapkan sebagaimana ketentuan PerPres RI No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan Pasal 38 Ayat 1.

Pemerintah sudah bulat  menaikan premi pada tahun 2020, menunggu Peraturan Presiden saja.  Tidak tanggung-tanggung, kenaikan hingga dua kali lipat. Kelas 3 menjadi Rp 42.000. Kelas 2 dan 1 masing-masing menjadi Rp 110.000 dan Rp 160.000.4 Jelas sangat memberatkan dan mayoritas masyarakat menyatakan penolakan. Seperti yang terlihat dari hasil pooling pembaca detikFinance yang dilakukan selama 24 jam dengan peserta 10.385 akun Twitterada, yaitu  63% menyatakan keberatan.5

Tidak hanya itu, apapun alasannya pembayaran tidak boleh telat dan paling lambat tanggal 10 setiap bulan.  Ditegaskan PerPres RI No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan Pasal 40 Ayat 1.  Jika tidak, akan disanksi sebagaimana ketentuan Pasal 42 Ayat 1.

Kepesertaan akan aktif kembali bila tunggakan dibayar hingga untuk pembayaran 24 bulan sebagaimana ketentuan Ayat 3.

Bila publik penunggak membutuhkan pelayanan dalam waktu 45 hari sejak kepesertaan aktif maka wajib membayar denda kepada BPJS Kesehatan yang nilainya bisa jutaan rupiah sesuai harga pelayanan kesehatan yang terus melangit.  Kartu BPJS Kesehatan aktif  setelah 14 hari pembayaran.6

Apalagi Pemerintah juga sedang mempersiapkan sanksi yang berefek sistemik bagi para penunggak dan yang belum mendaftar, yaitu tidak bisa mengurus Surat Izin Mengemudi (SIM), paspor dan kredit bank. Sanksi publik ini sedang dipersiapkan melalui Instruksi Presiden (InPres).

Ini jelas kelalaian dan kezaliman negara yang luar biasa.  Sebab, pelayanan kesehatan harusnya diperoleh  gratis dari negara. Saat ini oleh sistem politik demokrasi melalui peraturan perundang-undangan,  publik justru dipaksa negara membeli, yaitu kepada korporasi BPJS melalui skema bisnis keuangan asuransi kesehatan wajib, berupa kewajiban setiap orang membayar premi. Dalih Pemerintah adalah gotong-royong, yang kaya membantu yang miskin, menghindari bencana keuangan saat sakit, kesehatan mahal. Namun, faktanya adalah pemindahan tanggung jawab negara ke pundak masyarakat, bahkan pengambilan paksa uang masyarakat.

 

Nyawa Publik Dipertaruhkan

Persoalan belum selesai. Pasalnya, menjadi anggota BPJS Kesehatan tidaklah otomotis layanan kesehatan mudah diakses.  Sering terjadi harus memilih berobat mandiri karena buruknya pelayanan.7

Sudah menjadi rahasia umum aspek diskriminasi begitu menonjol. Apalagi bagi kelompok miskin Penerima Bantuan Iuran yang preminya dibayarkan Pemerintah. Bahkan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, klinik dan puskesmas saat ini berubah menjadi tempat pertaruhan jutaan  nyawa manusia.  Pelayanan kesehatan benar-benar dalam cengkraman industrialisasi, khususnya bisnis BPJS Kesehatan. Bahkan sering rumah sakit dan insan kesehatan dipaksa memberikan pelayanan substandar (di bawah standar).8

Akibatnya, sejak berdiri Januari 2014 hingga saat ini program JKN dengan BPJS Kesehatan sebagai pelaksananya telah menelan korban tidak sedikit. Diskriminasi tetap tak teratasi,9,10 Entah sudah berapa yang sakitnya bertambah parah. Bahkan nyawa melayang sia-sia. Diberitakan, misalnya, seorang bayi lahir prematur akhirnya meninggal, tidak segera mendapatkan pelayanan medis karena orangtua harus mengurus terlebih dulu kartu BPJS.11 Bayi berinisial A yang juga akhirnya meninggal setelah ditolak rumah sakit karena ruang IGD penuh.12 Seorang ibu akhirnya melahirkan di mobil setelah ditolak rumah sakit, namun beruntung nyawanya selamat.13

