Tafsir

Berita Tentang Jin (3)

(Tafsir QS al-Jin [72]: 2-3)

يَهۡدِيٓ إِلَى ٱلرُّشۡدِ فَئَامَنَّا بِهِۦۖ وَلَن نُّشۡرِكَ بِرَبِّنَآ أَحَدٗا  ٢ وَأَنَّهُۥ تَعَٰلَىٰ جَدُّ رَبِّنَا مَا ٱتَّخَذَ صَٰحِبَةٗ وَلَا وَلَدٗا  ٣

Yang memberikan petunjuk pada kebenaran sehingga kami pun mengimaninya dan tidak akan mempersekutukan Tuhan kami dengan sesuatu pun. Sungguh Mahatinggi keagungan Tuhan kami. Dia tidak beristri maupun beranak. (QS al-Jin [72]: 2-3).

 

Dalam penjelasan sebelumnya diberitakan sikap sekelompok jin yang mendengarkan al-Quran. Setelah mendengarkan al-Quran, mereka kemudian kembali kepada kaumnya dan menyampaikan kekagumannya terhadap al-Quran. Selain menyebut al-Quran sebagai kitab yang menakjubkan, mereka juga menyatakan bahwa al-Quran menunjukkan kepada jalan yang lurus.

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman:

وَلَن نُّشۡرِكَ بِرَبِّنَآ أَحَدٗا  ٢

Tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Tuhan kami.

 

Setelah mereka menyatakan keimanannya terhadap al-Quran, mereka pun menyatakan konsukensi dari keimanan tersebut, yakni mengimani semua yang disampaikan al-Quran.1 Di antara perkara sangat penting dan mendasar itu adalah tidak menyekutukan Allah SWT dengan selain Diri-Nya. Ini adalah konsekuensi dari keimanan.

Dalam ayat itu disebutkan: [لَنْ] (tidak akan). Huruf tersebut untuk menafikan sesuatu sampai ke masa yang akan datang. Itu memberikan makna bahwa mereka sebelumnya adalah musyrik. Oleh karena itu, mereka mengukuhkan penafian tindakan menyekutukan Allah SWT dengan huruf at-ta‘bîd (untuk menunjukkan selamanya) pada masa yang akan datang. Demikian sebagaimana pernyataan dan pujian mereka terhadap al-Quran dikuatkan dengan kata [إِنَّ] (sesungguhnya).2

Secara syar’i, asy-syirk adalah menjadikan sekutu bagi Allah SWT dalam hal rubûbiyyah dan ulûhiyyah.3 Dalam ayat ini diberitakan bahwa sekelompok jin tersebut menyatakan tidak akan lagi menyekutukan Allah SWT. Az-Zamakhsyari berkata, “Kami tidak akan kembali melakukan kemusyrikan seperti sebelumnya dalam menaati setan.”4

Hal senada juga dikemukakan al-Khazin yang berkata, “Maknanya: ‘Kami tidak akan kembali pada kesyirikan sebelumnya.’ Ayat ini menunjukkan bahwa jin itu sebelumnya kafir.”5

Menurut Wahbah az-Zuhaili, dalam ayat ini ada petunjuk bahwa hal paling agung dari dakwah Nabi saw. adalah mengesakan Allah, melepaskan syirik dan para pengikutnya.6

Menurut Muhammad al-Amin al-Harari, ayat itu berarti, “Kami tidak menjadikan seorang atau suatu apapun yang disembah sebagai sekutu bagi Allah SWT secara i’tiqaadi; juga tidak menyembah selain Diri-Nya. Sebabnya, kesempurnaan iman adalah barâ`ah (berlepas diri) dari kesyirikan dan kekufuran, sebagaimana dikatakan Nabi Ibrahim as. yang diberitakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

فَلَمَّآ أَفَلَتۡ قَالَ يَٰقَوۡمِ إِنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تُشۡرِكُونَ  ٧٨

Ketika matahari terbenam dia berkata, “Kaumku, sungguh aku berlepas diri dari yang kalian persekutukan.” (QS al-An’am [6]: 78).7

 

Keberadaan al-Quran sebagai kitab yang menakjubkan dan sangat bagus mewajibkan siapapun untuk mengimaninya. Keberadaan al-Quran yang menunjukkan pada ar-rusyd mewajibkan siapapun untuk memutus kesyirikan dari pangkalnya. Lalu masuk ke dalam agama Allah SWT secara menyeluruh. Semua ini maka terhimpun dalam firman-Nya:

فَئَامَنَّا بِهِۦۖ وَلَن نُّشۡرِكَ بِرَبِّنَآ أَحَدٗا  ٢

Lalu kami pun mengimani al-Quran itu dan tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Tuhan kami.

