Pemberdayaan Perempuan, Solusi Ataukah Eksploitasi?
Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada kuartal II-2022 tercatat minus 0,9 persen. Laju ekonomi itu melanjutkan kontraksi pada kuartal I-2022 yang tercatat minus 1,6 persen. Menteri Keuangan RI mengatakan pelemahan ekonomi Amerika Serikat akan berdampak buruk terhadap Indonesia karena AS merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia. Situasi ekonomi sepanjang 2022 pada akhirnya semuanya serba tak pasti karena bertemunya krisis energi, krisis pangan dan krisis keuangan yang berujung pada resesi global.
World Bank, dalam laporan terbarunya bertajuk Global Economic Prospects edisi Juni 2022, menggambarkan rumitnya kondisi saat ini. Mereka memperingatkan resesi ekonomi muncul bersamaan dengan stagflasi akibat pandemi Covid-19, ditambah perang Rusia-Ukraina. Resesi global telah terjadi sejak awal tahun ini, karena ekonomi global mengalami penurunan pertumbuhan yang diikuti dengan peningkatan inflasi atau stagflasi. Stagflasi adalah kondisi pertumbuhan ekonomi yang cenderung stagnan bahkan turun, dibarengi dengan inflasi yang tinggi. Peningkatan risiko stagflasi membuat resesi ekonomi akan sulit dihindari. Risiko stagflasi cukup besar dengan konsekuensi yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi negara berpenghasilan rendah dan menengah. Stagflasi akan sangat berbahaya karena dari sisi permintaan akan menggerus daya beli masyarakat, sementara dari sisi penawaran tenaga kerja akan berisiko pada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Solusi yang makin kencang digagas di tengah situasi ini adalah memberdayakan perempuan secara ekonomi. Salah satunya dengan menjadikannya sebagai pembahasan utama dalam ajang G20. Ketua Umum Panitia Nasional Ministerial Conference on Women’s Empowerment (MCWE) G20 2022, Lenny N. Rosalin, mengatakan, pertemuan G20 mengangkat tema pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi yang merupakan titik awal dalam mengatasi berbagai permasalahan terkait perempuan dan anak. Lenny mengatakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah memperoleh arahan dari presiden untuk memberdayakan perempuan di bidang ekonomi, khususnya di bidang kewirausahaan yang berperspektif gender. Dia menambahkan keluarga yang sejahtera dapat memberikan pendidikan dan kesehatan yang baik bagi anak-anak serta mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Benarkah langkah memberdayakan perempuan secara ekonomi akan berdampak baik bagi nasib perempuan dan keluarga mereka? Sudahkah terbukti nyata? Jika tidak, lalu apa yang menjadi masalah utamanya? Adakah pula solusi tuntasnya?
Ilusi Kesejahteraan Perempuan
Beban berat yang ditanggung perempuan era kini adalah cerminan fakta yang ke sekian kalinya, bahwa berbagai program pemberdayaan perempuan dalam ekonomi telah gagal mewujudkan janji kesejahteraan perempuan. Kondisi ini juga menjadi cerminan fakta peradaban sekuler kapitalistik memberi ruang hidup yang buruk bagi perempuan. Kondisi ini tidak lepas dari hilangnya peran negara. Negara lepas tangan menjaga kehormatan perempuan, kemuliaan dan jaminan kesejahteraannya. Peradaban sekuler kapitalistik pun telah menggerus peran laki-laki. Laki-laki dalam peradaban sekuler kapitalistik pada akhirnya terbentuk menjadi sosok yang memposisikan perempuan sebagai rival, hingga kehilangan penghormatan dan penghargaan terhadap sosok perempuan.
