Soal Jawab

Bagaimana Hukum Menyiksa Tahanan?

Soal:

Bagaimana hukum menyiksa tahanan, dengan alasan untuk mendapatkan pengakuan, agar mengakui semua kesalahannya? Apakah dibenarkan atau tidak dalam pandangan syariaH?

 

Jawab:

Orang yang ditangkap dan ditahan tetap mempunyai hak sebagai manusia, yang harus dihormati, Meski dia telah melakukan tindakan kriminal (jarimah). Islam telah mengatur siapa yang berhak menjatuhkan sanksi dan menghukum pelaku kriminal tersebut. Siapa yang tidak diberi hak untuk menjatuhkan sanksi dan menghukumnya tidak berhak melakukan apapun, kecuali tindakan yang dibenarkan oleh syariaH.

Polisi, atau aparat penegak hukum, hanya diberi hak untuk menangkap, dengan adanya bukti permulaan. Bukti (bayyinah) di dalam Islam yang diterima, dan digunakan dalam persidangan, hanya ada empat. Pertama, kesaksian para saksi. Kedua, pengakuan pelaku. Ketiga, sumpah. Keempat, dokumen tertulis. Semuanya ini telah dibahas di dalam kitab, Ahkaam al-Bayyinah, karya Syaikh Ahmad Daur.

Karena itu ketika ada seseorang yang diduga melakukan tindakan kriminal, hukum asal kehormatannya sebagai manusia tetap harus dijaga. Karena itu tidak boleh ada trial by the press (pengadilan oleh pers). Dalam kaidah fikih disebutkan:

الأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّة

Hukum asal manusia bebas dari berbagai tanggung jawab [termasuk tuduhan].1

 

Pelanggaran, termasuk kesalahan dan kejahatannya, akan dibuktikan di pengadilan. Ini berbeda dengan pelanggaran, kesalahan dan kejahatan yang tidak membutuhkan ruang pengadilan [mahkamah]. Ia bisa langsung divonis di tempat. Itu pun harus dilakukan oleh Qadhi Hisbah [Muhtasib], bukan oleh setiap orang.

Karena itu, di dalam kitab Muqaddimah ad-Dustuur, Pasal 13, disebutkan:

الأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ، وَلا يُعَاقَبُ أَحَدٌ إِلا بِحُكْمِ مَحْكَمَةٍ، وَلاَ يَجُوْزُ تَعْذِيْبُ أَحَدٍ مُطْلَقاً، وَكُلُّ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِك يُعَاقَبُ

Hukum asal manusia bebas dari berbagai tanggung jawab [termasuk tuduhan]. Tidak boleh ada seorang pun yang dijatuhi hukuman, kecuali dengan keputusan mahkamah. Tidak boleh ada seorang pun yang boleh disiksa secara mutlak. Siapa saja yang melakukan itu maka dia akan dijatuhi sanksi [hukuman].2

 

Pasal atau kaidah ini berisi tiga poin. Pertama, siapapun yang dituduh melakukan kesalahan, pelanggaran, atau kejahatan tidak boleh dikenai tindakan apapun, sampai dibuktikan, bahwa dia memang benar-benar melakukan kesalahan, pelanggaran, atau kejahatan.

Ini didasarkan pada hadis ketika ada sengketa antara orang dari Hadhramaut dan Kindah soal tanah. Orang Hadhramaut itu menyatakan kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, dia telah mengalahkan aku atas tanahku, yang dulu dimiliki ayahku.” Orang Kindah itu balik mengklaim, “Ini tanahku, milikku dan aku menanaminya. Dia [orang Hadhramaut] tidak mempunyai hak atasnya.” Nabi saw. bertanya, “Apakah kamu mempunyai bukti?” Dia [orang Hadhramaut] menjawab, “Tidak.” Nabi bertanya [orang Kindah], “Apakah kamu mau bersumpah untuknya?” Kemudian orang Hadhramaut itu mengatakan, “Wahai Rasulullah, orang ini orang fasik, sumpahnya tidak pantas dipedulikan. Dia juga tidak bersikap wara’ dalam suatu perkara.” Nabi saw. menjawab:

لَيْسَ لَكَ مِنْهُ إِلاَّ ذَلِكَ

Engkau tidak mempunyai hak apapun terhadapnya, kecuali itu (HR Muslim).3

 

Karena itu baik Al-Hafidz as-Suyuthi maupun Ibn Nujaim, sama-sama sepakat, bahwa dalam kasus seperti ini, orang yang dituduh [al-mudda’ ‘alaih] harus dimenangkan, dan dibebaskan dari segala tuduhan.4

Kedua, dasar larangan menjatuhkan sanksi kepada siapapun, kecuali dengan keputusan pengadilan, didasarkan pada Hadis Nabi saw.:

مَنْ جَلَدْتُ لَهُ ظَهْرًا فَهَذَا ظَهْرِيْ فَلْيَقْتَصِّ مِنْه

Siapa saja yang pernah aku cambuk punggungnya, ini adalah punggungku. Silakan balas (HR Abu Ya’la dari al-Fadh bin al-‘Abbas).5

 

Ketika Nabi saw., yang tak lain adalah kepala negara, menyatakan demikian, “Siapa saja yang aku hukum tanpa hak, maka silakan balas.” itu artinya, sanksi atau hukuman itu tidak boleh dijatuhkan seenaknya, tetapi harus dengan cara yang ditentukan oleh syariah.

