Nisa

Kapitalisme Lahirkan Sifat Konsumtif

Belanja adalah salah satu aktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup.  Namun, pada zaman yang didominasi ideologi kapitalisme, belanja bukan lagi semata untuk memenuhi kebutuhan hidup.  Tidak sedikit orang membeli barang tertentu yang sebetulnya tidak dia butuhkan.  Belanja bagi mereka lebih semata memenuhi keinginan.  Ujungnya muncul gaya hidup konsumtif.

Di era digital, keinginan belanja ini sangat difasilitasi dan dimudahkan. Teknis jual beli online cukup menghilangkan kesulitan dalam aktivitas jual-beli. Transaksi pun terjadi di ujung jari.  Hasil riset Perusahaan layanan kredit digital Kredivo  mengenai belanja online di Indonesia untuk tahun 2019 menunjukkan, “Laki-laki rata-rata dalam setahun 14 kali belanja online, sedangkan perempuan 26 kali dalam setahun, jadi hampir dua kali lipatnya.” (https://inet.detik.com/business/d-5119985/riset-belanja-online-wanita-lebih-sering-pria-lebih-boros).

Dorongan belanja juga tidak surut sekalipun Pandemi Covid-19 belum berlalu. Kerumunan Pasar Tanah Abang di penghujung Ramadhan 1442 H,  seperti yang diberikan News.detik.com, menjadi buktinya (https://news.detik.com/berita/d-5554263/kerumunan-tanah-abang-jadi-sorotan-wawalkot-bilang-sudah-ingatkan).

Bukan hanya Pasar Tanah Abang yang dipadati pengunjung.  Berbagai pusat perbelanjaan dan mal pun terus didatangi para pembeli (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210504062941-20-638139/ramai-pengunjung-mal-jelang-lebaran-abai-protokol-kesehatan/1).

Jika dicermati, ternyata barang yang dibeli tidak semuanya masuk ke dalam barang kebutuhan pokok. Bahkan sering hanya sekadar barang tersier yang keberadaannya tidak urgen untuk dimiliki segera.

 

Kapitalisme Mengubah Kenginan Menjadi Kebutuhan

Perilaku seseorang bisa muncul karena dorongan kebutuhan jasmani. Contohnya, seorang ibu miskin rela ngantri untuk mendapatkan sembako murah walaupun harus berjam-jam berdiri.  Mereka melakukan itu semata desakan kebutuhan hidup.  Mereka tidak punya pilihan lain demi mendapatkan barang tersebut, terpaksa harus menyingkirkan rasa lelah, capek, dan kekhawatiran terpapar penyakit mematikan.

Kebiasaan juga kadang lahir bukan untuk memenuhi kebutuhan fisik, tetapi karena dorongan naluri seperti naluri baqa untuk eksistensi diri.  Contoh, ibu-ibu sosialita yang bolak-balik ke luar mal atau butik hanya sekadar berburu baju yang sedang tren dan digemari dalam komunitasnya.

Dorongan naluri ini yang sekarang sedang dieksploitasi oleh para pengusaha kapitalis. Mereka membangkitkan naluri dengan berbagai rangsangan dan pemikiran.  Dengan berbagai cara mereka mengubah keinginan menjadi kebutuhan.  Barang-barang biasa dan tidak dibutuhkan disulap menjadi sesuatu yang dianggap penting untuk dimiliki.

Para kapitalis ini rela mengeluarkan dana besar untuk menciptakan kebutuhan semu di tengah masyarakat.  Dibuatlah iklan semenarik mungkin, bahkan dengan memajang artis dan tokoh terkenal.

 

Cara Kapitalis Menciptakan Kebutuhan Semu

Pertama: Mempengaruhi pemikiran terkait konsep bahagia. Dalam konsep kapitalis kebahagiaan itu jika seluruh keinginan bisa dipenuhi.  Jadilah ukuran kebaikan dengan standar fisik belaka.  Kendaraan bagus adalah yang paling baru. Baju bagus jika trendi dan harganya mahal. Cantik itu  jika kulit putih, mulus dan langsing sekalipun harus merogoh kantong dalam-dalam untuk biaya perawatan di salon atau sekadar membeli produk kecantikan bermerek.

Kedua: Menghujani masyarakat dengan rangsangan-rangsangan yang menguatkan keinginan untuk memiliki barang yang ditawarkan. Mereka menggunakan berbagai media untuk mengopinikan standar baik menurut mereka.  Sinetron dan acara TV menampilkan kehidupan glamor. Artis-artis berpenampilan trendi. Ada rubrik pesona griya yang menyorot rumah-rumah mewah milik artis dan tokoh publik. Ada acara otomotif yang memajang kendaraan-kendaraan berharga mahal. Tak ketinggalan ruang lifestyle yang mengupas tuntas seputar gaya hidup tokoh baik masalah kesehatan maupun kecantikannya.