Perempuan dalam peradaban sekuler juga terbentuk menjadi perempuan yang tidak paham hak-haknya sehingga tuntutannya sering salah arah. Feminisme dan kesetaraan gender telah menipu banyak perempuan sehingga kehilangan peran keibuan, juga membuat bangsa-bangsa kehilangan generasi masa depan yang kuat. Janji-janji digembar-gemborkan oleh kebijakan kesetaraan gender. Lalu perempuan mengorbankan peran keibuan dan waktu berharga bersama anak-anak mereka dengan keyakinan bahwa ini akan meningkatkan status mereka. Semua ini tidak terealisasi meski hanya di aspek ekonomi. Sebagian besar gaji dari seorang ibu yang bekerja saat ini sering habis oleh biaya perawatan anak yang sangat tinggi.
Penting untuk memahami bahwa dorongan negara-negara untuk memberdayakan perempuan dalam ekonomi tidaklah tulus dalam rangka meningkatkan kualitas hidup para perempuan dan keluarga mereka. Tujuan yang sebenarnya, yang berasal dari pemerintah kapitalis Barat, adalah dalam rangka mengamankan keuntungan ekonomi bagi negara. Agenda ini bertujuan meningkatkan tingkat kerja kaum perempuan demi kepentingan keuangan. Salah satunya bisa kita perhatikan dari kalimat Hilary Clinton dalam sebuah konferensi di Peru. Dia mengatakan, “Pembatasan partisipasi ekonomi perempuan membuat kita kehilangan banyak sekali pertumbuhan ekonomi dan pendapatan di setiap wilayah di dunia. Di Asia Pasifik, lebih dari $40 miliar dari PDB yang hilang setiap tahun.”
Faktanya, sistem kapitalis mengeksploitasi bahasa feminisme dan kesetaraan, mempromosikan narasi pemberdayaan perempuan dalam ekonomi. Ini adalah demi keuntungan finansial murni. Narasi ini tidak ada artinya selain kebohongan kapitalis dan feminis yang telah menipu kaum perempuan. Ini pada akhirnya membuat kaum perempuan kehilangan peran keibuan, merampok hak-hak anak mereka, dan berdampak biaya yang besar pada kesejahteraan perempuan dan masyarakat.
Mekanisme Negara Khilafah
Strategi utama dari sistem Islam dalam membangun kesejahteraan rakyat, tentu termasuk para perempuan di dalamnya, adalah menjalankan roda pembangunan ekonomi yang tidak pernah berujung krisis. Berbeda jauh dengan sistem sekuler yang toxic. Di dalamnya krisis yang berulang dan siklik menjadi problem laten tak terpecahkan. Harta hanya berkumpul di segelintir kecil orang kaya. Mayoritas penduduk bumi mengalami kelaparan sangat parah dan tidak memiliki akses terhadap aset-aset di muka bumi.
Sistem Islam memiliki kesempurnaan regulasi ekonomi dalam menggerakkan semua sektor produktif tanpa berbasis ribawi. Negara Khilafah yang menerapkan berbagai regulasi ekonomi Islam kaaffah juga memiliki keunggulan mekanisme politik yang tidak dimiliki sistem politik demokrasi sekuler.
Berbagai mekanisme yang akan dijalankan sistem Islam untuk mengatasi situasi krisis global adalah menyelesaikan problem dari muaranya. Bukan hanya memberi ‘solusi’ sekadar bertahan hidup alakadarnya dengan berbagai pengorbanan perempuan dan anak-anaknya.
Pertama: Negara Khilafah akan mengakhiri segera pembayaran utang berbasis bunga (riba) dari IMF dan semua pinjaman lain, karena Khilafah adalah negara yang mandiri tidak bergantung pada bantuan asing apapun. Dengan banyaknya pendapatan yang dimiliki, Khilafah akan memprioritaskan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua warga negara akan makanan, pakaian, dan tempat tinggal; serta menginvestasikan sisanya untuk kebutuhan warga negara seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan pertanian.
Kedua: Negara Khilafah akan menghapus perekonomian rakyat berbasis riba. Menutup bank-bank ribawi dan mengalihkannya pada akad-akad syariah. Menyediakan investasi bebas bunga dalam bisnis lokal, proyek-proyek infrastruktur, atau pengembangan lahan yang semuanya akan menghasilkan lapangan kerja.
