Hadis Pilihan

Legalitas Perdagangan Dan Peringatan Bagi Para Pedagang

عَنْ رِفَاعَةَ أَنَّهُ خَرَجَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمُصَلَّى، فَرَأَى النَّاسَ يَتَبَايَعُوْنَ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، فَاسْتَجَابُوا لِرَسُولِ الله صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَفَعُوا أَعْنَاقَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ إِلَيْهِ، فَقَالَ: إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ فُجَّارًا، إِلَّا مَنْ اتَّقى الله، وَبَرَّ، وَصَدَقَ

Dari Rifaah bahwa dia pernah keluar bersama Nabi saw. menuju mushalla (lapangan tempat shalat Id). Beliau melihat orang-orang sedang berjual-beli. Beliau lalu bersabda, “Hai para pedagang.” Mereka kemudian menjawab panggilan Rasulullah saw sembari menoleh dan mengarahkan pandangan mereka kepada beliau. Lalu beliau bersabda, “Sungguh para pedagang akan dibangkitkan pada Hari Kiamat sebagai orang yang banyak melakukan dosa, kecuali orang yang bertakwa kepada Allah, berlaku baik dan jujur.” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Mu’ammar bin Rasyid, al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibnu Hibban).

 

Redaksi hadis di atas adalah menurut Riwayat Imam at-Tirmidzi. Dalam redaksi Mu’ammar bin Rasyid disebutkan lafal mushalla diganti dengan al-Baqî’, Jadi maknanya adalah mushalla, yaitu tanah lapang Baqi’ yang biasa digunakan untuk shalat Id.

Hadis ini dikeluarkan oleh Imam at-Tirmidzi (w. 279 H) di dalam Al-Jâmi’u al-Kabîr atau Sunan at-Tirmidzî hadis nomor 1210; Imam Ibnu Majah (w. 273 H) di dalam Sunan Ibni Mâjah hadis no. 2146; Imam ad-Darimi di dalam Musnad ad-Dârimî yang dikenal dengan Sunan ad-Dârimî hadis no. 2580; Mu’ammar bin Rasyid (w. 153 H) di dalam Al-Jâmi’ hadis no. 20999; Imam al-Hakim (w. 406 H) di dalam Al-Mustadrak ‘alâ ash-Shahîhayn hadis no. 2144; Imam al-Baihaqi (w. 458 H) di dalam Sunan al-Kubrâ hadis no. 10414 dan di dalam Syu’ab al-خmân hadis no. 4507 dan 4508; Imam Ibnu Hibban di dalam al-Ihsân fî Taqrîb Shahîh Ibni Hibbân atau Shahîh Ibni Hibbân hadis no. 4910.

Imam at-Tirmidzi berkata, “Ini adalah hadis hasan shahih.”

Imam al-Hakim berkata, “Ini adalah hadis shahîh al-isnâd, tetapi beliau berdua (al-Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya.”

Komentar Al-hafizh adz-Dzahabi di dalam Talkhîsh adz-Dzahabî tentang hadis di atas, “(Ini hadis) shahîh.”

Di dalam hadis ini terdapat taqrîr Rasul saw. atas aktivitas tijârah (perniagaan), yakni jual-beli. Hal itu tampak jelas dalam redaksi hadis. Rasul saw. memanggil mereka dengan at-tujjâr (bentuk jamak dari at-tâjir), yakni orang-orang yang melakukan perniagaan atau jual-beli atau para pedagang. Dalam redaksinya juga dinyatakan aktivitas mereka: yatabâya’ûn (mereka berjual-beli). Ini menunjukkan masyrû’ (legal)-nya aktivitas perdagangan, yakni jual beli. Ini juga menunjukkan bahwa profesi sebagai at-tâjir, yakni pedagang, adalah halal.

Namun demikian, meski perniagaan atau jual-beli itu legal secara syar’i, bukan berarti pedagang bebas berniaga sesuka mereka dan melakukan segala cara untuk memasarkan barang dagangan mereka. Rasul saw. memperingatkan mereka bahwa at-tujjâr yub’atsûna yawma al-qiyâmati fujjâr[an] illâ man ittaqalLâh wa barra wa shadaqa.

