Nisa

Islam Meradikalisasi Perempuan?

Peristiwa Bom Surabaya jelang Ramadhan lalu menyisakan perbincangan soal keterlibatan perempuan dalam gerakan terorisme. Artikel bertajuk “Bangkitnya Jihadis Perempuan” yang dipublis tirto.id menegaskan bahwa perempuan semakin punya peran penting dalam gerakan ekstremis dan aksi teror di Indonesia.

Simpulan ini juga seakan mengamini hasil laporan berjudul, “Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremists”. Laporan ini dipublikasikan Institute for Policy Analisis of Conflict (IPAC) pada tahun 2017 lalu. Dalam laporan lembaga yang digawangi Sidney Jones ini disebutkan bahwa peran perempuan dalam gerakan ekstremisme-terorisme di Indonesia terus berkembang selama kurun waktu empat dekade terakhir. Bahkan saat diwawancara Tempo, Sidney Jones, yang juga peneliti terorisme di Asia Tenggara sekaligus penasihat senior di International Crisis Group, mengatakan bahwa saat ini perempuan ternyata bukan hanya siap menjadi istri, ibu atau ustadzah, tetapi juga siap menjadi martir atau kombatan. Sebuah simpulan yang tidak bisa dibilang main-main!

 

Menepis Fitnah Keji

Adanya narasi yang menggambarkan bahwa ajaran Islam bisa meradikalisasi atau mengubah perempuan seperti monster yang hilang rasa keibuan adalah fitnah yang sangat keji. Ini tidak sesuai dengan realita ajaran Islam. Bahkan tudingan ini terkesan dipaksakan dan mengada-ngada. Faktanya, jumlah perempuan yang mereka sebut-sebut terlibat dalam terorisme baik global maupun lokal tak lebih banyak dari kaum Muslimah yang memiliki pemahaman yang lebih jernih tentang Islam.

Apalagi upaya generalisasi yang mereka lakukan dengan mengungkap narasi semacam “kebangkitan jihadis perempuan”, “radikalisasi kaum perempuan,” atau yang semacamnya, tampak sangat tendensius dan terkesan ditujukan untuk menyerang Islam dan menstigma negatif agenda perjuangan menegakkan sistem Islam, termasuk yang dilakukan oleh kaum perempuan yang terlibat aktif dalam gerakan Islam ideologis, namun berjuang tanpa kekerasan.

Lantas, apa yang sesungguhnya mereka inginkan dengan semua fitnah keji yang mereka lontarkan?

Untuk menjawab hal ini, kita tak bisa melepaskan diri dari analisis masalah atas realitas yang terjadi terkait konstelasi politik internasional. Sebagaimana diketahui, negara-negara kapitalis Barat berkepentingan untuk melanggengkan hegemoninya atas dunia. Salah satunya melalui isu globalisasi nilai-nilai Barat dan semua produk hukum atau sistem hidup Barat di dunia, khususnya di Dunia Islam.

AS getol melakukan banyak hal di Dunia Islam hingga hari ini. Misalnya, agenda perang global melawan terorisme (GWoT). Sequel terbarunya bertajuk ‘war on evil ideology’ atau ‘perang melawan ideologi setan’ (baca: perang melawan ideologi Islam). AS juga memicu gelombang infiltrasi pemikiran dan budaya sekular—terutama isu demokratisasi, liberalisasi, ide-ide gender dan budaya permissif—di negeri-negeri Islam. Dalam hal ini AS memanfaatkan jasa para antek lokal dari kalangan liberalis sekular. Mereka didanai dan dimediasi secara besar-besaran dan kontinu. AS juga melakukan politik adu domba. AS pun menggelar banyak proyek deradikalisasi yang mereka rancang di negeri-negeri Islam. Semua ini menjadi bukti betapa AS yang kampiun Kapitalisme ini terobsesi dengan impiannya menjadi penguasa tunggal dalam Tata Dunia Barunya.

Untuk memuluskan serangan total peradaban kapitalis sekular atas Dunia Islam inilah, isu globalisasi mereka blow up sedemikian rupa. Globalisasi ini menjadi sarana efektif untuk mematikan kekuatan perekonomian kaum Muslim dengan senjata modal/uang mereka. Globalisasi ini pun ditujukan untuk merusak seluruh sendi-sendi kehidupan kaum Muslim sejak dari asasnya, yakni kekuatan ideologis yang dimiliki Islam. Islam jelas lekat dalam pribadi-pribadi Muslim, termasuk kaum perempuan dan generasi. Islam lekat dalam prototype keluarga Muslim hingga pada profil masyarakat/Negara Islam (Khilafah) dengan berbagai aktivitas politiknya, termasuk jihad. Dalam konteks inilah serangan keji ini diarahkan.

Mereka berharap Islam makin kehilangan cahaya dan berbau busuk. Mereka pun berharap peradaban Islam makin tak dirindukan dan makin ditakuti oleh anak-anak kaum Muslim sendiri, termasuk kaum perempuan.

Inilah hakikat persoalan yang sedang terjadi di balik isu radikalisasi perempuan. Mereka tak ingin kaum Muslimah—dengan  seluruh peran stategis dan politisnya, baik sebagai istri, ibu maupun sebagai anggota masyarakat—paham tentang tanggung jawab mereka terhadap Islam dan kaum Muslim. Mereka tak ingin jika kaum Muslimah terpapar ide-ide Islam ideologis. Pasalnya, hal demikian akan membuka wawasan berpikir dan kesadaran mereka tentang hakekat akar permasalahan umat yang kian hari kian jauh dari kemuliaan, kian terhina dan terjajah. Semua sebagai akibat mereka mencampakkan Islam. Mereka juga tak rela umat Islam, termasuk kaum perempuannya, paham bahwa satu-satunya peta jalan perubahan untuk mengembalikan kemuliaan mereka hanyalah dengan kembali ke pangkuan Islam.