 

Sikap mereka itu semua disebabkan oleh apa yang disebutkan sebelumnya, yakni firman-Nya:

إِنَّا سَمِعۡنَا قُرۡءَانًا عَجَبٗا  ١ يَهۡدِيٓ إِلَى ٱلرُّشۡدِ ٢

Sungguh kami telah mendengarkan bacaan yang menakjubkan, yang memberikan petunjuk pada kebenaran.8

 

Menurut asy-Syaukani, ini merupakan teguran dan celaan bagi yang kafir dari kalangan manusia. Sebabnya, jin saja bisa beriman hanya mendengarkan al-Quran satu kali dan dapat mengambil manfaat dari mendengar sedikit ayat-ayatnya. Jin-jin itu dapat memahami dengan akal pikiran mereka bahwa itu adalah firman Allah SWT, tetapi mereka beriman kepada Diri-Nya. Seabaliknya, manusia-manusia yang kafir tidak dapat mengambil manfaat, apalagi para pembesar dan pemimpin mereka. Padahal al-Quran telah diperdengarkan berkali-kali dan dibacakan kepada mereka pada waktu-waktu yang berbeda. Apalagi Rasul saw. pun berasal dari kalangan mereka. Ia membacakan al-Quran kepada mereka dengan bahasa mereka sendiri. Karena itu tidak aneh jika Allah SWT menempatkan mereka di tempat terburuk. Allah SWT mematikan mereka dengan seburuk-buruknya kematian dan siksa akhirat jauh lebih dahsyat kalau saja mereka mengetahui.9

Kemudian Allah SWT berfirman:

وَأَنَّهُۥ تَعَٰلَىٰ جَدُّ رَبِّنَا ٣

 

Sungguh Mahatinggi keagungan Tuhan kami.

 

Dhamiir al-hâ‘ pada frasa [أَنَّهُ] merupakan dhamîr asy-sya’n. Sebagaimana diterangkan sebelumnya, dhamîr atau kata ganti tersebut untuk menunjukkan berita yang disebutkan sesudahnya. Menjadi semakin kuat manaka didahului dengan huruf «أَنَّ» (sesungguhnya). Demikian pula pada dua tempat lain sesudahnya.10

Kata [تَعَا لى] (Mahatinggi) merupakan al-fi’l al-mâdhi. Adapun frasa  [جَدُّ رَبِّنَا] (keagungan Tuhan kami) berposisi sebagai fâ’il (pelaku).11

Kata [تَعَا لى] bermakna: yang paling tinggi hingga batas yang tidak ada bisa dilampaui. Kata [جَدُّ] berarti [عظمة وسلطان وكمال غنى] (keagungan, kekuasaan, kesempurnaan, dan kekayaan).12

Secara bahasa, kata [اَلْجَدُّ] berarti [الْعَظَمَةُ وَالْجَلَالُ] (kebesaran dan keagungan).13

Menurut Anas ra., ketika telah hapal QS al-Baqarah dan QS Ali Imran, dikatakan kepada dirinya:  [جَدَّ في عُيُونِنَا] (dia agung di mata kami). Karena itu makna firman-Nya: [جَدُّ رَبِّنَا] adalah: [عَظَمَتُه وَجَلَالُه] (kebesaran-Nya atau keagungan-Nya. Hal ini juga disampaikan oleh ‘Ikrimah, Mujahid dan Qatadah.14

Selain makna tersebut, secara bahasa kata [اَلْجَدُّ] juga berarti  [اَلْحَظُّ] (bagian) dan [أَبُو الْأَبِ] (kakek).15  Namun demikian, pemaknaan al-jadd dengan kakek tidak bisa dibenarkan. Sebagaimana diterangkan Ibnu Jarir al-Thabari,  siapa saja yang menyatakan Allah memiliki anak atau al-jaddu (kakek), yang merupakan bapaknya bapak atau bapaknya ibu, termasuk ke dalam kategori orang musyrik.

Adapun makna lainnya, yakni [اَلْحَظُّ] , menurut ath-Thabari, masih boleh. Dikatakan: [فُلَانٌ ذُو جَد في هَذَا الْأَمْر] (Fulan memiliki bagian dalam urusan ini) jika dia memiliki bagian di dalamnya. Inilah yang dalam bahasa Persia disebut [البَخْت]. Makna inilah yang  dimaksudkan oleh sekelompok jin itu dengan mengatakan [وَأَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا] (Sungguh Mahatinggi kebesaran Tuhan kami). Sesungguhnya, yang mereka maksudkan adalah  [حَظْوَتَه] berupa kekuasaan, kekuasaan, kekuatan dan keagungan yang tinggi sehingga Dia tidak memiliki istri dan anak. Sebabnya, istri bagi yang lemah, yang dirinya selalu dibangkitkan oleh gairah nafsu. Adapun anak merupakan bagian dari syahwat itu dan terjadi karenanya. Oleh karena itu, jin berkata, “Mahatinggi Kerajaan Tuhan kami, kekuatan, kekuasaan dan keagungan-Nya, serta tidak lemah seperti makhluk-Nya yang selalu digoda hawa nafsu untuk memiliki istri atau melakukan sesuatu untuk memiliki anak.”16