Ini hanyalah berita beberapa bulan terakhir. Lebih dari itu, seperti fenomena gunung es, kejadian yang sesungguhnya bisa ratusan kali lipat. Kondisi ini diperparah oleh konflik akreditasi dan reakreditasi   rumah sakit-BPJS14 serta defisit kronis dan triliunan rupiah tunggakan BPJS ke banyak rumah sakit.15

Oleh karena itu, persoalannya bukan karena ini kebijakan baru atau tidak, tetapi kesalahan di tataran prinsip dan dasar. Adanya manfaat yang dirasakan sejumlah orang tentu tidak dapat menafikan fakta buruk pelayanan kesehatan BPJS. Apalagi sesungguhnya manfaat yang dirasakan hanyalah bersifat semu, sebab setiap orang berpotensi didera penderitan dari kebijakan JKN dan  BPJS Kesehatan.

 

Islam Satu-Satunya Solusi

Sistem kehidupan Islam, khususnya sistem ekonomi Islam dan sistem pemerintahan Islam (Khilafah Islam), didesain Allah SWT bagi perwujudan fungsi negara yang benar. Tameng bagi komersialisasi dan industrialisasi pelayanan kesehatan. Sistem kesehatan Khilafah yang tumbuh dalam sistem kehidupan Islam meniscayakan penyediaan secara memadai segala aspek yang dibutuhkan bagi perwujudan pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi setiap individu masyarakat.  Semua itu karena negara, yakni Khilafah Islam, melakukan pengelolaan pelayanan kesehatan di atas sejumlah prinsip yang sahih, di antaranya adalah:

Pertama, Pemerintah bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya dalam hal pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat tanpa kecuali. Gratis namun berkualitas terbaik bagi siapapun, kapanpun dan dimanapun. Rasulullah saw. menegaskan, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR al-Bukhari).16

Artinya, haram negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator. Apapun alasannya.

Kedua, pelayanan kesehatan adalah kebutuhan pokok publik, bukan jasa untuk dikomersilkan.  Ditegaskan Rasulullah saw., yang artinya, “Siapa saja pada pagi hari dalam keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki makanan pada hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (HR al-Bukhari).

Ketiga, pembiayaan berbasis Baitul Mal, dengan anggaran  mutlak.  Maksudnya, ada atau tidak ada kekayaan negara, pembiayaan pelayanan kesehatan wajib diadakan negara. Pandangan ini dipaparkan oleh Syaikhul Islam Taqiyyudin an-Nabhani rahimahulLah, pada sub bab “Nafâqah Bayti Mâl” poin ke empat, bab “Baytul Mâl” dalam kitab Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, halaman 236.17 Ini meniscayakan negara memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk memikul tanggungj awabnya.18

Jadikan tidak akan ada konsep batil asuransi kesehatan wajib (Uuniversal Health Coverage, UHC). Sebab, selain menimbulkan kesengsaraan, asuransi apapun bentuknya diharamkan Islam, karena akadnya yang batil.17

Inilah sejumlah konsep cemerlang pengelolaan pelayanan kesehatan Negara  Khilafah. Konsep yang hanya serasi dengan sistem politik Islam, yaitu Khilafah Islam. Tidak saja menyejahterakan, namun juga sekaligus memuliakan manusia dan insan kesehatan.  Sebabnya Allah SWT telah menegaskan dalam QS al-Isra’ ayat 70 (yang artinya): Sungguh Kami memuliakan anak cucu Adam (manusia)… 

Pelaksanaan keseluruhan prinsip-prinsip tersebut dalam sistem kehidupan Islam meniscayakan krisis pelayanan kesehatan hari ini dapat diatasi segara.  Bahkan meniscayakan perwujudan dalam waktu dekat pelayanan kesehatan berkualitas terbaik bagi tiap individu publik.  Karena itu kembalinya Khilafah ke tengah-tengah umat hari ini merupakan hajat mendesak bagi setiap insan.  Lebih dari itu, Khilafah adalah ajaran Islam yang disyariatkan Allah SWT kepada kita semua. [Rini Syafri, Doktor Biomedik, Pengamat Kebijakan Publik, Depok, 8 Oktober 2019]

