Siyasah Dakwah

Seruan Penegakan Khilafah Dalam Kilasan Sejarah

“Diskusi mengenai Khilafah niscaya akan terus berlanjut dan menembus ruang publik dengan lebih dahsyat.”  (Reza Pankhurst, The Inevitable Caliphate , 2013)1

 

Mau diukur dengan standar apapun, keruntuhan Khilafah pada 1924 merupakan sebuah peristiwa besar yang mengguncang Dunia Islam. Sejarahwan Mesir, Dhiyauddin ar-Rais, menggambarkan hal tersebut sebuah kewajaran. Sebabnya, Khilafah adalah warisan umat Islam, peninggalan sejarah dan lambang persatuan mereka.2

Oleh karena itu, meskipun telah diruntuhkan, Khilafah akan tetap menjadi perhatian umat Islam. Adanya perhatian tersebut tidaklah mengherankan. Muhammad Bakhit al-Muthi’i, yang menjadi  pimpinan Al-Azhar saat keruntuhan terjadi, menegaskan “…Klaim keruntuhan Khilafah dalam Islam tidaklah tepat. Satu-satunya yang hilang hanyalah keberadaan khalifah. Menegakkan Khilafah masih tetap menjadi kewajiban di pundak umat.”3

Meskipun institusi Khilafah sudah cukup lama tidak ada, seruan penegakannya mampu melampaui zaman sampai ke masa saat ini. Madawi ar-Rasheed dalam laporan simposium tentang Khilafah yang diadakan di London pada 2010 menuliskan, “…Konsep dan visi Khilafah tetap hidup melampaui sejarah keberadaanya dan hari ini telah menghasilkan perdebatan yang panas lebih dari ajaran Islam yang lain.”4

Dalam konteks sejarah Indonesia, Khilafah langsung mencuri perhatian sesaat setelah Mustafa Kemal membubarkan Khilafah di Turki. Khilafah menjadi topik yang sering diangkat oleh Muslim Indonesia. Tjokroaminoto, sosok yang dikenal Bapak Bangsa, berulang menyebut Khilafah dalam pidato pertemuan organisasinya. Dia memandang keberadaan Khilafah amat dibutuhkan bagi umat Islam. Saking pentingnya urusan ini, dia meyakini bahwa umat Islam tanpa khalifah seperti badan tanpa kepala.5

Deliar Noer menguraikan bahwa ketika itu mereka tidak hanya berminat dalam masalah Khilafah, tetapi juga merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaian-nya. 6

Satu periode muncul saat antusiasme terhadap Khilafah memanas di Kepulauan Hindia Belanda. Menurut arsip Pemerintah Kerajaan Belanda, seperti dikutip Martin van Bruinessen, periode tersebut bahkan dianggap sebagai “sebuah tonggak bersejarah dalam pergerakan umat Islam di negeri ini.”7

Menelisik periode waktu setelah satu abad ketiadaannya, eksistensi seruan penegakan Khilafah tampak tidaklah terlalu statis. Memang di periode awal pernah menjadi sorotan. Namun, setelah itu, selama berbilang decade, seruannya lenyap bak ditelan bumi. Sesaat setelah memanas, Khilafah ditinggalkan, lalu dilupakan hingga akhirnya lenyap eksistensinya dalam wacana politik umat Islam. Sejumlah faktor ditenggarai telah menjadi penyebabnya.

Namun, bersama berjalannya waktu, kondisi tersebut perlahan berubah. Saat ini Khilafah kembali mendapat perhatian yang intens di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Khilafah telah kembali menjadi isu yang memanas. Penelurusan terhadap titik balik tersebut mengantarkan pada fakta bahwa terdapat kontribusi besar dari Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan partainya, Hizbut Tahrir, dalam menyegarkan kembali (tajdîd) seruan Khilafah sehingga dapat hadir dalam tantangan zaman yang mutakhir.