Meskipun demikian, menurut ath-Thabari, makna yang lebih raajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat ini:  [تَعَالَتْ عَظَمَةُ رَبِّنَا وَقُدْرَتُهُ وَسُلْطَانُه] (Mahatinggi keagu-ngan dan kekuasaan Tuhan kami).17

Menurut Ibnu ‘Asyur, pernyataan tersebut menjadi pendahuluan dan pengantar bagi firman Allah SWT berikutnya, yakni firman-Nya:

مَا ٱتَّخَذَ صَٰحِبَةٗ وَلَا وَلَدٗا  ٣

Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak.

 

Kata  [صَاحِبَة] adalah [زَوْجَة].18 Tentang makna ayat ini, al-Zajjaj berkata, “Mahatinggi kemuliaan dan kebesaran Tuhan kami untuk memiliki istri dan anak. Seakan-akan jin mengingatkan dengan pernyataan ini akan kekeliruan orang-orang kafir yang menyatakan bahwa Allah memiliki istri dan anak. Dengan demikian jin-jin itu pun mensucikan Allah dari keduanya (anak-istri).19

Menurut Muhammad Ali ash-Shabuni, Allah tidak mempunyai istri maupun anak. Sebabnya, istri dinikahi karena membutuhkan, dan anak ada karena menjadi hiburan. Padahal Allah SWT bersih dari kekurangan itu.20

Abdurrahman as-Sa’di juga berkata, “Mereka mengetahui kemuliaan dan keagungan Allah SWT yang menunjukkan mereka atas batilnya orang yang mengklaim bahwa Dia memiliki istri dan anak. Sebabnya, Dia memiliki keagungan dan keluhuran, pada semua sifat-Nya ada kesempurnaan. Memiliki istri dan anak jelas menafikan hal itu karena bertentangan dengan kesempunaan-Nya yang tidak memerlukan yang lain.”21

Penjelasan senada juga dikemukakan oleh Muhammad Amin al-Harari. Para jin itu menafikan diri mereka dari menyekutukan Allah SWT dan menyucikan-Nya dari memiliki istri dan anak. Sebabnya, jika memiliki istri, berarti Dia butuh terhadap istri. Istri juga mesti berasal dari jenis yang sama, sebagaimana difirmankan:

خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا ٢١

Dia menciptakan pasangan-pasangan untuk kalian dari (jenis) diri kalian sendiri agar kalian merasa tenteram kepada dirinya (QS ar-Rum [30]: 21).

 

Allah SWT pun tidak punya anak. Sebabnya, adanya anak adalah untuk memperbanyak, demi kesenangan, untuk kebutuhan ketika sudah tua, serta untuk kelangsungan hidup dan nama baik. Demikian sebagaimana dikatakan dalam syair:

وَكَمْ أَب قَدْ عَلا بإبْنٍ ذُرَا شَرَفٍ … كَمَا عَلَتْ بِرَسُوْلِ الله عَدْنَانُ

Betapa banyak seorang bapak menjadi tinggi karena anaknya yang meninggalkan kemuliaan; sebagaimana Adnan menjadi tinggi karena Rasulullah saw.

 

Mahasuci Allah dari yang demikian. Mahatinggi Tuhan kami dengan ketinggian yang agung.22

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1        Jalaluddin al-Mahalli, Tafsîr al-Jalâlayni,770; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 29, 158

2        Muhyiddin Darwisy, I’râb al-Qur‘ân wa Bayânuhu, vol. 10 (Damaskus: Dar al-Yamamah, 1995), 267

3        al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fî  Tanâsub al-Suwar, vol. 20, 467

4        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 8; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 365. Lihat juga Ibnu ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, vol. 29, 222

5        al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 19, 8

6        al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 433; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10, 291

7        al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 650

8        al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 650

9        al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 23, 651; Jalaluddin al-Mahalli, Tafsîr al-Jalâlayni,770; Muhammad Abdul Lathif, Awdhah al-Tafâsîr (Kairo: al-Mathba’ah al-Mishriyyah, 1963), 713

10      al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 365

11      al-Shabuni, Shafwat al-Tafâsîr, 3, 434

12      al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannnân, 890

13      al-Harari, Hadâiq al-Rûh wa al-Rayhân, vol. 30, 295

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

15 − thirteen =

Back to top button