 

Muslimah Wajib Mengambil Peran

Satu hal yang harus dipahami, kaum Muslimah sebagai bagian dari umat memiliki tanggung jawab besar atas nasib kaum Muslim. Kiprahnya dalam perjuangan Islam tak bisa diabaikan, bahkan akan menentukan keberhasilan perjuangan umat secara keseluruhan.

Ada beberapa hal yang harus dipahami kaum Muslimah terkait komitmen keterlibatannya dalam perjuangan umat saat ini. Pertama, berjuang bersama dengan gerakan Muslimah yang menjadikan akidah dan hukum Islam sebagai landasan gerak dan perjuangannya. Harus diyakini, hanya dengan menjadikan akidah dan hukum Islamlah gerakan Muslimah akan membawa berkah berupa kemuliaan umat yang hakiki dibawah naungan ridha Ilahi.

Kedua, pergerakan Muslimah harus memiliki visi dan misi yang sama dengan pergerakan kolektif (jamaah) Islam, yakni bertujuan menegakkan kalimah Allah. Caranya dengan meneladani cara yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Kaum Muslim harus membina dan menyebarkan pemikiran Islam yang jernih dan utuh (kâffah) di tengah-tengah umat, terutama di kalangan Muslimah lainnya. Mereka juga harus melakukan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik. Dengan begitu kesadaran akan rusaknya sistem kehidupan yang mengungkung mereka saat ini dan keharusan kembali pada sistem Islam akan tersebar menyeluruh di setiap komponen umat. Titik tekan perjuangan gerakan Muslimah ada pada tataran strategis, bukan pada tataran teknis sekadar bagaimana merebut kekuasaan, sebagaimana jalan yang diambil para jihadis melalui aksi-aksi teror atau sebagaimana kaum feminis yang berjuang melalui mantra affirmative action.

Ketiga, gerakan Muslimah harus menjadi bagian yang bersinergi dengan pergerakan kolektif Islam. Pergerakan Muslimah bukan pergerakan yang terpisah dari pergerakan umat. Ini karena Islam memiliki cara pandang yang khas dan universal. Setiap permasalahan yang muncul akan dipandang sebagai masalah manusia, tidak dibedakan sebagai masalah laki-laki saja atau perempuan saja. Semuanya harus menjadi tanggung jawab seluruh umat. Semua masalah harus dipecahkan dengan pemecahan yang sama, yakni dengan Islam.

Keempat, pergerakan Muslimah harus memiliki kejelasan fikrah (konsep/pemikiran) dan tharîqah (tatacara merealisasikan pemikiran) serta ikatan yang sahih di antara para aktivisnya. Pergerakan Muslimah—sebagaimana juga pergerakan jamaah Islam yang menjadi induknya—harus memiliki wawasan politik global. Dalam arti, mereka memiliki kesadaran bahwa umat Islam di dunia adalah satu umat, dan harus menjadi umat yang satu, baik secara pemikiran maupun secara politis. Dengan begitu perjuangan Muslimah tidak boleh terbatasi oleh sekat-sekat imajiner bernama negara. Mereka harus melebur dalam aktivitas pergerakan Muslimah dan umat Islam lainnya yang berjuang di seluruh pelosok bumi. Mereka sama-sama berusaha mewujudkan satu kepemimpinan politis yang menerapkan Islam atas seluruh umat.

Kelima, gerakan Muslimah harus bersifat politis, yakni mengarahkan perjuangannya pada upaya optimalisasi peran politik perempuan di tengah-tengah masyarakat sesuai aturan Islam, yakni dalam peran dan fungsinya sebagai pencetak dan penyangga generasi masa depan umat. Dengan demikian arah pemberdayaan tidak fokus pada optimalisasi peran publik saja (sebagaimana perpektif feministik yang mendikotomikan sektor publik dan domestik). Pemberdayaan juga tidak untuk ditarget sebagai kombatan sebagaimana fenomena kelompok radikal ISIS dll. Pemberdayaan itu harus mengarah pada upaya optimalisasi seluruh peran perempuan, baik di sektor publik maupun domestik, sesuai tuntunan syariah.

Pada tataran praktis, hal ini dilakukan dengan cara membina pemikiran dan pola sikap mereka dengan Islam. Dengan itu terbentuk perempuan Muslimah berkepribadian Islam tinggi sekaligus memiliki kesadaran politik Islam yang juga tinggi. Mereka paham hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan pengaturan umat. Mereka pun terdorong untuk senantiasa mengikuti perkembangan peristiwa politik dalam dan luar negeri mereka. Kesadaran politik Islam ini bermakna, mereka memahami dan meyakini bahwa pemeliharaan urusan-urusan umat (baik politik dalam maupun luar negeri) harus diatur dengan syariah Islam. Mereka pun memahami bagaimana konstelasi politik dan tantangan-tantangan politik yang akan mereka hadapi dalam perjuangan melanjutkan kehidupan Islam ini. Dengan begitu mereka tak akan mudah terjebak dengan berbagai narasi dan konspirasi yang diciptakan Barat untuk melemahkan perjuangan mewujudkan kemuliaan lslam.

Insya Alah, dengan cara ini, di tengah umat akan lahir generasi-generasi pemimpin yang berkepribadian Islam mumpuni, cerdas dan berkesadaran politik tinggi pula. Jika ini berhasil, bisa dipastikan kepemimpinan dunia akan kembali ke tangan umat Islam, sebagaimana yang dulu pernah terjadi di masa-masa sejarah keemasan peradaban Islam.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Siti Nafidah Anshory]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

14 − 5 =

Back to top button