 

Menjadi Perhatian Ulama

Ketika Mustafa Kemal secara resmi menghapuskan Khilafah pada 3 Maret 1924, reaksi berdatangan dari berbagai wilayah, seperti Mesir, Libya, Suriah, Afganistan dan India. Berbagai reaksi itu mencerminkan adanya ikatan mereka dengan Khilafah. Di Mesir, tempat Universitas Al-Azhar dan para ulamanya berada, penghapusan Khilafah telah membangkitkan sentimen dan emosi Islam di seluruh kalangan masyarakat.

Upaya simultan dilakukan oleh para ulama di Al-Azhar untuk mendorong penyelengga-raan konferensi Khilafah. Pada 19 Maret 1924, sekelompok Azharî lain meminta Hay`at Kibâr al-`Ulamâ’ dan para pemimpin Mesir lainnya untuk membahas masalah Khilafah dan membentuk komite Khilafah yang terdiri dari empat belas orang untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Menanggapi berbagai seruan ini, Al-Hay`ah al-`Ilmiyyah ad-Dîniyyah al-Islâmiyyah al-Kubrâ bi ad-Diyâr al-Mishriyyah atau “Badan Islam Tertinggi Mesir”, yang mecakup Syaikh al-Azhar, grand muftî, Ketua Mahkamah Agung Syari’ah, Syaikh al-Mashâyikh dari Tarekat Sufi, dan direktur lembaga keagamaan al-Azhar, dan yang lainnya, mengadakan pertemuan bersejarah dan dihadiri banyak orang pada tanggal 25 Maret 1924, di gedung administrasi lembaga keagamaan al-Azhar.

Proposisi bahwa mereka akan mengadakan konferensi untuk menyelesaikan dilema kehilangan Khilafah ini memicu kesibukan di kalangan Muslim di seluruh dunia. Komite Kairo telah mengirimkan salinan keputusan yang dihasilkan pertemuan tersebut untuk didistribusikan kepada umat Islam di negeri lain. Salinan sering dikirim dalam lebih dari satu bahasa yang sesuai dengan tujuan masing-masing negeri.8

Begitu luasnya penyebaran hingga salinan berbahasa melayu muncul dalam surat kabar Bandera Islam yang terbit di Yogyakarta.9

Di Indonesia, koalisi Sarekat Islam, Muhammadiyah dan Al-Irsyad mengadakan pertemuan khusus di Surabaya dengan para tokoh pergerakan dan ulama pada 4 dan 5 Oktober 1924. Pertemuan digagas untuk membahas apakah perlu mengirim delegasi ke konferensi di Kairo atau tidak. Mengatur nuansa pertemuan, Tjokroaminoto memberikan pidato emosional tentang kebutuhan semua Muslim akan seorang khalifah sebagai pemimpin mereka. Pemimpin Muhamadiyah Haji Fakhruddin lebih lanjut mengusulkan bahwa daripada mengambil keputusan instan, komite (panitia) urusan Khilafah harus dibentuk untuk mempertimbang-kan dengan hati-hati dan membuka jalan untuk mengirim delegasi ke Kairo.

Sebuah komite kemudian dibentuk sebagai hasil dari saran-saran dalam pertemuan yakni Central Comité Chilafat. Muslim di Indonesia tidak sekadar mengikuti tanpa inisiatif. Bahkan mereka telah mampu merumuskan Khilafah yang ‘mudah’ diimplementasikan menurut penafsiran mereka. Mereka menyarankan agar didirikan Majlis Khilâfah, dan menekankan perlunya tanggung jawab seluruh umat Islam agar Khilafah tidak menjadi ‘milik’ keluarga (bani) tertentu saja seperti pada masa sebelumnya. Mereka juga memprioritaskan agar Makkah kelak menjadi ibukota Khilafah.10

Peran para ulama Al-Azhar tidak hanya sebatas menginisiasi konferensi. Mereka juga banyak melakukan pembelaan ketika Khilafah mulai dipermasalahkan. Pada tahun 1925, guncangan pemikiran hebat terjadi di Mesir. Penyebabnya adalah munculnya buku Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm Buku yang ditulis Ali Abdur Raziq ini menegaskan bahwa Islam tidak mengatur masalah Khilafah, pemerintahan dan negara.