 

Catatan Kaki:

1        https://www.koranperdjoengan.com/tolak-kenaikan-iuran-bpjs-buruh-kabupaten-bandung-barat-berunjuk-rasa—di-kantor-bpjs

2        https://www.cnbcindonesia.com/news/20190928082531-4-102844/debt-collector-bpjs-kesehatan-bergaji-25-dari-tunggakan/1

  1. 3. Peraturan presiden republik indonesia nomor 28 tahun 2016 tentang Perubahan ketiga atas peraturan presiden nomor 12 tahun 2013 tentang jaminan kesehatan: Besaran iuran khususnya untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan kelas III sebesar Rp25.500, kelas II Rp 51.000 (sebelumnya Rp42.500), dan  kelas I Rp80.000 (sebelumnya Rp59.500).

4        https;//www.cnbcindonesia.com/news/20190907121510-4-97798/ingat-mulai-2020-bpjs-kesehatan-kelasi-ii-naik

5        https://m.detik.com/finace/moneter/d-4685754/63-pembaca-tak-setuju—iuran-bpjs-kesehatan-naik-jadi-rp-160000

  1. 6. Peraturan  BPJS  Kesehatan No 1 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Dan Pembayaran Iuran Bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja.  Yaitu, “Bagi pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja, aktivasi kartu BPJS Kesehatan paling cepat 14 hari setelah pendaftaran. Bagi bayi meski masih dalam kandungan sudah harus didaftarkan sejak  sudah ada denyut nadi”.

7        https://www.bengkulutoday.com/demam-tinggi-pasien-bpjs-kesehatan-malah-disuruh-cari-dokter-lain

8        https://m-viva-co-id.cdn.ampproject.org/1089511-pelayanan-substandar-jadi-kendala-indonesia-sehat           Pengakuan seorang dokter anastesi:” Sebetulnya bukan dokter yang memberikan pelayanan di bawah standar, tapi memang aturan yang ditetapkan BPJS Kesehatan.”; “Kita (dokter) terkurung harga yang ditetapkan”.

       http://www.thejakartapost.com/academia/2018/04/06/qa-bpjs-kesehatan-health-for-all-indonesians.html “… BPJS has faced several hiccups in its operation. From continual deficits to discrimination faced by patients… “

10      https://news-okezone-com/amp/2019/0827/525/2097394/pasien-bpjs-kesehatan—protes-sikap-diskriminasi -klinik-jantung-indramayu

11      https;//jurnalisnews.co/2019/07/31/bayi-prematur-meninggal-dunia-setelah-ditolak-rs

12      https://amp.kompas.com/makassar/read/2019/07/24/07030071/geger-bayi-meninggal-karena-ditolak-rumah-sakit-ini-penjelasannya

13      https://indopos.co.id/read/2017

14      www.bbc.com. BPJS putus kerja sama dengan puluhan RS, satu juta pasien terdampak

15      https://money.kompas.com/read/2019/09/12/194200326/suplai-obat-distop-rumah-sakit-tagih-tunggakan-bpjs-kesehatan-rp-6-5-triliun

16      Hizbut Tahrir.  Mukadimah Dustuur.  Al Asbaab Almaujibatu Lahu.  Al Qismul Awwal.  Darul Ummah.  Beirut.  2009. Hal 160.

17 . An Nabhani, T.  An Nidzomul Iqtishody fil Islam. Darul Ummah.  Beirut.  2005. Hal 236.

18 . An Nabhani, T.  An Nidzomul Iqtishody fil Islam. Darul Ummah.  Beirut.  2005. Hal 245.  Hal ini ditegaskan pada awal pembahasan sub bab “Dharaa-ib”, bab “Baytul Maal”, bab “Mizaniyatu Daulah”, kitab nidhomul Iqtishodi fil Islaam, halaman 245.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × 3 =

Back to top button