Ketiga: Negara Khilafah akan melarang semua bentuk penimbunan kekayaan, memastikan bahwa kekayaan beredar di tengah masyarakat dan memberikan insentif pada pembelanjaan dan investasi dalam bisnis.
Keempat: Negara Khilafah akan menstabilkan pasokan uang dan harga dengan memastikan bahwa mata uang kertas sepenuhnya didukung oleh emas atau perak, mencegah inflasi yang dihasilkan dari manipulasi oleh pemerintah atau spekulan uang kertas yang tidak didukung oleh aset.
Kelima: Negara Khilafah akan menghilangkan segala bentuk pajak. Khilafah akan menerapkan skema pungutan berdasar ketentuan dari syariah Islam.
Keenam: Negara Khilafah akan mengelola semua sumberdaya milik umum dan menggunakannya untuk kepentingan umum sehingga semua merasakan manfaat dari aset-aset penting. Pemasukan dari sumberdaya alam akan dibelanjakan untuk pendidikan, kesehatan, pertahanan, infrastruktur dan mengentaskan rakyat keluar dari kemiskinan.
Terakhir: Negara Khilafah akan meninjau kembali lahan-lahan pertanian sehingga para pemilik lahan yang mengabaikan tanahnya akan diberi peringatan untuk segera mengolahnya. Jika dalam jangka waktu tiga tahun pemilik tanah masih menelantarkan lahannya, maka Khilafah akan melakukan penyitaan dan diberikan kepada mereka yang bersedia dan mampu mengelolanya. Semua ini akan meningkatkan hasil pertanian Khilafah dan meningkatkan kepemilikan tanah yang bisa menjadi jalan pengentasan warga dari kemiskinan.
Khilafah adalah sebuah sistem yang benar-benar akan membuat kemiskinan, eksploitasi dan perbudakan menjadi sejarah. Khilafah tidak akan menoleransi kelaparan satu warganya walau untuk satu hari saja. Khilafah akan membangun pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, menghilangkan pengangguran massal, juga menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas dan gratis. Sistem ekonomi Khilafah yang berbasis industri dan kemajuan teknologi benar-benar akan memberdayakan rakyatnya.
Dalam kehidupan Negara Khilafah, bekerja bagi seorang perempuan betul-betul hanya sekadar pilihan, bukan tuntutan ekonomi ataupun sosial. Jika dia menghendaki, dia boleh melakukannya. Jika dia tidak menghendaki, dia boleh untuk tidak melakukannya. Bandingkan dengan kondisi sekarang: perempuan banyak dipekerjakan dengan upah yang sangat rendah dan tidak layak karena tidak punya alternatif pilihan yang lain. Dalam Negara Khilafah, pilihan ini bisa diambil perempuan secara leluasa. Ini karena Islam menjamin kebutuhan pokok perempuan dengan mekanisme kewajiban nafkah ada pada suami/ayah, kerabat laki-laki jika tidak ada suami/ayah atau mereka ada tapi tidak mampu, serta jaminan Negara Khilafah secara langsung bagi para perempuan yang tidak mampu dan tidak memiliki siapapun yang akan menafkahinya seperti para janda miskin.
Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang meninggalkan kalla, maka dia menjadi kewajiban kami.” (HR Muslim).
Maksud dari kalla adalah orang yang lemah, tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orangtua.
Dalam Negara Khilafah Islam tidak akan ada perempuan terpaksa bekerja mencari nafkah dan mengabaikan kewajibannya sebagai istri dan ibu. Sekalipun Islam tidak melarang perempuan bekerja, mereka bekerja semata mengamalkan ilmu untuk kemaslahatan umat, sementara tanggung jawab sebagai istri dan ibu akan tetap terlaksana.
WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Nida Saadah]