Ketiga, melakukan penyiksaan terhadap orang yang dituduh melakukan kesalahan, pelanggaran atau kejahatan, bukan atas perintah pengadilan, juga tidak dibenarkan. Ini didasarkan pada Hadis Nabi saw.:

لَوْ كُنْتُ رَاجِمًا أَحَدًا بِغَيْرِ بَيَّنَةٍ لَرَجَمْتُهَا

Andai saja aku boleh merajam seseorang tanpa bukti [yang dibuktikan di pengadilan], pasti aku sudah rajam dia (HR al-Bukhari dan Muslim dari Ibn ‘Abbas).6

 

Hadis ini menjelaskan larangan melakukan “rajam” terhadap wanita yang sebenarnya sudah terkenal melakukan zina. Ini menjelaskan bahwa menjatuhkan sanksi, apalagi menyiksa, orang yang dituduh melakukan pelanggaran, kesalahan atau kejahatan, tetap tidak diperbolehkan, kecuali atas putusan pengadilan.

Mengenai jenis sanksi dan hukuman yang ditetapkan oleh syariah bisa dalam dibunuh, dicambuk, dirajam, diasingkan, dipotong, ditahan, dirampas hartanya, didenda, dipublikasikan dan dinyos dengan api. Selain itu, seperti dicabut kukunya, dipotong jarinya, dicongkel matanya, distrum listrik, kepalanya dibenamkan ke dalam air, dan sejenisnya maka ini semuanya tidak boleh.7

Adapun hukum menahan orang yang melakukan pelanggaran, kesalahan atau kejahatan itu diperbolehkan, untuk jangka waktu tertentu.

Karena itu setiap orang yang melakukan pelanggaran, kesalahan dan kejahatan, sebelum divonis tetap oleh pengadilan, maka tindakan apapun, dalam bentuk sanksi atau hukuman tidak boleh dijatuhkan terhadapnya. Dalam hal ini, termasuk ketika yang bersangkutan dilidik dan disidik, tidak boleh diintimidasi, dipaksa, apalagi disiksa agar mengakui perbuatannya. Larangan ini termasuk larangan umum, yang berlaku bagi siapapun, baik terhadap orang yang sedang ditahan, maupun yang tidak. Ini karena  mengintimidasi, memaksa dan menyiksa merupakan tindakan zalim, yang diharamkan di dalam Islam.

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh penegak ukum terhadap yang bersangkutan? Mendakwahi, memberi nasihat dan mengingatkan dia agar bertobat, termasuk mengakui kesalahannya, kalau memang bersalah, menyesali perbuatannya dan tidak mengulangi lagi. Itulah cara dan pendekatan yang harus dilakukan terhadap mereka.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [KH Hafidz Abdurrahman, MA]

 

Catatan kaki:

1        Al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadhair, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan I, 1403 H/1983 M, hal. 53; Syaikh Zain al-‘Abidin Ibrahim bin Nujaim, al-Asybah wa an-Nadhair, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan I, 1405 H/19835 M, hal. 59; al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimatu ad-Dustur, Dar al-Ummah, Beirut, cetakan II, edisi Muktamadah, 1430 H/2009 M, Juz I, hal. 76.

2        Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimatu ad-Dustur, Dar al-Ummah, Beirut, cetakan II, edisi Muktamadah, 1430 H/2009 M, Juz I, hal. 76.

3        Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, Ibid, Juz I, hal. 77.

4        Al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nadhair, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan I, 1403 H/1983 M, hal. 53; Syaikh Zain al-‘Abidin Ibrahim bin Nujaim, al-Asybah wa an-Nadhair, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan I, 1405 H/19835 M, hal. 59.

5        Hadits ini dikutip dari Musnad Abu Ya’la, dan Mu’jam al-Ausath, karya at-Thabrani dengan redaksi yang berbeda. Redaksi di atas adalah redaksi Abu Ya’la al-Mushili. Lihat, al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, Ibid, Juz I, hal. 77.

6        Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, Ibid, Juz I, hal. 77.

7        Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, Ibid, Juz I, hal. 82.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

20 − 14 =

Back to top button