Ini semua terus disuguhkan ke ruang terdekat dengan masyarakat. Acara ini sampai ke rumah kita terus bergantian selama 24 jam sehari, selama 7 hari dalam seminggu tanpa jeda.  Wajar saja jika kemudian ini menjadi rangsang efektif yang melahirkan keinginan-keinginan untuk  membeli produk-produk yang ada dalam acara tersebut.  Karena terus dijejalkan maka lama kelamaan berbagai benda tadi berubah seolah menjadi kebutuhan yang harus segera dipenuhi.

 

Mengelola Harta dan Memenuhi Keinginan

Seorang Muslim semestinya mengaitkan setiap aktivitasnya dengan tujuan hidup di dunia, yakni dalam rangka beribadah kepada Allah SWT (QS adz-Dzariyat(51): 56). Dia harus berupaya agar apapun yang dilakukan memiliki nilai ibadah, mendatangkan keridhaan Allah SWT dan menjauhkan kemurkaan Nya.  Hal demikian hanya bisa diraih ketika mereka berpegang teguh pada aturan syariah, termasuk dalam membelanjakan hartanya.

Terkait pengelolaan harta, Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur Pasal 132 menyatakan:

التَّصَرَّفُ بِالْمِلْكِيَّةِ مُقَيَّدٌ بِإِذْنِ الشَّارِعِ، سَوَاء أَكَانَ تَصَرُّفاً بِالإِنْفَاقِ أَمْ تَصَرُّفاً بِتَنْمِيَّةِ الْمِلْك. فَيُمْنَعُ السَّرَفُ والتَّرَفُ وَالتَّقْتِيْرُ………

Pengelolaan kepemilikan terikat dengan izin Asy-Syari‘, baik pengelolaan dalam pembelanjaan maupun pengelolaan dalam pengembangan kepemilikan. Dilarang berlebih-lebihan, menghambur-hamburkan harta dan kikir……… (Muqaddimah ad-Dustur, 2/33).

 

Berikut adalah beberapa panduan penggunaan harta milik berdasarkan ketentuan umum tersebut:

Pertama, memastikan status kehalalan harta yang diperoleh.  Hanya harta halal yang akan mendatangkan keberkahan dan keridhaan-Nya. Jabir bin ‘Abdillah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا الله وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِىَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا وَأَجْمِلُوا فِى الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ

Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram (HR Ibnu Majah).

 

Kedua, membelanjakan harta sesuai dengan status hukumnya. Semua kewajiban ditunaikan sebelum melakukan perkara sunnah dan mubah.  Memenuhi kewajiban nafkah (QS 2: 233), membayar hutang yang sudah jatuh tempo, dan menunaikan zakat harus didahulukan sebelum digunakan untuk yang lainnya.

Rasulullah saw. bersabda:

نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَة بِدَيْنِهِ حَتى يُقْضَى عَنْهُ

Jiwa seorang Mukmin bergantung karena hutangnya sampai hutang itu dilunasi (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

 

Seorang Muslim tidak puas hanya dengan mengerjakan amalan yang wajib. Dia pun akan terdorong untuk memperbanyak infak sunnah, seperti membantu yang kesulitan  dan memberi hadiah kepada saudaranya.

Banyak nas terkait anjuran untuk mengeluarkan infak sunnah dan keutamaannya (Lihat, misalnya: QS Saba’ [34]: 39).

Ketiga, tidak berlebihan dan tidak kikir dalam membelanjakan harta (Lihat, misalnya: QS al-Isra’ [17]: 29; QS al-Furqan [25]:67).

Menurut Imam Ibn Katsir yang dimaksud dengan israf (berlebihan) adalah membelanjakan harta dengan cara menghambur-hamburkan dan melebihi kadar yang dibutuhkan. Adapun  taqtir adalah memangkas pembelanjaan harta sehingga kebutuhan sendiri saja tidak tercukupi (Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Adzim, 5/608).

 

Mewaspadai Jebakan Kapitalisme

Gaya konsumtif adalah salah satu buah busuk kapitalisme dan juga jebakan untuk memaling seorang Muslim dari sikap yang harus dia miliki sebagai orang beriman.

Seorang Muslim semestinya menyibukkan diri dengan kegiatan yang akan mendatangkan keridhaan Allah SWT, seperti giat menuntut ilmu dan terlibat dalam perjuangan menegakkan Islam kaffah, bukan terjerumus pada perbuatan sia-sia dan menghambur-hamburkan harta demi memenuhi tuntutan keinginan sesaat.

WalLahu a’lam. [Dedeh Wahidah Achmad]

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

seven − two =

Back to top button