Soal Jawab

Apa Dan Bagaimana Standar Kriminal Menurut Islam?

Soal:

Apa dan bagaimana batasan perbuatan atau tindakan pelanggaran yang dinyatakan sebagai tindakan atau perbuatan kriminal? Apakah ada batasan yang jelas di dalam sistem sanksi dalam Islam?

 

Jawab:

Al-Muhami ‘Abdurrahman al-Maliki, dalam kitabnya, Nizhaam al-‘Uquubaat, menjelaskan batasan tindakan atau perbuatan kriminal sebagai berikut:

وَالْجَرِيْمَة هِيَ الْفِعْلُ الْقَبِيْحُ، وَالْقَبِيْحُ هُوَ مَا قَبَّحَهُ الشَّرْعُ، وَلِذَلِكَ لاَيُعْتَبَرُ الْفِعْلُ جَرِيْمَةً إِلاَّ إِذَا نَصَّ الشَّرْعَ عَلَى أَنَّهُ فِعْلٌ قَبِيْحٌ، فَيُعْتَبَرُ حِيْنَئِذٍ جَرِيْمَةً، وَذَلِكَ بِغَضِّ النَّظَرِ عَنْ دَرَجَةِ قُبْحِهِ، أَيْ بِغَضِّ النَّظَرِ عَنْ كَوْنِ الْجَرِيْمَةِ كَبِيْرةَ أَوْ صَغِيْرَةً، فَقَدْ جَعَلَ الشَّرْعُ اَلْفِعْلَ الْقَبِيْحَ ذَنْبًا يُعَاقَبُ عَلَيْهِ، فَالذَّنْبُ هُوَ الْجَرِيْمَة بِعَيْنِهَا.

Perbuatan kriminal adalah perbuatan tercela (qabih). Perbuatan tercela adalah apa saja yang dinyatakan tercela oleh syariah. Karena itu suatu perbuatan tidak dinyatakan sebagai tindakan kriminal, kecuali jika dinyatakan oleh nash syariah sebagai perbuatan tercela. Ketika itu perbuatan tersebut dinyatakan sebagai kriminal. Tanpa melihat lagi derajat ketercelaannya. Dengan kata lain, tanpa memandang lagi apakah tindakan kriminal tersebut besar atau kecil. Syariah telah menjadikan perbuatan tercela sebagai dosa yang harus dikenai sanksi. Jadi, setiap dosa adalah tindakan kriminal itu sendiri.1

 

Inilah batasan tentang perbuatan kriminal (jariimah) dalam pandangan Islam. Standarnya adalah setiap perbuatan dosa, baik dosa besar (kabaa’ir) maupun kecil (shaghaa’ir). Karena itu setiap perbuatan dosa dalam pandangan Islam adalah perbuatan kriminal (jarimah) tanpa melihat besar dan kecilnya dosa yang dilakukan.

Mengenai status tercela (qabiih), atau terpuji (hasan), para ulama Ushul Fiqih maupun Ushuluddin membagi wilayahnya menjadi tiga:2

  1. Substansinya (maahiyah), termasuk sifat sempurna dan tidak. Misal: Gula manis, bisa dihukumi hasan. Kotoran bau bisa dihukumi qabiih. Pintar disebut hasan dan bodoh disebut qabih. Ini semua bisa dihukumi dengan akal.
  2. Sesuai dan tidaknya dengan fitrah (mulaa’amah wa munaafarah li fithrah al-insaan). Misal: Adil dianggap hasan sedangkan zalim dianggap qabiih. Ini bisa dihukumi dengan menggunakan akal.
  3. Konsekuensi pahala dan dosa (tsawaab wa ‘iqaab), juga pujian dan celaan (madh wa dzam). Di sini, Muktazilah menganggap akal bisa digunakan untuk menentukan, sedangkan Ahlush Sunnah sepakat, bahwa syariatlah satu-satunya yang bisa menentukan hasan dan qabiih. Misal: Gula halal atau haram tidak bisa ditentukan dengan akal, tetapi ditentukan oleh syariah. Ini karena terkait dengan konsekuensi pahala dan dosa atau pujian dan celaan. Begitu juga adil hukumnya wajib dan zalim hukumnya haram; tidak bisa ditentukan dengan akal, tetapi harus ditentukan oleh syariah.