Mereka berada diposisi yang tegas menentang kemunculan buku tersebut. Raziq kemudian disidang oleh Dewan Ulama Al-Azhar  setelah bukunya dikaji oleh dua puluh empat ulama. Pada 12 November 1925, sebuah putusan dikeluarkan dengan suara bulat untuk mengecam dan mengeluarkan Raziq dari jajaran ulama. Berbagai klaimnya dalam buku tersebut dianggap sesat.11

Beberapa di antara mereka menerbitkan buku bantahan. Di antaranya apa yang dilakukan oleh Muhammad al-Khidr Hussein yang menulis buku, Naq

Kitâb al-Islâm wa Ushûl al-Hukm. Ulama asal Tunisia yang juga merupakan guru syaikh Taqiyuddin an-Nabhani saat di Al-Azhar ini menjadi garda terdepan membela Islam secara terbuka dalam menghadapi gangguan gerakan sekular.12

 

Harapan yang Pupus

Terlepas dari munculnya dukungan para ulama, pupusnya harapan pada konferensi Khilafah tidak dapat dielakkan. Tidak hanya ditunda selama satu tahun, konferensi Kairo juga disalahartikan sebagai upaya untuk menobatkan Raja Fuad sebagai khalifah. Konferensi lain di Makkah yang diadakan Syarif Hussain (1924) dan Ibnu Saud (1926) juga tidak efektif menyelesaikan masalah Khilafah. Tidak ada keputusan apa pun yang diambil baik dalam konferensi maupun dalam kegiatan apapun yang dilaksanakan setelahnya. Memasuki tahun 1931, sebuah konferensi Islam diadakan di Yerusalem yang bahkan Khilafah tidak lagi memiliki daya tarik untuk dibahas.13

Kegetiran akibat gagalnya menyelesaikan persoalan ini terlihat dari pernyatan sejumlah ulama yang hadir dalam Kongres Kairo yang tersandera oleh politik domestik Mesir.  Syaikh Yusuf ad-Dijwi, ulama Al-Azhar, menyatakan, “Satu hal yang dapat dikatakan: kongres ini semakin memperlihatkan kehancuran total Khilafah kepada seluruh dunia.”14

Tak ingin spirit umat Islam hilang di tengah gagalnya mereka mengusahakan kembalinya Khilafah, Syaikh Muhammad al-Ahmadi al-’awâhirî mengoreksi dengan keras ketika munculnya kesimpulan kongres tentang kemustahilan mendirikan Khilafah, yang menurut dirinya akan mendorong umat Islam ke dalam depresi dan menjauhkan mereka dari semua harapan. Ia menambahkan bahwa untuk mencapai Khilafah pada zaman mereka seesungguhnya sudah mungkin. Hanya saja, cara untuk mencapai itu belum ditemukan sehingga umat Islam perlu kerja siang dan malam untuk mencapai itu.15

Penyataannya menyiratkan bentuk kebijaksanaan yang luar biasa yang lahir untuk merawat optimisme umat. Kehilangan tersebut tampaknya baru bisa terjawab 30 tahun kemudian saat syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berhasil menemukan tentang cara untuk mencapai Khilafah.

 

Titik Balik

Menelisik realitas sejarah pada periode ini, penyebab hilangnya seruan Khilafah setidaknya didorong oleh dua hal. Pertama,  bercokolnya pemikiran alternatif (terutama berkaitan tentang politik). Sesaat setelah Khilafah runtuh, telah menancap di tengah umat konsep politik alternatif lain yang notabenya berasal dari peradaban Barat. Kedua, hilangnya gambaran Khilafah di tengah umat akibat kekacauan penerapannya pada zaman Usmaniyah. Kehilangan ini mengakibatkan jauhnya realitas Khilafah dalam kehidupan mereka. Khilafah dianggap sebatas simbol masa lalu, sebuah gambaran politik Islam yang tidak lagi berdaya di era modern dan mudah dimanipulasi oleh pihak asing. Sebaliknya, nasionalisme, negara bangsa dan sekularisme berdiri tegak sebagai simbol kemerdekaan dan modernitas.16

Akibat itu semua, umat Islam justru akhirnya melirik alternatif politik lain. Alih-alih kembali pada Khilafah. Justru wacana dominan tahun 1930-an hingga setelahnya menjadikan demokrasi dan nasionalisme sebagai arah sikap politik mereka.

