Opini

Anomali Moderasi Beragama

Saat kasus islamophobia kembali mengemuka, narasi moderasi beragama menjadi olahan manis yang ditawarkan untuk dicicipi.

Islamophobia yang merupakan konsep lama semakin populer setelah sejumlah isu berbau negatif terhadap Islam bergulir. Semakin menguat pula phobi ini dengan tragedi serangan 11 September atau ‘Nine Eleven’ di Barat. Lalu Islam pun dijadikan sebagai tertuduh pelaku radikalisme, ekstremisme dan terorisme.

Berbagai cuitan terkait ekstremisme, terorisme dan radikalisme selalu disematkan terhadap Islam. Ia digadang-gadang sebagai unsur yang menyulut api islamophobia di tengah masyarakat dunia, tidak terkecuali Indonesia.

Jadilah resep moderasi beragama, sebagai turunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024, dihidangkan sebagai menu penting dari modal social. Tujuannya untuk membangun bangsa yang memiliki relasi dan harmonisasi yang baik secara internal umat beragama, antar umat beragama serta umat beragama dengan pemerintah, agar dapat menghadang islamophobia di negeri demokrasi.

Moderasi beragama, menurut Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  Prof. Amany Lubis, adalah menjalankan Islam wasathiyah, Islam yang seimbang, tidak ekstrem, tetapi yang fundamental kita terapkan semua dan tidak liberal, dalam koridor prinsip fleksibilitas hukum Islam. Sungguh hal ini telah merangkai tanya, yang manakah dari ajaran Islam yang dianggap fundamental, sehingga harus diterapkan? Lalu yang mana pula dari ajaran Islam yang bukan fundamental, sehingga tak harus diterapkan? Padahal Allah memerintahkan setiap Muslim untuk menerapkan semua syariah-Nya secara kaffah (Lihat QS Al-Baqarah [2]: 208). Demikian pula dengan pernyataan “dalam koridor prinsip fleksibilitas hukum Islam”, menggiring pada kompromisasi dan tuntutan untuk mengubah hukum Islam, menolak syariah Islam.

Sungguh, formalisasi syariah Islam oleh negara dalam bentuk Negara Islam, yang menerapkan UU dan peraturan yang bersumber dari al-Quran dan Sunah, sudah dijalankan oleh generasi Islam pada masa lampau selama berabad-abad lamanya. Tidak ada pengabaian penerapan Islam. Yang ada adalah: kami mendengar dan kami taat. Harmonisasi umat terealisasi tanpa harus merekonstruksi yang sudah asasi.

Tawaran moderasi beragama terlalu anomali jika dianggap bisa atasi berbagai phobi terhadap Islam. Alih alih harmoni, yang ada semakin gencarnya tuduhan teroris dan radikalis pada kaffah-nya Islam dari sisi pelaksanaannya. Meleset pula harmonisasi yang diharap dan dirangkai bersama derasnya agenda moderasi beragama.

Masihkah racun produk Barat ini, yang sengaja diekspor ke negeri negeri Muslim termasuk Indonesia yang merupakan bagian dari strategi Amerika Serikat (sebagai representatif Barat), untuk memenangkan pertarungan ideologi antara Islam (politik) dan kapitalisme ini dinikmati? Tentu tidak, bukan? Sudah cukup mencicipi hidangan ini. Segera detoksifikasi dengan mengukuhkan ajaran Islam yang sahih. Tanpa moderasi. [Sri Rahayu Lesmawaty; Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

thirteen − 4 =

Back to top button