Opini

Pendidikan Agama Dihapus? Ngawur!

Praktisi Pendidikan Setyono Djuandi Darmono mengatakan, pendidikan agama tidak perlu diajarkan di sekolah. Agama cukup diajarkan orangtua masing-masing atau lewat guru agama di luar sekolah. “Mengapa agama sering menjadi alat politik? Karena agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Di sekolah, siswa dibedakan ketika menerima mata pelajaran (mapel) agama. Akhirnya mereka merasa kalau mereka itu berbeda,” kata Darmono usai bedah bukunya yang ke-6 berjudul Bringing Civilizations Together di Jakarta, jpnn.com Kamis (4/7).

Logika Darmono ngawur. Ibarat dalam makanan ada kerikil, lalu digeneralisir dengan kesimpulan manusia tidak perlu makan. Darmono gagal menyadari bahwa pangkal dari semua masalah pendidikan hari ini adalah sekularisme dan kapitalisme yang dijadikan sebagai dasar bagi sistem di negeri ini, termasuk sistem pendidikan. Sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) membuat sistem ditentukan menurut hawa nafsu manusia. Sistem akhirnya sarat kepentingan, termasuk kepentingan bisnis. Sekularisme pula yang membuat pendidikan di negeri ini jauh dari membentuk ketakwaan, akhlak mulia dan kepribadian islami anak.

Padahal tujuan membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa dan berakhlak mulia memang disebutkan di dalam UU Sisdiknas. Namun, kalimat itu hanya semacam pemanis. Pasalnya, rincian sistem dan praktiknya justru jauh dari nilai-nilai keimanan dan ketakwaan. Bagaimana akan mewujudkan peserta didik yang beriman dan bertakwa, sementara pelajaran agama sangat sedikit. Itu pun diajarkan sekadar sebagai ilmu yang jauh dari amaliyah praktis. Bagaimana membentuk manusia berkarakter dan berakhlak mulia, sementara ketentuan halal-haram dan masalah akhlak justru tidak mendapat perhatian.

Kapitalisme yang bertumpu pada manfaat materi menjadikan sistem pendidikan lebih menitikberatkan pada materi ajar yang bisa memberikan manfaat materiil, termasuk memenuhi keperluan dunia usaha. Prestasi dan keberhasilan pendidikan pun hanya diukur dari nilai-nilai akademis tanpa memperhatikan bagaimana keimanan, ketakwaan, akhlak, perilaku, kepribadian dan krakter anak didik. Wajar saja, jika hasilnya karakter anak didik jauh dari kepribadian Islam dan akhlak mulia. Aksi konvoi ke jalan, corat-coret, hura-hura, dan pesta lumrah dilakukan untuk merayakan kelulusan UN. Bahkan sejumlah siswa ada yang melakukan pesta miras dan seks untuk merayakannya.

Anak didik pun dicetak untuk menjadi “robot” atau binatang sirkus. Terampil mengerjakan sesuatu, tetapi tidak memiliki kepribadian yang khas, apalagi kepribadian Islam. Akhirnya, tak sedikit dari mereka hanya menjadi bagian dari “alat produksi” kapitalis. Karena tidak dibina keimanan dan ketakwaannya, kepintaran yang dimiliki kurang atau bahkan tidak memberi sumbangsih bagi perbaikan masyarakat.

Darmono perlu menelaah lebih mendalam solusi sistem pendikan Islam. Penerapan sistem ini akan lahir generasi yang beriman, bertakwa dan berkeribadian Islam sekaligus menguasai sains dan teknologi, pintar dan terampil. Generasi ini akan senantiasa memperhatikan kondisi umat, terus-menerus berusaha memperbaiki umat dan mewujukan kebaikan dan perbaikan di tengah umat dalam segala aspek kehidupan. [H. Indarto Imam; (Forum Pendidikan Cemerlang)]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

one × four =

Back to top button