Pada titik ini, umat sejatinya membutuhkan tajdîd ulama yang dapat mengembalikan gambaran Khilafah sebagaimana yang ditunjukan oleh syariah dan kampatibel dengan kehidupan kontemporer. Di tengah harapan yang sempat pupus, sinar mentari datang di hampir tiga dekade kemudian, yakni ketika Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bersama gerakan yang dia dirikan, Hizbut Tahrir, menyegarkan kembali makna Khilafah dan mengingatkan kembali pada umat akan kewajiban mereka untuk menegakan kembali Khilafah. Melejitnya daya tarik Khilafah bagi Muslim kontemporer seperti saat ini tentu tidak bisa terlepas dari keberadaan gerakan Hizbut Tahrir (HT) yang sudah beroperasi hampir di seluruh belahan penjuru dunia. Hizbut Tahrir telah secara konsisten berjuang untuk penegakan Khilafah.  Emmanuel Karagiannis, seorang pakar politik Timur Tengah,  menyatakan bahwa mereka (HT) adalah satu-satunya partai yang secara sistematis dan konsisten menyerukan pendirian Khilafah yang kemudian menjadi ciri khas yang melekat pada gerakannya.17

Kilasan sejarah tentang seruan Khilafah ini memberikan suatu perspektif bahwa perlu cara yang khas dalam mengupayakan kembali tegaknya Khilafah. Meskipun Khilafah secara alami akan ada dalam perhatian umat Islam, begitupun banyak kitab pada masa lalu telah menjelaskan posisi Khilafah sebagai ajaran Islam, hal tersebut tidak cukup untuk membawa Khilafah bisa diartikulasikan pada zaman modern yang telah didominasi oleh arus peradaban Barat. Oleh karena itu, keberadan ulama yang mujaddid sejatinya merupakan anugerah Allah bagi umat Islam.

WalLâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Septian AW; (Sejarahwan, Founder Institut Literasi Khilafah Dan Indonesia-ILKI)]

 

Catatan kaki:

1        Reza Pankhurst, The Inevitable Caliphate?: A History Of The Struggle For Global Islamic Union, 1924 To The Present (New York: Oxford University Press, 2013), hlm. 208.

2        Muhammad Dhiyauddin Ar Rais, Al Islam Wa Al Khilafah Fi Al ‘Asr Al Hadis –Naqd Kitab Al Islam Wa Ushul Al Hukm (Dar el Turats 1972),  hlm. 38.

3        Mohammad Bakhit al-Mutee’i, Haqiqa al-Islam wa Usul al-Hukm (Kairo: Al-Matba’a al-Salifiyya, 1925), hlm. 58.

4        Madawi Al-Rasheed (ed.), Demystifying The Caliphate: Historical Memory And Contemporary Contexts (New York: Oxford University Press, 2015) hlm. 1.

5        Koran Soera Perdamaian, 1926.

6        Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1901-1942 (Jakarta: LP3ES,  1996), hlm. 242.

7        Martin van Bruinessen, “Muslim of the Dutch East Indies and The Caliphate Question”, dalam Studia Islamika, Vol 2, No. 3, 1995,  hlm. 120.

8        Mona Hasan, Longing For The Lost Caliphate: A Transregional History (New Jersey: Princeton University Press, 2017), hlm. 189-192.

9        Koran Bandera Islam, 1924.

10      Martin van Bruinessen (1995), hlm. 128.

11      Reza Pankhurst (2013), hlm. 55.

12      Mona Hasan (2017), hlm. 233.

13      Sejumlah kongres diadakan terkait dengan keruntuhan Khilafah, namun tidak ada satupun yang berhasil menyelesaikan dilema ketiadaannya. Lihat: Martin Kramer, Islam Assembled: The Advent of the Muslim Congresses  (New York: Columbia University Press, 1986).

14      Reza Pankhurst (2013), hlm. 60.

15      Mona Hasan (2017), hlm. 233.

16      Reza Pankhurst (2013), hlm. 62.

17      Reza Pankhurst (2013), hlm. 96.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 × 1 =

Back to top button