Wajib Menerapkan Syariah Secara Kaffah
Islam adalah diin yang sempurna. Karakter rahmatan lil ‘alamin yang melekat pada Islam hanya akan terwujud jika syariahnya ditegakkan secara keseluruhan. Banyak sekali contoh hukum syariah yang secara kasatmata menunjukkan keberpihakkannya kepada siapapun (Muslim atau non-Muslim). Di antaranya:
Pertama, kebijakan ekonomi umum. Islam memandang masalah ekonomi adalah buruknya distribusi kekayaan di masyarakat dan pemenuhan kebutuhan di masyarakat perindividu secara menyeluruh. Dari sini, kebijakan ekonomi yang dibuat adalah:
- Negara wajib memenuhi kebutuhan dasar (hâjat asasiyah), yakni sandang, pangan, dan papan bagi seluruh rakyat perindividu. Tidak boleh ada yang lapar, telanjang dan tidak bisa berteduh di suatu rumah (dimiliki
maupun disewa). - Negara memberikan peluang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara tanpa membedakan satu dengan yang lain, untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan penyempurna hidup (hajat kamaliyah).
- Negara wajib memberikan pengarahan dan batas kepada masyarakat agar dalam menikmati kekayaan yang mereka miliki mengikuti pola kehidupan yang khas, yakni senantiasa di dalam koridor kehalalan. Apabila terjadi ketidakseimbangan ekonomi antara warga negara, karena kemampuan yang berbeda-beda, negara wajib melakukan penyeimbangan dengan memberikan bantuan cuma-cuma kepada kelompok masyarakat yang lemah dan papa (fakir miskin) agar mampu bangkit menjadi mampu memenuhi kebutuhannya sendiri (Lihat: QS al-Hasyr [59]: 7).
Kedua, jaminan kesejahteraan umum, pendidikan, kesehatan dan keamanan gratis bagi semua warga negara Islam. Islam memerintahkan negara untuk menjamin kebutuhan kolektif masyarakat (tanpa membedakan kaya maupun miskin). Semua diberi kesempatan (Lihat: Abdurrahman al-Baghdadi, Sistem Pendidikan Pada Masa Khilafah; Abdul Aziz al-Badri, Hidup Sejahtera di Bawah Naungan Islam).
Ketiga, politik keuangan. Islam menetapkan emas (dinar) dan perak (dirham) sebagai mata uang. Berbagai hukum Islam dalam penerapannya berkaitan dengan mata uang tersebut, seperti hukum denda (diyat). Fakta menunjukkan bahwa standar alat tukar itu tidak terkena inflasi, tidak lapuk oleh zaman, dan tak akan terguncang nilainya oleh perubahan sosial politik.
Islam juga mengajarkan bahwa uang sebagai alat tukar itu tidak boleh diam, harus produktif. Allah mengancam orang-orang yang menimbun emas dan perak (QS at-Taubah [9]: 34-35).
Islam pun telah menetapkan bahwa uang sebagai alat tukar tidak boleh diputar dalam bisnis non-real, seperti dipinjamkan untuk mendapatkan ribanya (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 275).
Jika hal ini diterapkan maka ekonomi akan stabil. Dampaknya, bukan hanya dirasakan oleh kaum Muslim melainkan juga oleh semua orang. Begitu pula jika seluruh hukum lainnya diterapkan.
WalLahu a’lam. [Ilham Efendi ; Direktur RIC]