 

Karena itu, dalam pembahasan hukum, karena ini terkait dengan pahala dan dosa, atau pujian dan celaan, maka standar hasan dan qabiih itu ditentukan oleh syariah. Bukan oleh akal dan hawa nafsu. Karena itu al-Qadhi Abu Bakar al-Baqillani (w. 403 H) menyatakn kaidah:

اَلحَسَنُ مَا حَسَّنَهُ الشَّرْعُ وَجَوَّزَهُ وَسَوَّغَهُ، وَالْقَبِيْحُ مَا قَبَّحَهُ الشَّرْعُ، وَحَرَّمَهُ، وَمَنَعَ مِنْهُ.

Perbuatan yang terpuji adalah apa saja yang dinyatakan terpuji, boleh dan sah oleh syariah. Perbuatan yang tercela adalah apa saja yang dinyatakan tercela, diharamkan dan dilarang oleh syariah.”3

 

Dari rumusan al-Qadhi al-Baqillani inilah, al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani merumuskan kaidah:

اَلحَسَنُ مَا حَسَّنَهُ الشَّرْعُ وَالْقَبِيْحُ مَا قَبَّحَهُ الشَّرْعُ.

Perbuatan yang terpuji adalah apa saja yang dinyatakan terpuji oleh syariah. Perbuatan yang tercela adalah apa yang dinyatakan tercela oleh syariah.4

 

Dengan demikian standar perbuatan terpuji dan tercela, sekaligus perbuatan yang dinyatakan kriminal (jarimah) dan tidak, sudah jelas. Apa saja yang dinyatakan tercela (qabiih) jelas merupakan perbuatan kriminal (jariimah). Perbuatan ini adalah perbuatan dosa. Konsekuensi atas perbuatan dosa tersebut, pelakunya di dunia mendapatkan sanksi (‘uquubaat) dan di akhirat mendapatkan siksa (azab).

Mengenai status dosa besar atau kecil, sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Muhami ‘Abdurrahman al-Maliki di atas, tidak dijadikan sebagai patokan dalam menentukan, apakah perbuatan tersebut termasuk kriminal (jariimah) atau tidak?

Mengenai perbedaan dosa besar atau kecil, para ulama telah membahas kriterianya panjang lebar, sebagaimana dibahas adz-Dzahabi (w. 748 H) dalam kitabnya, Al-Kabaa’ir, juga Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H) dalam kitabnya, Az-Zawaajir.

Imam al-Hafidz Adz-Dzahabi menyatakan:

مَنْ اِرْتَكَبَ شَيْئًا مِنْ هَذِهِ الْعَظَائِمِ مِمَّا فِيْهِ حَدٌّ فِي الدُّنْيَا كَالْقَتْلِ وَالزِّنَا وَالسَّرِقَةِ، أَوْ جَاءَ فِيْهِ وَعِيْدٌ فِي الآخِرَةِ مِنْ عَذَابٍ، أَوْ غَضَبٍ، أَوْ تَهْدِيْدٍ، أَوْ لُعِنَ فَاعِلُهُ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم فَإِنَّهُ كَبِيْرَةٌ

Siapa saja yang melakukan salah satu perbuatan dari perbuatan dosa besar ini (sebagaimana yang disebutkan dalam hadis), sesuatu yang di dalamnya dinyatakan ada sanksinya di dunia, seperti membunuh, berzina dan mencuri, atau di dalamnya dinyatakan adanya ancaman di akhirat berupa adzab, murka atau ancaman, atau pelakunya dilaknat melalui lisan Muhammad saw., maka itu merupakan dosa besar.5

 

Adapun Ibn Hajar al-Haitami menyatakan bahwa dosa besar itu adalah:6

  1. Dosa yang pelakunya diancam dengan ancaman yang keras, melalui nas al-Quran dan as-Sunnah. Ini merupakan penjelasan Imam an-Nawawi dalam kitabnya, Ar-Rawdhah.
  2. Semua maksiat yang mengharuskan dijatuhi had, seperti zina, mencuri, menuduh orang lain berzina dan minum khamer.
  3. Maksiat yang dinyatakan keharamannya oleh al-Quran, atau jenisnya mewajibkan dijatuhi had atas pelakunya, seperti bohong dalam memberikan kesaksian, riwayat dan sumpah.
  4. Maksiat yang mengharuskan dijatuhi had dan disertai ancaman.

 

Selain kriteria yang telah di sebutkan di atas tidak termasuk dalam kategori dosa besar, tetapi termasuk dalam kategori dosa kecil. Namun, sebagian ulama lain tidak memilah antara dosa besar dan dosa kecil. Dalam konteks tindakan kriminal, baik dosa besar maupun kecil, tetap dianggap tindakan kriminal. Bedanya, ada yang sanksinya telah ditetapkan oleh nas, baik dalam bentuk huduud maupun jinaayat, maupun sanksinya tidak ditetapkan oleh nas, tetapi diserahkan kepada Qadhi, baik dalam bentuk ta’ziir maupun mukhaalafaat.