Mula al-Qari (w. 1014 H) di dalam Mirqâtu al-Mafâtîh Syarhu Misykâti al-Mashâbîh menjelaskan, “Fujjâran, jamak dari fâjir, yang berasal dari al-fujûr, yaitu menyimpang dari yang lurus. Orang yang berdusta adalah fâjir karena menyimpang dari kejujuran.

Illâ man atttaqâ”, yakni bertakwa kepada Allah dengan tidak melakukan dosa besar dan kecil berupa menipu dan khianat. Artinya, ia berbuat baik kepada orang dalam perniagaannya atau dia melakukan ketaatan kepada Allah dan beribadah kepada-Nya.

Wa barra wa shadaqa”, yakni dalam sumpahnya dan semua ucapannya. Al-Qadhi berkata, “Di antara kebiasaan para pedagang adalah at-tadlîs (penipuan/manipulasi) dalam muamalah dan berputar-putar atas promosi barang dengan sumpah dusta dan semacamnya yang mudah mereka lakukan. Karena itu beliau menghukumi mereka dengan al-fujûr. Dari mereka dikecualikan orang yang menjaga diri dari apa saja yang haram, berlaku baik dalam sumpahnya dan jujur dalam ucapannya. Para pen-syarh berpendapat demikian. Mereka membawa makna al-fujûr pada al-laghwu (berlebih-lebihan) dan al-halifu (sumpah)”.

Penyebutan para pedagang sebagai al-fujjâr itu dijelaskan alasannya dalam riwayat dari Abdurrahman bin Syiblin. Ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّ التُّجَّا رَهُمُ الْفُجَّارُ، قَالُوا: يَا رَسُولَ الله، أَلَيْسَ قَدْ أَحَلَّ الله الْبَيْعَ؟ قَالَ: بَلَى، وَلَكِنَّهُمْ يَحْلِفُونَ فَيَأْثَمُونَ، وَيُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ

“Para pedagang (at-tujjâr) adalah al-fujjâr (orang yang banyak melakukan dosa).” Mereka berkata, “Ya Rasulullah, bukankah Allah telah menghalalkan jual-beli?” Beliau bersabda, “Benar, tetapi mereka (para pedagang) bersumpah dan mereka berdosa, dan mereka berbicara dan berdusta.” (HR Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thahawi).

 

Hadis ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad di dalam Al-Musnad hadis no. 15530, 15666 dan 15669; Imam al-Hakim di dalam Al-Mustadrak hadis no. 2145 dan 2146; al-Baihaqi di dalam As-Sunan al-Kubrâ hadis no. 10415 dan di dalam Syu’ab al-Imân hadis no. 4503, 4504 dan 4505; dan ath-Thahawi (w. 321 H) di dalam Syarhu Musykal al-آtsâr hadis no. 2077 dan 2078.

Al-Hakim berkata, “Ini adalah hadis shahîh al-isnâd tetapi beliau berdua (al-Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya.”

Komentar al-Hafizh adz-Dzahabi di dalam Talkhîsh adz-Dzahabî tentang hadis ini, “(Hadis ini) shahîh.

Peringatan Rasul saw. itu mengisyaratkan seolah dibangkitkan sebagai fujjâr itu menjadi asal keadaan para pedagang pada Hari Kiamat.  Penggunaan istitsnâ’ (pengecualian) mengisyaratkan bahwa keadaan yang dikecualikan itu merupakan keadan sebagian kecilnya. Dapat juga dipahami bahwa ini merupakan peringatan keras dari Rasul saw. kepada para pedagang, bahwa perniagaan itu rentan dengan perbuatan fâjir, seperti sumpah dusta, ucapan bohong, berlebih-lebihan dalam berucap dan menjelaskan sampai taraf fâjir, menyembunyikan aib barang, tidak jujur, tidak menjelaskan kondisi barang sepenuhnya, melakukan ghabn dan tadlîs dan lainnya. Semua itu dapat memupus keberkahan.

Oleh karena itu, para pedagang harus sangat berhati-hati dalam perniagaannya. Hendaklah para pedagang mengetahui hukum-hukum syariah terkait perniagaannya, menaati hukum-hukum itu, berlaku baik, jujur, ihsaan dan samhah (murah hati) sehingga tidak dibangkitkan sebagai fujjâr.

WalLâh a’lam wa ahkam.  [Yoyok Rudianto]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

13 − ten =

Check Also
Close
Back to top button