Perlu dicatat, tindakan kriminal ini bukan fitrah manusia. Tindakan ini juga bukan sesuatu yang dihasilkan oleh manusia, tetapi bisa disebut sebagai penyakit yang menimpa manusia. Penyakit yang harus diselesaikan dan diobati. Karena itu tindakan kriminal ini merupakan pelanggaran hukum syariah.

Karena manusia hidup di dunia ini dianugerahi oleh Allah kebutuhan jasmani (haajaat ‘udhawiyyah) dan naluri (gharaa’iz), sebagai potensi kehidupan (thaaqah hayawiyyah), dan akal untuk mengetahui mana yang benar dan salah, mana yang haq dan batil, sebagai potensi manusia (thaqah insaniyyah), maka ketika kebutuhan jasmani (haajaat ‘udhawiyyah) dan naluri (gharaa’iz) tersebut dibiarkan untuk dipenuhi manusia tanpa aturan (hukum syariah), pasti rusak dan kacau. Karena itu Allah menurunkan syariah sebagai aturan yang mengatur seluruh pemenuhan yang dilakukan oleh manusia, baik untuk memenuhi kebutuhan jasmani (haajaat ‘udhawiyyah) maupun  naluri (ghaara’iz)-nya.

Sebagai contoh, perzinaan adalah cara untuk memenuhi naluri seksual, tetapi cara tersebut salah (isyba’ khathi’). LGBT adalah cara memenuhi naluri seksual, tetapi cara tersebut tidak hanya salah, tetapi juga menyimpang (syadz). Dua-duanya dinyatakan haram oleh syariah. Sanksinya pun tegas dan keras, disertai dengan ancaman dan laknat yang keras bagi perbuatan dan pelakunya. Syariah tidak hanya menjelaskan sanksinya di dunia, tetapi juga azab di akhirat.

Dalam konteks zina, misalnya, dengan tegas Allah SWT menyatakan:

ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ وَلَا تَأۡخُذۡكُم بِهِمَا رَأۡفَةٞ فِي دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۖ وَلۡيَشۡهَدۡ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٞ مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ  ٢

Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kalian untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian kaum Mukmin (QS an-Nur [24]: 2).

 

Adapun ancaman azab di akhirat dinyatakan dengan tegas, bersifat umum, bagi seluruh pelaku maksiat, tanpa dibedakan besar dan kecilnya dosa mereka:

يُعۡرَفُ ٱلۡمُجۡرِمُونَ بِسِيمَٰهُمۡ فَيُؤۡخَذُ بِٱلنَّوَٰصِي وَٱلۡأَقۡدَامِ  ٤١

Para pendosa dikenali dengan tanda-tandanya, lalu direnggut ubun-ubun dan kakinya (QS ar-Rahman [55]: 41).

 

Semuanya ini terkait dengan tindakan kriminal; tindakan maksiat yang pelakunya dinyatakan berdosa kepada Allah SWT. Inilah batasan tindakan kriminal dalam pandangan Islam. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

1        Al-Muhami ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, hal.

2        ‘Adhudu-Llah wa ad-Din al-Qadhi ‘Abdurrahman bin Ahmad al-Iji, al-Mawaqif fi ‘Ilmi al-Kalam, ‘Alim al-Kutub, Beirut, hal. 323-324; Badruddin Muhammad bin Bahadir bin ‘Abdillah az-Zarkasyi as-Syafii, al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh, Dar Ibn al-Jauzi, Qahirah, cet. I, 2016 M/1437 H, Juz I, hal. 145-146.

3        Al-Qadhi Abu Bakar bin at-Thayyib al-Baqillani, al-Inshaf Fima Yajibu I’tiqaduhu wa La Yajuzu al-Jahlu Bihi, editor Muhammad Zahid bin al-Hasan al-Kautsari, Maktabah al-Khaniji, Qahirah, cet. III, 1993 M/1413 H, hal. 50.

4        Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Min Mansyurat Hizb at-Tahrir, Beirut, cet. III, 2005 M/1426 H, Juz III, hal. 17.

5        Al-‘Allamah al-Hafidz Syasuddin ad-Dzahabi, al-Kabair, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., hal. 8.

6        Al-‘Allamah Ibn Hajar al-Haitami, az-Zawajir ‘an Iqtirafi al-Kabair, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. III, 2011 M/1433 H, Juz I, hal. 12-14.

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

19 + ten =

Back to top button